Sebagai sebuah ajaran
yang secara substansial membawa misi keadilan universal, Islam memposisikan
peradilan, sebagai sesuatu yang cukup penting dan mendasar. Dengan piranti
peradilan diharapkan prinsip-prinsip keadilan, dan hak-hak dasar manusia (human rigth) dapat terpelihara
secara baik. Sedemikian significannya sebuah proses peradilan, maka nash-nash pembentukan hukum Islam tentang peradilanpun
menaruh perhatian cukup intens. Tidak heran jika kemudian Rasulullah sendiri
-pada zamannya-, tidak saja dalam kapasitas pemimpin spiritual dan politik,
tetapi juga pemegang kendali sebuah proses peradilan.Dalam perkembangannya
-pasca Rasul dan sahabat- Ulama-ulama fiqh pun menaruh perhatian yang sama
dengan tokoh tokoh pendahulunya. Konsep –Ikhtiath- menjadi bagian inhern dalam pemikiran para
ulama dalam membuat kriteria keabsahan sebuah proses peradilan dan subjek yang menjadi
aktornya. Salah satu yang menjadi konsen para ahli fiqh (Yurist) sebagai wujud
komitmennya terhadap peradilan adalah keseriusannya dalam membuat kriteria
seorang Hakim. Upaya mereka ini bisa difahami karena idelisme yang mereka
miliki untuk membangun sebuah proses peradilan yang relatif bersih dan
berwibawa dan diharapkan dapat sedekat mungkin dengan pesan moral nash-nash
syari’at. Salah satu agenda yang menjadi
perbincangan mereka adalah tentang keabsahan seorang perempuan untuk menjadi
hakim dalam sebuah proses peradilan. Polemik ini bisa dimengerti karena menurut
mereka (ulama) baik secara historis, antropologis, sosiologis dan bahkan
nash-nash normatif, perempuan dipandang punya banyak sisi kelemahan apabila
dihadapkan pada sebuah proses peradilan, lebih lebih sebagai aktor penentu sebuah
sengketa peradilan (Hakim).
Makalah ini tidak
berpretensi untuk melakukan “dekonstruksi” terhadap gagasan emansipasi
perempuan yang –salah satunya– kini tengah dilakukan oleh banyak
Organisasi-organisasai kewanitaan, akan tetapi semata-mata ingin mengkaji
secara ilmiah landasan filosofis dan sosiologis, mengapa kalangan ulama fiqh
mempersoalkan keabsahan perempuan sebagai hakim, sebab diduga kuat para ulama
banyak diilhami oleh pengalaman-pengalaman pahit tentang perempuan dan kondisi
sosialnya ketika menentukan pendapatnya tentang hakim perempuan.
0 komentar:
Post a Comment