A.
Latar Belakang Masalah
Pada abad ke-19 sampai abad ke-20, di tanah Jawa muncul para tokoh dan
pembaru Islam seperti KH. Hasyim Asy’ari sebagai perintis berdirinya organisasi
Islam NU, KH. Ahmad Dahlan untuk ormas Muhammadiyah, A. Hassan bagi ormas
Persis, serta KH. Ahmad Rifa’i sebagai pelopor organisasi Rifa’iyah. Mereka
memiliki tujuan suci yang hampir sama, diantaranya melakukan gerakan
pembaharuan dalam berbagai bidang, terutama bidang pendidikan dan sosial
keagamaan, serta sosio politik. Strategi dakwah yang dilakukan para tokoh
tersebut berbeda-beda, KH. Ahmad Rifa’i mengajarkan ilmu agama secara
sedeerhana serta mudah diamalkan oleh masyarakat luas yaitu melalui kitab-kitab
terjemahnya yang berbentuk nazham, atau syair dalam bahasa daerah setempat
seperti menggunakan bahasa Jawa maupun Melayu.
Ahmad Rifa’i sebagai figur
mujtahid tidak terlepas dengan garis pemikiran-pemikiran radikal. Beliau
mencoba memikirkan ulang teologi paten yang berlaku di kalangan Sunni. Dengan
tegas ia mengusung pemikiran “Rukun Islam Satu” ketengah masyarakat. Dengan
tegas ia membedakan antara rukun yang menjadi standar baku diakuinya seseorang
sebagai muslim dan kewajiban yang menjadi pakaian kesempurnaan bagi umat
Muslim. Ahmad Rifa’i memikirkan hal
tersebut tidak terlepas dari suasana konteks sejarah pada masa itu yang
masyarakatnya masih membutuhkan pengakuan identitas manusia sebagai umat Islam
yang utuh, walau kadang mereka tidak shalat, zakat, puasa, dan haji.
Ahmad Rifa’i melihat seseorang sebagai seorang
Muslim, hanya dengan ketentuan tanda membaca dua kalimat syahadat. Pemikiran
itu lahir karena masyarakat masih belum bisa sepenuhnya melakukan
perintah-perintah fiqh tetapi tidak menutup kemungkinan mereka telah memiliki
unsur-unsur keislaman secara kebudayaan, peradaban, dan moralitas akhlaqi.
Sudah menjadi kebiasaan sejarah pemikiran, Ahmad Rifa’i yang beda dari mainstream
ini menemukan picu api konflik di mana-mana, khususnya pasca fase generasi
murid kedua. Ahmad Rifa’i berualang kali dipenjara, dituduh mengajarkan ajaran
sesat, dibuang di Ambon, Manado. Murid-muridnya pun ikut menikmati
penghinaan-penghinaan yang berimbas dari pemikiran-pemikiran yang kontroversial.
Dalam bidang fiqh, pemikiran Ahmad Rifa’i memakai logika realitas dari
pada normative. Ia lebih mementingkan kepentingan masyarakat banyak dari
pada harus susah-susah memperjuangkan nilai-nilai normative textual yang
ada pada penafsiran ulama’ salaf.
Dalam bidang tasawuf, Ahmad Rifa’i lebih senang merumuskan tasawuf
akhlaqi dari pada tasawuf falsafi, karena tasawuf akhlaqi dianggap lebih sesuai
dan lebih mudah untuk diamalkan untuk kalangan masyarakat awam.[1]
Pada dasarnya pada abad-abad ketiga dan keempat Hijriah, tasawuf adalah
ilmu tentang moral agama (Islam). Jelas, sebab aspek moral tasawuf pada masa
itu berkaitan erat dengan pembebasan jiwa, klasifikasinya, uraian kelemahannya,
penyakitnya, ataupun jalan keluarnya. Dan karenanya dapat dikatakan bahwa
tasawuf pada masa itu ditandai ciri-ciri psikologis, disamping ciri-ciri moral.
Bahkan ditegaskan, bahwa pembahasan moral di kalangan para sufi pada masa itu
berdasarkan analisis terhadap jiwa manusia, dalam upayanya untuk mengetahui
moral yang tercela. Penyempurnaan moral, menurut mereka, harus dengan jalan
menggantikan moral yang tercela dengan moral yang terpuji.
Makalah selengkapnya DOWNLOAD di sini
[1] Tim Penyusun, Majalah
Ukhuwah (edisi perdana), Yogyakarta, 2003, h. 38-39
0 komentar:
Post a Comment