Sunday, March 11, 2012

PEMIKIRAN PENDIDIKAN TASAWUF MENURUT KH. AHMAD RIFA’I



A.    Latar Belakang Masalah
Pada abad ke-19 sampai abad ke-20, di tanah Jawa muncul para tokoh dan pembaru Islam seperti KH. Hasyim Asy’ari sebagai perintis berdirinya organisasi Islam NU, KH. Ahmad Dahlan untuk ormas Muhammadiyah, A. Hassan bagi ormas Persis, serta KH. Ahmad Rifa’i sebagai pelopor organisasi Rifa’iyah. Mereka memiliki tujuan suci yang hampir sama, diantaranya melakukan gerakan pembaharuan dalam berbagai bidang, terutama bidang pendidikan dan sosial keagamaan, serta sosio politik. Strategi dakwah yang dilakukan para tokoh tersebut berbeda-beda, KH. Ahmad Rifa’i mengajarkan ilmu agama secara sedeerhana serta mudah diamalkan oleh masyarakat luas yaitu melalui kitab-kitab terjemahnya yang berbentuk nazham, atau syair dalam bahasa daerah setempat seperti menggunakan bahasa Jawa maupun Melayu.
 Ahmad Rifa’i sebagai figur mujtahid tidak terlepas dengan garis pemikiran-pemikiran radikal. Beliau mencoba memikirkan ulang teologi paten yang berlaku di kalangan Sunni. Dengan tegas ia mengusung pemikiran “Rukun Islam Satu” ketengah masyarakat. Dengan tegas ia membedakan antara rukun yang menjadi standar baku diakuinya seseorang sebagai muslim dan kewajiban yang menjadi pakaian kesempurnaan bagi umat Muslim.  Ahmad Rifa’i memikirkan hal tersebut tidak terlepas dari suasana konteks sejarah pada masa itu yang masyarakatnya masih membutuhkan pengakuan identitas manusia sebagai umat Islam yang utuh, walau kadang mereka tidak shalat, zakat, puasa, dan haji.
  Ahmad Rifa’i melihat seseorang sebagai seorang Muslim, hanya dengan ketentuan tanda membaca dua kalimat syahadat. Pemikiran itu lahir karena masyarakat masih belum bisa sepenuhnya melakukan perintah-perintah fiqh tetapi tidak menutup kemungkinan mereka telah memiliki unsur-unsur keislaman secara kebudayaan, peradaban, dan moralitas akhlaqi.
Sudah menjadi kebiasaan sejarah pemikiran,  Ahmad Rifa’i yang beda dari mainstream ini menemukan picu api konflik di mana-mana, khususnya pasca fase generasi murid kedua. Ahmad Rifa’i berualang kali dipenjara, dituduh mengajarkan ajaran sesat, dibuang di Ambon, Manado. Murid-muridnya pun ikut menikmati penghinaan-penghinaan yang berimbas dari pemikiran-pemikiran yang kontroversial.
Dalam bidang fiqh, pemikiran Ahmad Rifa’i memakai logika realitas dari pada normative. Ia lebih mementingkan kepentingan masyarakat banyak dari pada harus susah-susah memperjuangkan nilai-nilai normative textual yang ada pada penafsiran ulama’ salaf.
Dalam bidang tasawuf, Ahmad Rifa’i lebih senang merumuskan tasawuf akhlaqi dari pada tasawuf falsafi, karena tasawuf akhlaqi dianggap lebih sesuai dan lebih mudah untuk diamalkan untuk kalangan masyarakat awam.[1]
Pada dasarnya pada abad-abad ketiga dan keempat Hijriah, tasawuf adalah ilmu tentang moral agama (Islam). Jelas, sebab aspek moral tasawuf pada masa itu berkaitan erat dengan pembebasan jiwa, klasifikasinya, uraian kelemahannya, penyakitnya, ataupun jalan keluarnya. Dan karenanya dapat dikatakan bahwa tasawuf pada masa itu ditandai ciri-ciri psikologis, disamping ciri-ciri moral. Bahkan ditegaskan, bahwa pembahasan moral di kalangan para sufi pada masa itu berdasarkan analisis terhadap jiwa manusia, dalam upayanya untuk mengetahui moral yang tercela. Penyempurnaan moral, menurut mereka, harus dengan jalan menggantikan moral yang tercela dengan moral yang terpuji.
Makalah selengkapnya DOWNLOAD di sini

[1] Tim Penyusun, Majalah Ukhuwah (edisi perdana), Yogyakarta, 2003, h. 38-39

0 komentar: