Thursday, March 8, 2012

MASA IDDAH DALAM TALAQ RAJ’I




A.  Surat Al-Baqarah Ayat 228 Dan Terjemahnya.

      “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqoroh: 228)

B.  Penafsiran Kata-Kata Sulit.
   المطلقت           maksudnya ialah istri-istri yang ditalak dan diperbolehkan    kawin lagi sehabis masa menunggu dan sudah pernah mengalami haid. Sebab haid adalah pertanda bahwa seorang wanita sudah siap untuk dibuahi dan pembuahan inilah yang menjadi maksud utama dari perkawinan
   التربص           Menunggu
   القروء            Bentuk tunggal dari qur-un dan qar-un. Artinya, terkadang menunjukkan makna haid dan terkadang diartikan suci. Mazhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa yang dimaksud dengan qur-un ialah haid, sedangkan mazhab Imam Syafi’I dan Imam Maliki mengatakan suci.
وما فى ارحامهمن Mencakup haid dan bayi.
البعولة               Artinya suami.
الدرجة               Maksudnya ialah sebagaimana dalam ayat berikut ini:
                       
                                                                     عَلَى النِّسَاء ِ الرِّجَالُ قَوَّامُونَ
                       “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”.
                        (Al-Maraghi, 1992: 282)

C.  Asbabun Nuzul.
            Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Asma’ binti Yazid bin as-Sakan al-Anshariyah berkata menganai turunnya ayat tersebut diatas (QS.al-Baqoroh: 228) sebagai berikut: “ pada zaman Rasulullah saw. aku ditalak oleh suamiku disaat belum ada hukum idah bagi wanita yang ditalak. Maka Allah menetapkan hukum idah bagi wanita, yaitu menunggu setelah bersuci dari tiga kali haid.” (diriwayatkan oleh: Abu Dawud dan Ibnu Abi Hatim, dari Asma’ binti Yazid bin as-Sakan).
            Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Ismail bin Abdillah al-Ghifari menceraikan istrinya, Qathilah, (di zaman Rasulullah saw.) Ia sendiri tidak mengetahui bahwa istrinya itu hamil. Setelah ia mengetahuinya, iapun rujuk kepada istrinya. Kemudian istrinya melahirkan dan meninggal, demikian pula bayinya. Maka turunlah ayat tersebut di atas, yang menegaskan betapa pentingnya masa idah bagi wanita, untuk mengetahui hamil tidaknya seorang istri. (Shaleh, 2006: 77)

     

0 komentar: