Monday, March 26, 2018

BANK AIR SUSU IBU (ASI)


Kehalalan Air Susu Ibu tidak ada orang yang meragukannya, baik Air Susu Ibu si bayi maupun air susu wanita lain, bila air susu ibunya tidak memadai atau karena suatu hal, ibu kandung si bayi itu tidak dapat menyusuinya. Nabi Muhammad sendiri pernah dititipkan kepada Halimatus Sa'diyah untuk disusukan dan dipeliharakan.(1)
              Status ibu yang menyusukan seorang bayi, sama dengan ibu kandung sendiri tidak boleh menikah dengan dengan wanita itu dan anak-anaknya. Dalam hukum Islam disebut saudraa sepersusuan dan wanita yang menyusukan dengan bayi yang disusukan tersebut hukumnya sama dengan mahram.
              Sekarang yang menjadi persoalan adalah air susu yang disimpan pada bank ASI yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatjan oleh seorang bayi bagaimana hukumnya menurut Islam? (2)   
                                
Air Susu Ibu
              ASI merupakan air susu ibu yang sangat diperlukan oleh bayi dan bermanfaat bagi pertumbuhan bayi. Disamping penyajiannya yang sangat simple, sangat memudahkan bagi ibu tanpa takut sang bayi kena diare. Para ibu menyadari sepenuhnya manfaat dan keunggulan asi yang kadar gizi dan energi yang jauh lebih baik dibanding susu buatan.
              Akan tetapi, ketika dunia kaum perempuan mulai terlibat di area publik, kaum ibu tidak bisa / terhalang untuk menyusui bayi mereka, baik karena kesibukannya maupun alasan memelihara kebugaran payudaranya, dunia barat semisal AS dan Eropa mengantisipasi keadaan dan kondisi tersebut dengan antisipasi mendirikan Bank Air  Susu Ibu, sehingga para Ibu yang mengkhawatirkan bayi-bayi mereka tidak bisa minum ASI dapat diatasi. Dengan demikian, bank air susu ibu dimaksudkan sebagai sebuah lembaga yang menghimpun air susu murni dari para donatur untuk memenuhi kebutuhan air susu anak/bayi yang tidak didapat dari ibunya. Lembaga ini telah berkembang sampai ke Asia, antara lain Singapura. Tujuan lembaga ini membantu para ibu yang tidak bisa menyusui bayinya secara langsung sehingga aktivitas mereka tidak terganggu. Dengan berdirinya bank khusus untuk menampung air susu ibu tersebut menimbulkan beberapa sudut pandang yang berlainan dari para ulama.
A.   Beberapa Pandangan Tentang Bank ASI
       a.   Pertama menurut jumhur ulama (Madzhab syafi'i, Maliki, Zaidiyah dan Az Zahiri)
            Berpandangan  bahwa perempuan boleh menampung air susunya dan boleh dijual bagi ibu-ibu yang membutuhkannya dengan berdasarkan firman Allah QS. Al Baqarah ayat 275 (3)
¨
       Artinya :
                        Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
Demikian juga mengambil upah dari menyusui anak,  pendapat ini berdasarkan QS. Al Baqaroh  ayat 233 dan QS. Ath Thalaq ayat 6.
QS. Al Baqarah ayat 233 :
               Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaran karena anak-anaknya, dan seorang ayah karena anaknya dan warispun berkewajiban demikian apabila keduanya ingin menyapih (sebelum 2 tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan. Maka tidak ada dosa keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut, bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (4)
b.    Kedua menurut Imam Ibnu Hanbal :
       Memperjualbelikan ASI hukumnya makruh. Meskipun identitas pemilik ASI diketahui pemilik. Alasan yang dikemukakan adalah Rosullullah menjawab : " saya membencinya " ketika beliau ditanya tentang memperjualbelikan ASI dari seorang Islam
            (HR. Ahmad Bin Hanbal).

c.    Ketiga menurut Imam Abu Yusuf
       Bahwa air susu yang boleh diperjualbelikan hanyalah ASI dari perempuan yang hamba sahaya karena hamba sahaya mempunyai makna harta yang dapat diperjualbelikan. Meski dengan ketentuan memiliki identitas yang jelas.

d.   Keempat menurut Imam Abu Hanifah As Syaibani
       Sebagian Hanabillah Malikiyah berpendapat tidak boleh menjualbelikan ASI, begitu juga tidak boleh mengkonsumsi ASI yang telah dipisahkan dari payudara karena hal tersebut dianggap sebagai bangkai, sehingga hal yang demikian itu dilarang.
       Pendapat tersebut mengacu pada Surat Al maidah ayat 3 (5)

            Dari empat pandangan diatas menunjukkan bahwa kebolehan atau tidak dalam memperjualbelikan ASI dikaitkan dengan Bank ASI yang berkembang saat ini, maka yang perlu diperhatikan adalah syarat identitas pemilik ASI yang harus diketahui secara jelas dan pasti karena akan mempunyai konsekuensi hukum bagi yang menyusui beserta kerabat yang bertalian darah sehingga mengantisipasi terjadinya perkawinan antara anak yang disusui dengan pemilik ASI dan kerabatnya.
            Ahli Fiqih Mesir Imam As Sakari mengatakan bahwa Bank ASI yang berkembang saat ini tidak dapat dilegalkan syara' dengan alasan Saddan li az zariah (menutup seluruh jalan yang bisa menimbulkan bahaya yang akan timbul) apabila bank ASI melakukan kontrol yang ketat terhadap sumber setiap ASI donatur (tanpa mencampurkan ASI yang berasal dari berbagai perempuan). Sementara yang ada sekarang tidak melakukan pemisahan bahkan mencampur seluruh ASI yang diterima lembaga ini, sehingga sulit untuk dilacak identitas pendonor ASI tersebut.
                        Hal ini mengakibatkan adanya dugaan keras akan terjadi perkawinan antara anak yang mengkonsumsi ASI yang berasal dari bank ASI dan perempuan atau keturunan yang bertalian darah dengannya. Perkawinan semacam ini dilarang keras oleh nash secara tegas bahkan dinyatakan sebagai perkawinan terlarang dalam surat An Nisa' ayat 23. (6)






B.   Pandangan Ulama Kontemporer
       1.   Pendapat yang membolehkan
                        Ulama besar semacam Dr. Yusuf Al-Qaradawi tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya semacam bank susu, asalkan bertujuan untuk mewujudkan maslahat syari'ah yang kuat untuk memenuhi keperluan yang wajib dipenuhi.
                        Beliau cenderung mengatakan bahwa bank air susu ibu yang bertujuan baik dan mulia didukung oleh Islam untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab kelemahannya. Lebih-lebih yang bersangkutan adalah bayi yang baru dilahirkan yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.
                        Beliau juga mengatakan bahwa wanita yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah dan terpuji disisi manusia. Bahkan sebenarnya wanita itu boleh menjual air susunya bukan sekedar menyumbangkannya. Sebab di masa nabi para wanita yang menyusui bayi melakukannya karena faktor mata pencaharian. Sehingga hukumnya memang diperbolehkan untuk menjual air susu.        
                        Bahkan Al Qaradawi memandang bahwa institusi yang bergerak dalam bidang pengumpulan air susu itu yang mensterilkan serta memliharanya agar dapat dinikmati poleh bayi-bayi atau anak-anak patut mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala.
                         Selain Al-Qaradawi yang menghalalkan bank susu adalah Al-Ustadz Asy Syeikh Ahmad Ash-Shirbasi, ulama besar Al-Azhar Mesir. Beliau mengatakan bahwa hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki. Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut. (7)
2.  Yang Tidak Membenarkan Bank Susu
                   Diantara ulama kontemporer yang tidak membenarkan adanyabank air susu adalah Dr. Wahbah Az Zuhayli dan juga Majma' Fiqih Islami. Dalam kitab Fatawa Mu'asirah, beliau menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak dibolehkan dari segi syari'ah. Demikian juga dengan Majma' Fiqih Al islami melalui Badan Muktamar Islam yang diadakan di Jeddah pada tanggal 22 - 28 Desember 1985 / 10-16 Robi'ul Akhir 1406. Lembaga ini dalam keputusannya (qarar) menentang keberadaan bank air susu ibu di seluruh negara Islam serta mengharamkan pengambilan susu dari bank tersebut.
     Perdebatan dari segi dalil :
                   Ternyata perdebatan dari dua kelompok ulama ini terjadi di seputar syarat dari penyusuan yang mengakibatkan kemahraman. Setidaknya ada 2 syarat penyusunan yang diperdebatkan. Pertama, apakah disyaratkan terjadinya penghisapan atas puting susu ibu ? Kedua, apakah harus ada saksi penyusuan ?
     Haruskah lewat menghisap puting susu ?
                   Kalangan yang membolehkan bank susu mengatakan bahwa bayi yang diberi minum air susu dari bank susu, tidak akan menjadi mahram bagi para wanita yang air susunya ada di bank itu. Sebab kalau sekedar hanya minum air susu, tidak terjadi penyusuan. Sebab yang namanya penyusuan harus lewat penghisapan puting susu ibu.
                   Mereka berdalil dengan fatwa Ibnu Hazm , dimana beliau mengatakan bahwa sifat penyusuan haruslah dengan cara menghisap puting susu wanita yang menyusui dengan mulutnya. Dala fatwanya, Ibnu Hazm mengatakan bahwa bayi yang diberi minum susu seorang wanita dengan menggunakan botol atau dituangkan kedalam mulutnya lantas ditelannya, atau dimakan bersama roti atau dicampur dengan makanan lain, dituangkan ke dalam mulut atau dengan suntikan maka yang demikian itu sama sekali tidak mengakibatkan kemahraman.


     Dalilnya adalah firman Allah SWT :

     ' Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan . . .'
            (QS.An Nisa' : 23)

     Menurut Ibnu Hazm, proses memasukkan puting susu wanita di dalam mulut bayi harus terjadi sebagai syarat dari penyusuan. Sedangkan bagi mereka yang mengharamkan bank susu, tidak ada kriteria menyusu harus dengan proses bayi menghisap puting susu. Justru yang menjadi kriteria adalah meminumnya bukan cara meminumnya.Dalil yang mereka kemukakan juga tidak kalah kuatnya, yaitu hadits yang menyebutkan bahwa kemahraman itu terjadi ketika bayi merasa kenyang.



     Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, " Perhatikan saudara laki-laki kalian, karena saudara persusuanitu akibat kenyangnya menyusu ".
     (HR.Bukhari dan Muslim) (8)

2.  Haruskah Ada Saksi ?
                   Hal lain yang menyebabkan perbedaan pendapat adalah masalah saksi. Sebagian ulama mengatakan bahwa untuk terjadinya persusuan yang mengakibatkan kemahraman, maka harus ada saksi. Seperti pendapat Ash-Sharabshi, ulama Ashar. Namun ulama lainnya mengatakan tidak perlu ada saksi. Cukup keterangan dari wanita yang menyusui saja.
     Bagi kalangan yang mewajibkan ada saksi, hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.
                   Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut. Sehingga tidak perlu ada yang dikhawatirkan dari bank susu ibu. Karena susu yang diminum oleh para bayi menjadi tidak jelas susu siapa dari ibu yang mana. Dan ketidakjelasan itu malah membuat tidak akan terjadi hubungan kemahraman.        
                   Dalilnya adalah bahwa sesuatu yang yang bersifat syak (tidak jelas, ragu-ragu, tidak ada saksi), maka tidak mungkin ditetapkan diatas suatu hukum. Pendeknya, bila tidak ada saksi, maka tidak akan mengakibatkan kemahraman.
                   Sedangkan menurut ulama lainnya, tidak perlu ada saksi dalam masalah penyusuan. yang penting cukuplah wanita yang menyusui bayi mengatakannya. Maka siapa pun bayi yang minum susu dari bank susu, maka bayi itu menjadi mahram buat semua wanita yang menyumbangkan air susunya. dan ini akan mengacaukan hubungan kemahraman dalam tingkat yang sangat luas. (9)

KESIMPULAN

                        Dari uraian yang telah dipaparkan dapat diambil kesimpulan bahwa pada masa sekarang ini telah berdiri bank khusus untuk menampung air susu ibu. Para ulama kontemporer melihat dari beberapa sudut pandang yang berlainan sehingga fatwa yang ditumbulkan pun berbeda pula, sebagian mendukung adanya bank air susu tapi yang lainnya malah tidak setuju, wajar bila terjadi perbedaan ini karena ketiadaan nash yang secara langsung membolehkan atau mengharamkan bank susu. Nash yang ada hanya bicara tentang hukum penyusuan, sedangkan syarat-syaratnya masih berbeda dan karena berbeda dalam menetapkan syariat itulah





DAFTAR PUSTAKA

Subhan, Zaitunnah. 2008. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta : El Kahfi
Hasan, M. Ali. 1997. Masail Fiqhiyah Al Haditsah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
http: //helwy.multiply.com/journal/item/ 24 maka para ulama dalam menetapkan hukumnya.

















0 komentar: