Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang
kedokteran, bagi kalangan lapis atas, problematika keperawanan menjadi bukan
lagi masalah serius sebab ketidakperawanan yang ditandai dengan selaput dara (hymen)
yang rusak—oleh faktor apa pun—bisa dipulihkan kembali dengan cara operasi
selaput dara atau operasi pengembalian keperawanan (ritqu ghisya’ al-bikarah).
Selaput dara (hymen) dalam Sobotta of Human Anatomy didefinisikan
sebagai external genital organs of a female. Sementara di al-Mufradat fi Gharib
al-Qur’an disebutkan, secara harfiah, ritqu
dapat diartikan menjadi “menempelkan atau merapatkan”. Dalam Alquran,
lafadz ritq disebut satu kali yaitu pada surat Al-Anbiya‟ ayat 30 dengan arti “sesuatu yang
padu”. Sedangkan ghisya’ al-bikarah berarti selaput clitoris atau
selaput dara yaitu permukaan daging tipis dan lembut yang terletak pada kelamin wanita.
Dokter Yasin Nuaim dalam bukunya “Fikih Kedokteran” (terjemahan) mendefinisikan operasi selaput
dari sebagai “memperbaiki dan mengembalikannya
pada tempat semula atau pada tempat yang dekat dengannya”.
Berdasarkan data yang bersumber dari beberapa media cetak maupun
internet, wanita-wanita yang meminta untuk dioperasi selaput daranya mempunyai latar
belakang yang berbeda. Ada yang selaput daranya rusak sebab diperkosa, ada yang
sebab melakukan perzinaan suka sama suka (seks bebas), ada yang sebab tergoda
rayuan sehingga khilaf dan terjebak dalam perbuatan zina. Ada juga wanita yang
minta dioperasi dengan latar belakang kerusakan yang tidak diketahui (baca:
disadari) sebelumnya, misalnya kerusakan selaput dara yang yang disebabkan oleh
pekerjaan tertentu seperti melompat, kebiasaan bersepeda onthel, atau
beberapa sebab lain yang terjadi di waktu masih anak-anak.[1]
B.
PEMBAHASAN
Pembahasan tentang hukum operasi selaput dara, secara langsung
berarti juga membahas dua pihak yang terlibat di dalamnya: dokter yang
melakukan operasi selaput dara, dan pasien (wanita) yang meminta agar selaput
daranya dioperasi. Dengan fakta di muka, kurang tepat jika pembahasan tentang
operasi selaput dara mengabaikan keberadaan salah satu atau bahkan kedua pihak
yang terlibat. Dengan demikian, pembahasan kemungkinan-kemungkinan yang
berkaitan dengan kedua belah pihak perlu untuk didahulukan.
Kemungkinan-kemungkinan
bagi Kedua Belah Pihak
Kasus permintaan operasi selaput dara, bagi pihak dokter
mempunyai tiga
kemungkinan tindakan:
1. Menolak mutlak.
2. Menerima tanpa check and recheck.
3. Menerima dengan menyelidiki lebih dahulu
latar belakang pasien sehingga bisa
memutuskan untuk menerima atau menolak untuk
melakukan operasi selaput dara.
Adapun bagi wanita yang rusak selaput daranya, ada dua
kemungkinan tindakan:
1. Tidak menjalani operasi dengan
resiko terbuka aibnya, mendapat celaan internal
maupun eksternal, mendapat perlakuan
sewenang-wenang dari suami dan keluarga
pihak suami, frustasi, bunuh diri.
2. Menjalani operasi sehingga
tertutupi aibnya dan tidak mendapat respon negatif dan
resiko yang berefek buruk dalam kelanjutan
hidupnya.
Dua Pendapat Kuat yang
telah Beredar
Adalah lumrah jika suatu permasalahan yang tidak didapati
nash-nya secara qath’i, akan mengakibatkan perbedaan pendapat sebagai
hasil dari ijtihad. Demikian juga yang terjadi dalam menanggapi kasus operasi
selaput dara. Masing-masing berijtihad dan masing-masing mempunyai pendapat
yang sekilas bisa dinyatakan sama kuat. Banyak pendapat dalam merespon kasus
ini, namun secara garis besar pendapat-pendapat tersebut terbagi menjadi dua:
Pendapat
pertama, tidak dibolehkan mengoperasi selaput
dara hingga seperti sedia kala. Pendapat kedua, dibolehkan mengoperasi selaput dara
pada keadaan-keadaan tertentu.
Pendapat pertama didasari argumen kewajiban menutup aurat, serta
pandangan bahwa operasi selaput dara bukan merupakan perkara sunnah apalagi
wajib sehingga tidak ada alasan yang membolehkan terbukanya aurat pada saat
operasi. Juga pandangan bahwa operasi selaput dara mengandung unsur penipuan
terhadap calon suami khususnya dan pihak keluarga suami bahkan masyarakat pada
umumnya. Sedangkan pendapat kedua didasarkan pada hadits Nabi tentang anjuran
menutupi aib seorang Muslim serta pada adanya fakta bahwa wanita yang meminta
untuk dioperasi adalah korban perkosaan atau rusak selaput daranya oleh sebab yang
tidak disengaja (tanpa disadari), juga fakta bahwa ada wanita-wanita tertentu
yang benar-benar berniat bertaubat dari perbuatan yang mengakibatkan selaput
daranya rusak, sehingga dengan fakta ini pendapat kedua mendasarkan pada asas
“memilih yang lebih kecil madharatnya di antara dua hal yang sama-sama
mengandung madharat” serta pernyataan Allah dalam Alquran bahwa ampunanNya
sangat luas; hanya dosa syirik yang tidak diampuni.
Kapan Kasyf
al-Aurat Dibolehkan?
Merupakan kesepakatan bahwa hukum menutup aurat adalah wajib.
Allah swt.
berfirman dalam surat An-Nuur ayat 31:
Meski demikian, dinyatakan dalam kitab al-Muhadzdzab bahwa
untuk kepentingan pengobatan dan khitan, kasyf al-aurat diperbolehkan
karena kedua keadaan tersebut merupakan keadaan darurat. Permasalahannya
adalah, apakah rusaknya selaput dara dapat dikategorikan sebagai suatu keadaan
darurat sehingga operasi selaput dara bisa dinyatakan sebagai tindak pengobatan
yang membolehkan terbukanya aurat?
Darurat dalam Alquran
:
... tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
:
... maka
barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
...
barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Darurat menurut Madzhab
Empat
Menurut Al-Jurjani dalam At-Ta‟rifat, dharurah berasal dari kata
dharar. Sedang kata dharar sendiri, mempunyai tiga makna pokok,
yaitu lawan dari manfaat (dhid al-naf’i),kesulitan/kesempitan (syiddah
wa dhayq), dan buruknya keadaan (su`ul haal). Kata dharurah, dalam
kamus Al-Mu’jam Al-Wasith mempunyai arti kebutuhan (al-hajah),
sesuatu yang tidak dapat dihindari (asy-syiddah laa madfa’a lahaa), dan
kesulitan (masyaqqah).
Darurat menurut madzhab Hanafi didefinisikan sebagai keadaan yang
memaksa(seseorang) untuk mengerjakan sesuatu yang dilarang oleh syara‟ (al-halah
al-mulji`ah li tanawul al-mamnu’ syar’an). Sedangkan madzhab Maliki,
darurat ialah kekhawatiran akan mengalami kematian (khauf al-maut)...
dan tidak disyaratkan seseorang harus menunggu sampai (benar-benar) datangnya
kematian, tapi cukuplah dengan adanya kekhawatiran akan mati, sekalipun dalam
tingkat dugaan (zhann).10 Madzhab Hanbali yang diwakili oleh Ibnu Qudamah
menyatakan bahwa keadaan darurat adalah kedaan yang dikhawatirkan akan membuat
seseorang binasa jika ia tidak makan yang haram. Sementara madzhab Syafi‟I melalui Muhammad
al-Khatib al-Syarbaini mendefinisikan darurat sebagai rasa khawatir akan terjadinya
kematian atau sakit yang menakutkan atau menjadi semakin parahnya penyakit ataupun
semakin lamanya sakit.
Berdasarkan dalil-dalil dari Alquran yang disertai dengan pendapat
dari empat madzhab, dapat disimpulkan bahwa definisi darurat yang tepat adalah
keterpaksaan yang sangat mendesak yang dikhawatirkan akan dapat menimbulkan
kebinasaan/ kematian (alidhthirar al-mulji` alladzi yukhsya minhu
al-halak). Dengan demikian, operasi selaput dara tidak dapat dikategorikan
sebagai tindakan pengobatan yang berhubungan dengan hifdz annafs sehingga
membolehkan terbukanya aurat.
“Selaput Dara” di antara Dua Pendapat yang Mengapitnya
Jika hanya bersandar pada definisi darurat sebagaimana yang telah
dikemukakan, sekilas pendapat yang mengharamkan operasi selaput dara dapat
diterima. Namun jika melihat pada adanya kemungkinan terburuk (celaan dan
perlakuan sewenang-wenang terhadap pihak wanita yang bisa jadi berakhir dengan
bunuh diri), maka pendapat tersebut perlu dianalisis lebih mendalam. Karena
dengan adanya kemungkinan terburuk tersebut, kasus ini bisa dikategorikan
sebagai keadaan darurat karena berhubungan dengan tindakan hifdzan-nafs. Untuk
menganalisis bahasan ini, argumen dari kedua belah pihak perlu untuk dikedepankan
sebagai bahan pengkajian ulang.
Pendapat Pertama:
Operasi pengembalian keperawanan yang rusak dilarang secara mutlak
dengan argumensebagai berikut berikut:[2]
1. Operasi seperti ini
terkadang dapat menimbulkan percampuran nasab. Hal ini juga memungkinkan
seorang wanita yang melakukan zina kemudian menikah kembali dengan lelaki lain
setelah melakukan operasi, sehingga anak yang ada dalam kandungan dinasabkan
kepada suaminya yang kedua. Perbuatan semacam ini adalah haram. Karena itu,
segala sesuatu yang dapat mengarah kepada yang haram, hukumnya adalah haram
sesuai dengan kaidah sad adz-dzari’ah.
2. Operasi seperti ini akan
memudahkan atau membuka peluang para gadis remaja untuk melakukan perzinaan,
karena hubungan intim baik sah maupun tidak sah pada hakekatnya dapat merusak
selaput clitoris wanita, akan tetapi hal itu dapat dikembalikan melalui
operasi. Operasi seperti ini hukumnya adalah haram. Oleh karena itu, para
dokter dilarang mempraktekkan operasi semacam ini.
3. Operasi ini dapat membuka
jalan bagi para gadis dan keluarganya berbohong dengan maksud menyembunyikan
penyebab hilangnya dan rusaknya keperawanan mereka. Sedangkan berbohong
hukumnya haram dan apapun yang mengarah kepada hal yang haram hukumnya adalah
haram.
4. Operasi dalam bentuk semacam
ini akan membuka kebohongan, penipuan dan pemalsuan yang diharamkan oleh agama.
Keharamannya merupakan kesepakatan ulama.
Pendapat Kedua:
Operasi pengembalian keperawanan yang rusak diperbolehkan dengan
argumen sebagai berikut berikut:
1. Operasi pengembalian
keperawanan yang rusak merupakan salah satu cara untuk menyembunyikan aib
wanita tersebut.[3]
Karena jika aib itu tersebar di kalangan masyarakat umum, maka wanita itu akan
dipermainkan, dicemooh dan dikucilkan, sekalipun ia tidak melakukannya. Aib
tersebut bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk semua keluarganya.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang hamba menyembunyikan aib saudaranya
di dunia, melainkan Allah SWT akan menyembunyikan aibnya di akhirat”. Nabi SAW
berkata pada Hazzal, -dia adalah orang yang mengetahui peristiwa perzinaan yang
dilakukan oleh Ma‟iz-, “Jika engkau menyembunyikannya dengan pakaianmu, maka itu
lebih baik untukmu” .
2. Operasi ini akan melindungi
keluarga dari kehancuran rumah tangga. Karena jika hal tersebut diketahui oleh
suaminya, maka akan terjadi perselisihan yang berdampak pada hilangnya rasa
percaya antara keduanya dan suami akan menuduh pasangannya telah melakukan
serong. Karena itu, operasi ini boleh dilakukan jika dengan tujuan menghindari
terjadinya kehancuran rumah tangga.[4]
3. Hilangnya keperawanan
seseorang wanita dapat menimbulkan prasangka buruk terhadap dirinya, meskipun
belum tentu melakukannya, karena hilangnya keperawanan seseorang itu dapat terjadi
karena banyak faktor.[5] Oleh karena itu, diperbolehkan
operasi tersebut merupakan sarana untuk menghindari prasangka buruk tersebut.
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan buruk
sangka (kecurigaan), karena sebagian dari buruk sangka itu dosa”. (QS. Al- Hujarat:12)
4. Menurut ulama fiqh,
tersebarnya informasi bahwa seseorang wanita telah hilang keperawanannya tidak
langsung mengindikasikan bahwa wanita itu melakukan zina. Hal tersebut bisa
saja terjadi karena faktor-faktor lain. Karena itu, zina dapat ditetapkan
dengan tiga hal: pengakuan, saksi, bukti hamil di luar nikah atau hamil setelah
dicerai atau setelah ditinggal mati suaminya dan selesai masa iddahnya. Berdasarkan
hal di atas, maka pendapat yang memperbolehkan operasi ini dilakukan merupakan
upaya untuk menghindari wanita dari tuduhan melakukan zina.
5. Sebagian masyarakat langsung
menvonis wanita yang rusak keperawanannya tanpa bukti yang jelas. Hal ini
berpotensi merusak kehidupan rumah tangganya atau mungkin dapat menyebabkan
wanita tersebut hidup menjadi perawan tua, karena tidak ada seorang laki-laki
pun yang mau meminangnya sehingga jiwanya akan terguncang. Maka melakukan
operasi dalam kondisi ini adalah untuk melindunginya dari tuduhan-tuduhan masyarakat
yang tidak berdasarkan syari‟at.[6]
6. Upaya pengobatan guna
mengembalikan keperawanan wanita yang melakukan zina dan perbuatannya belum
tersebar diharapkan dapat menyembunyikan aib mereka serta memotivasi mereka
untuk bertaubat dan menyesali perbuatan yang telah dilakukannya, dan Allah akan
mengampuni dosanya. Namun jika ia tetap melakukannya tanpa pernah merasa
berdosa di hadapan Allah, maka semuanya kita serahkan kepada Allah SWT. Oleh
karena itu, Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk selalu menyembunyikan
aib orang lain agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap orang lain.
Melakukan operasi dengan tujuan melindungi pelakunya dari sanksi sosial
memiliki relevensi dengan agama.
Analisis
1. Argumen bahwa operasi
pengembalian keperawanan yang rusak dapat menimbulkan percampuran nasab tidak dapat diterima. Hal
ini karena kemungkinan apakah wanita tersebut hamil atau tidak hanya dapat
diketahui melalui pemeriksaan air seni atau darah yang dilakukan oleh dokter.
2. Argumen bahwa melakukan
operasi keperawanan dapat membuat wanita berani melakukan zina adalah pendapat
keliru. Alasannya, wanita yang keperawanannya rusak terkadang adalah wanita
shalihah yang taat kepada Allah SWT. Melarang mereka untuk melakukan operasi
akan membuat diri mereka merasa terzalimi. Selain itu, mereka juga merasa bahwa
kehormatan mereka dalam masyarakat telah hilang. Hal itu besar kemungkinan
dapat menyebabkan mereka masuk ke dalam lembah perzinaan. Kondisi ini akan
membuat mereka merasa takut untuk menikah karena khawatir kondisinya akan
diketahui oleh laki-laki yang akan menikahinya sehingga akhirnya ia lebih
memilih untuk melakukan hubungan seks di luar nikah daripada harus menikah.
Jadi, mengizinkan mereka untuk melakukan operasi adalah diperbolehkan.
C.
KESIMPULAN
Setelah menganalisis dengan mengkaji ulang argumentasi dari
masing-masing pendapat mengenai hukum melakukan operasi selaput dara
(mengembalikan keperawanan), maka dapat disimpulkan bahwa tanpa sebab dan
syarat tertentu, melakukan operasi selaput dara tidak diperbolehkan. Artinya,
dengan adanya sebab dan syarat tertentu, operasi selaput dara diperbolehkan.
Adapun sebab dan syarat tertentu tersebut adalah bahwa jika kerusakan selaput
dara merupakan bawaan sejak lahir, atau rusak karena perbuatan tidak disengaja,
atau rusak karena perbuatan yang bukan perbuatan maksiat, seperti mengobati penyakit
yang ada dalam selaput sehingga terjadi kerusakan, atau robek akibat
penyiksaan, pemaksaan dan pemerkosaan.
Keterangan Gambar:
Jenis selaput dara berdasarkan bentuknya:
Dari kiri ke kanan: anulare, settato, Cibriform, Introitus.[7]
Jenis selaput dara berdasarkan bentuknya:
Dari kiri ke kanan: anulare, settato, Cibriform, Introitus.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Anandiayuska.
2008. Operasi Selaput Dara. http://anandiayuska.com
M. Nu’aim
Yasin. 2001. Fikih Kedokteran.
Pustaka Al-kautsar: Jakarta.
0 komentar:
Post a Comment