Tuesday, March 13, 2018

Operasi Selaput Dara dalam Perspektif Fiqih

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran, bagi kalangan lapis atas, problematika keperawanan menjadi bukan lagi masalah serius sebab ketidakperawanan yang ditandai dengan selaput dara (hymen) yang rusak—oleh faktor apa pun—bisa dipulihkan kembali dengan cara operasi selaput dara atau operasi pengembalian keperawanan (ritqu ghisyaal-bikarah).
Selaput dara (hymen) dalam Sobotta of Human Anatomy didefinisikan sebagai external genital organs of a female. Sementara di al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an disebutkan, secara harfiah, ritqu dapat diartikan menjadi “menempelkan atau merapatkan”. Dalam Alquran, lafadz ritq disebut satu kali yaitu pada surat Al-Anbiya ayat 30 dengan arti “sesuatu yang padu”. Sedangkan ghisya’ al-bikarah berarti selaput clitoris atau selaput dara yaitu permukaan daging tipis dan lembut yang terletak pada kelamin wanita. Dokter Yasin Nuaim dalam bukunya “Fikih Kedokteran” (terjemahan) mendefinisikan operasi selaput dari sebagai “memperbaiki dan mengembalikannya pada tempat semula atau pada tempat yang dekat dengannya”.
Berdasarkan data yang bersumber dari beberapa media cetak maupun internet, wanita-wanita yang meminta untuk dioperasi selaput daranya mempunyai latar belakang yang berbeda. Ada yang selaput daranya rusak sebab diperkosa, ada yang sebab melakukan perzinaan suka sama suka (seks bebas), ada yang sebab tergoda rayuan sehingga khilaf dan terjebak dalam perbuatan zina. Ada juga wanita yang minta dioperasi dengan latar belakang kerusakan yang tidak diketahui (baca: disadari) sebelumnya, misalnya kerusakan selaput dara yang yang disebabkan oleh pekerjaan tertentu seperti melompat, kebiasaan bersepeda onthel, atau beberapa sebab lain yang terjadi di waktu masih anak-anak.[1]


B.     PEMBAHASAN

Pembahasan tentang hukum operasi selaput dara, secara langsung berarti juga membahas dua pihak yang terlibat di dalamnya: dokter yang melakukan operasi selaput dara, dan pasien (wanita) yang meminta agar selaput daranya dioperasi. Dengan fakta di muka, kurang tepat jika pembahasan tentang operasi selaput dara mengabaikan keberadaan salah satu atau bahkan kedua pihak yang terlibat. Dengan demikian, pembahasan kemungkinan-kemungkinan yang berkaitan dengan kedua belah pihak perlu untuk didahulukan.

Kemungkinan-kemungkinan bagi Kedua Belah Pihak
Kasus permintaan operasi selaput dara, bagi pihak dokter mempunyai tiga
kemungkinan tindakan:
1. Menolak mutlak.
2. Menerima tanpa check and recheck.
3. Menerima dengan menyelidiki lebih dahulu latar belakang pasien sehingga bisa
                memutuskan untuk menerima atau menolak untuk melakukan operasi selaput dara.
Adapun bagi wanita yang rusak selaput daranya, ada dua kemungkinan tindakan:
1. Tidak menjalani operasi dengan resiko terbuka aibnya, mendapat celaan internal
                maupun eksternal, mendapat perlakuan sewenang-wenang dari suami dan keluarga
                pihak suami, frustasi, bunuh diri.
2. Menjalani operasi sehingga tertutupi aibnya dan tidak mendapat respon negatif dan
                resiko yang berefek buruk dalam kelanjutan hidupnya.

Dua Pendapat Kuat yang telah Beredar
Adalah lumrah jika suatu permasalahan yang tidak didapati nash-nya secara qath’i, akan mengakibatkan perbedaan pendapat sebagai hasil dari ijtihad. Demikian juga yang terjadi dalam menanggapi kasus operasi selaput dara. Masing-masing berijtihad dan masing-masing mempunyai pendapat yang sekilas bisa dinyatakan sama kuat. Banyak pendapat dalam merespon kasus ini, namun secara garis besar pendapat-pendapat tersebut terbagi menjadi dua:
Pendapat pertama, tidak dibolehkan mengoperasi selaput dara hingga seperti sedia kala. Pendapat kedua, dibolehkan mengoperasi selaput dara pada keadaan-keadaan tertentu.
Pendapat pertama didasari argumen kewajiban menutup aurat, serta pandangan bahwa operasi selaput dara bukan merupakan perkara sunnah apalagi wajib sehingga tidak ada alasan yang membolehkan terbukanya aurat pada saat operasi. Juga pandangan bahwa operasi selaput dara mengandung unsur penipuan terhadap calon suami khususnya dan pihak keluarga suami bahkan masyarakat pada umumnya. Sedangkan pendapat kedua didasarkan pada hadits Nabi tentang anjuran menutupi aib seorang Muslim serta pada adanya fakta bahwa wanita yang meminta untuk dioperasi adalah korban perkosaan atau rusak selaput daranya oleh sebab yang tidak disengaja (tanpa disadari), juga fakta bahwa ada wanita-wanita tertentu yang benar-benar berniat bertaubat dari perbuatan yang mengakibatkan selaput daranya rusak, sehingga dengan fakta ini pendapat kedua mendasarkan pada asas “memilih yang lebih kecil madharatnya di antara dua hal yang sama-sama mengandung madharat” serta pernyataan Allah dalam Alquran bahwa ampunanNya sangat luas; hanya dosa syirik yang tidak diampuni.

Kapan Kasyf al-Aurat Dibolehkan?
Merupakan kesepakatan bahwa hukum menutup aurat adalah wajib. Allah swt.
berfirman dalam surat An-Nuur ayat 31:


Meski demikian, dinyatakan dalam kitab al-Muhadzdzab bahwa untuk kepentingan pengobatan dan khitan, kasyf al-aurat diperbolehkan karena kedua keadaan tersebut merupakan keadaan darurat. Permasalahannya adalah, apakah rusaknya selaput dara dapat dikategorikan sebagai suatu keadaan darurat sehingga operasi selaput dara bisa dinyatakan sebagai tindak pengobatan yang membolehkan terbukanya aurat?


Darurat dalam Alquran
   :
... tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
:
... maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
... barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Darurat menurut Madzhab Empat
Menurut Al-Jurjani dalam At-Tarifat, dharurah berasal dari kata dharar. Sedang kata dharar sendiri, mempunyai tiga makna pokok, yaitu lawan dari manfaat (dhid al-naf’i),kesulitan/kesempitan (syiddah wa dhayq), dan buruknya keadaan (su`ul haal). Kata dharurah, dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith mempunyai arti kebutuhan (al-hajah), sesuatu yang tidak dapat dihindari (asy-syiddah laa madfa’a lahaa), dan kesulitan (masyaqqah).
Darurat menurut madzhab Hanafi didefinisikan sebagai keadaan yang memaksa(seseorang) untuk mengerjakan sesuatu yang dilarang oleh syara (al-halah al-mulji`ah li tanawul al-mamnu’ syar’an). Sedangkan madzhab Maliki, darurat ialah kekhawatiran akan mengalami kematian (khauf al-maut)... dan tidak disyaratkan seseorang harus menunggu sampai (benar-benar) datangnya kematian, tapi cukuplah dengan adanya kekhawatiran akan mati, sekalipun dalam tingkat dugaan (zhann).10 Madzhab Hanbali yang diwakili oleh Ibnu Qudamah menyatakan bahwa keadaan darurat adalah kedaan yang dikhawatirkan akan membuat seseorang binasa jika ia tidak makan yang haram. Sementara madzhab SyafiI melalui Muhammad al-Khatib al-Syarbaini mendefinisikan darurat sebagai rasa khawatir akan terjadinya kematian atau sakit yang menakutkan atau menjadi semakin parahnya penyakit ataupun semakin lamanya sakit.
Berdasarkan dalil-dalil dari Alquran yang disertai dengan pendapat dari empat madzhab, dapat disimpulkan bahwa definisi darurat yang tepat adalah keterpaksaan yang sangat mendesak yang dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kebinasaan/ kematian (alidhthirar al-mulji` alladzi yukhsya minhu al-halak). Dengan demikian, operasi selaput dara tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan pengobatan yang berhubungan dengan hifdz annafs sehingga membolehkan terbukanya aurat.

Selaput Daradi antara Dua Pendapat yang Mengapitnya
Jika hanya bersandar pada definisi darurat sebagaimana yang telah dikemukakan, sekilas pendapat yang mengharamkan operasi selaput dara dapat diterima. Namun jika melihat pada adanya kemungkinan terburuk (celaan dan perlakuan sewenang-wenang terhadap pihak wanita yang bisa jadi berakhir dengan bunuh diri), maka pendapat tersebut perlu dianalisis lebih mendalam. Karena dengan adanya kemungkinan terburuk tersebut, kasus ini bisa dikategorikan sebagai keadaan darurat karena berhubungan dengan tindakan hifdzan-nafs. Untuk menganalisis bahasan ini, argumen dari kedua belah pihak perlu untuk dikedepankan sebagai bahan pengkajian ulang.

Pendapat Pertama:
Operasi pengembalian keperawanan yang rusak dilarang secara mutlak dengan argumensebagai berikut berikut:[2]
1. Operasi seperti ini terkadang dapat menimbulkan percampuran nasab. Hal ini juga memungkinkan seorang wanita yang melakukan zina kemudian menikah kembali dengan lelaki lain setelah melakukan operasi, sehingga anak yang ada dalam kandungan dinasabkan kepada suaminya yang kedua. Perbuatan semacam ini adalah haram. Karena itu, segala sesuatu yang dapat mengarah kepada yang haram, hukumnya adalah haram sesuai dengan kaidah sad adz-dzari’ah.
2. Operasi seperti ini akan memudahkan atau membuka peluang para gadis remaja untuk melakukan perzinaan, karena hubungan intim baik sah maupun tidak sah pada hakekatnya dapat merusak selaput clitoris wanita, akan tetapi hal itu dapat dikembalikan melalui operasi. Operasi seperti ini hukumnya adalah haram. Oleh karena itu, para dokter dilarang mempraktekkan operasi semacam ini.
3. Operasi ini dapat membuka jalan bagi para gadis dan keluarganya berbohong dengan maksud menyembunyikan penyebab hilangnya dan rusaknya keperawanan mereka. Sedangkan berbohong hukumnya haram dan apapun yang mengarah kepada hal yang haram hukumnya adalah haram.
4. Operasi dalam bentuk semacam ini akan membuka kebohongan, penipuan dan pemalsuan yang diharamkan oleh agama. Keharamannya merupakan kesepakatan ulama.

Pendapat Kedua:
Operasi pengembalian keperawanan yang rusak diperbolehkan dengan argumen sebagai berikut berikut:
1. Operasi pengembalian keperawanan yang rusak merupakan salah satu cara untuk menyembunyikan aib wanita tersebut.[3] Karena jika aib itu tersebar di kalangan masyarakat umum, maka wanita itu akan dipermainkan, dicemooh dan dikucilkan, sekalipun ia tidak melakukannya. Aib tersebut bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk semua keluarganya. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang hamba menyembunyikan aib saudaranya di dunia, melainkan Allah SWT akan menyembunyikan aibnya di akhirat”. Nabi SAW berkata pada Hazzal, -dia adalah orang yang mengetahui peristiwa perzinaan yang dilakukan oleh Maiz-, “Jika engkau menyembunyikannya dengan pakaianmu, maka itu lebih baik untukmu” .
2. Operasi ini akan melindungi keluarga dari kehancuran rumah tangga. Karena jika hal tersebut diketahui oleh suaminya, maka akan terjadi perselisihan yang berdampak pada hilangnya rasa percaya antara keduanya dan suami akan menuduh pasangannya telah melakukan serong. Karena itu, operasi ini boleh dilakukan jika dengan tujuan menghindari terjadinya kehancuran rumah tangga.[4]
3. Hilangnya keperawanan seseorang wanita dapat menimbulkan prasangka buruk terhadap dirinya, meskipun belum tentu melakukannya, karena hilangnya keperawanan seseorang itu dapat terjadi karena banyak faktor.[5] Oleh karena itu, diperbolehkan operasi tersebut merupakan sarana untuk menghindari prasangka buruk tersebut. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan buruk sangka (kecurigaan), karena sebagian dari buruk sangka itu dosa”. (QS. Al- Hujarat:12)
4. Menurut ulama fiqh, tersebarnya informasi bahwa seseorang wanita telah hilang keperawanannya tidak langsung mengindikasikan bahwa wanita itu melakukan zina. Hal tersebut bisa saja terjadi karena faktor-faktor lain. Karena itu, zina dapat ditetapkan dengan tiga hal: pengakuan, saksi, bukti hamil di luar nikah atau hamil setelah dicerai atau setelah ditinggal mati suaminya dan selesai masa iddahnya. Berdasarkan hal di atas, maka pendapat yang memperbolehkan operasi ini dilakukan merupakan upaya untuk menghindari wanita dari tuduhan melakukan zina.
5. Sebagian masyarakat langsung menvonis wanita yang rusak keperawanannya tanpa bukti yang jelas. Hal ini berpotensi merusak kehidupan rumah tangganya atau mungkin dapat menyebabkan wanita tersebut hidup menjadi perawan tua, karena tidak ada seorang laki-laki pun yang mau meminangnya sehingga jiwanya akan terguncang. Maka melakukan operasi dalam kondisi ini adalah untuk melindunginya dari tuduhan-tuduhan masyarakat yang tidak berdasarkan syariat.[6]
6. Upaya pengobatan guna mengembalikan keperawanan wanita yang melakukan zina dan perbuatannya belum tersebar diharapkan dapat menyembunyikan aib mereka serta memotivasi mereka untuk bertaubat dan menyesali perbuatan yang telah dilakukannya, dan Allah akan mengampuni dosanya. Namun jika ia tetap melakukannya tanpa pernah merasa berdosa di hadapan Allah, maka semuanya kita serahkan kepada Allah SWT. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk selalu menyembunyikan aib orang lain agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap orang lain. Melakukan operasi dengan tujuan melindungi pelakunya dari sanksi sosial memiliki relevensi dengan agama.

Analisis
1. Argumen bahwa operasi pengembalian keperawanan yang rusak dapat menimbulkan  percampuran nasab tidak dapat diterima. Hal ini karena kemungkinan apakah wanita tersebut hamil atau tidak hanya dapat diketahui melalui pemeriksaan air seni atau darah yang dilakukan oleh dokter.
2. Argumen bahwa melakukan operasi keperawanan dapat membuat wanita berani melakukan zina adalah pendapat keliru. Alasannya, wanita yang keperawanannya rusak terkadang adalah wanita shalihah yang taat kepada Allah SWT. Melarang mereka untuk melakukan operasi akan membuat diri mereka merasa terzalimi. Selain itu, mereka juga merasa bahwa kehormatan mereka dalam masyarakat telah hilang. Hal itu besar kemungkinan dapat menyebabkan mereka masuk ke dalam lembah perzinaan. Kondisi ini akan membuat mereka merasa takut untuk menikah karena khawatir kondisinya akan diketahui oleh laki-laki yang akan menikahinya sehingga akhirnya ia lebih memilih untuk melakukan hubungan seks di luar nikah daripada harus menikah. Jadi, mengizinkan mereka untuk melakukan operasi adalah diperbolehkan.

C.    KESIMPULAN

Setelah menganalisis dengan mengkaji ulang argumentasi dari masing-masing pendapat mengenai hukum melakukan operasi selaput dara (mengembalikan keperawanan), maka dapat disimpulkan bahwa tanpa sebab dan syarat tertentu, melakukan operasi selaput dara tidak diperbolehkan. Artinya, dengan adanya sebab dan syarat tertentu, operasi selaput dara diperbolehkan. Adapun sebab dan syarat tertentu tersebut adalah bahwa jika kerusakan selaput dara merupakan bawaan sejak lahir, atau rusak karena perbuatan tidak disengaja, atau rusak karena perbuatan yang bukan perbuatan maksiat, seperti mengobati penyakit yang ada dalam selaput sehingga terjadi kerusakan, atau robek akibat penyiksaan, pemaksaan dan pemerkosaan.










Keterangan Gambar:
Jenis selaput dara berdasarkan bentuknya:
Dari kiri ke kanan: anulare, settato, Cibriform, Introitus.[7]




DAFTAR PUSTAKA

Anandiayuska. 2008. Operasi Selaput Dara.  http://anandiayuska.com

Hasjim Abbas. Kontroversi Operasi Selaput Dara. Published by http://my.opera.com/allfaishall

M. Nu’aim Yasin. 2001.  Fikih Kedokteran. Pustaka Al-kautsar: Jakarta.

Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid. 2010. Islam Tanya & Jawab.  http://www.islam-qa.com




[1] Hasjim Abbas, Kontroversi Operasi Selaput Dara, Published by http://my.opera.com/allfaishall
[2] Hasjim Abbas, Kontroversi Operasi Selaput Dara, Published by http://my.opera.com/allfaishall
[3] M. Nu’aim Yasin, Fikih Kedokteran, hal.239
[4] Ibid, hal.240
[5] Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid,  Islam Tanya & Jawab,  http://www.islam-qa.com
[6] Hasjim Abbas, Kontroversi Operasi Selaput Dara, Published by http://my.opera.com/allfaishall
[7] Anandiayuska, Operasi Selaput Dara, http://anandiayuska.com

0 komentar: