Wakaf
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
seseorang atau badan hukum dengan
memisahkan sebagian dari harta kekayaan yang berupa tanah milik dan
melembangkannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau
keperluan umum lainya sesuai dengan ajaran agama Islam.2
Mengenai dasar hukum pelaksanaan wakaf terdapat di dalam al Qur’an surat
al-Baqarah ayat 267:
Artinya :”Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu.”(Q.S. al-Baqarah: 267).
Wakaf telah
bekembang sepanjang perjalanan sejarah Islam. Di beberapa Negara timur tengah, hasil dari wakaf-properti dan tanah,
benar-benar menjadi jaringan layanan kesejahteraan dan derma (seperti sekolah,
panti asuhan yatim piatu, dan dapur umum) bagi penduduk muslim yang dapat
membiayai pemeliharaan masjid-masjid dan kuburan-kuburan terkenal, pasokan air,
serta jembatan-jembatan, birokrasi-birokrasi besar dan berpengaruh bermunculan
untuk mengelola wakaf. 3
1Depag RI, Perkembangan Pengeolalaan Wakaf Di Indonesia.Djakarta:
Direktorat Pemberdyaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam
Depag RI , 2006, Hal.1
2Depag RI, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Direktorat
Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997, Hlm. 95.
3Michel Dumper, Wakaf Kaum Muslim Di Negara Yahudi, cet.
1, Jakarta: Lentera, 1999,Hal. XII
Eksistensi wakaf dalam konstalasi sosial
masyarakat sangat didambakan,sebab lembaga wakaf dalam ajaran Islam hakikatnya
bukan hanya sebagai kebutuhansesaat saja,melainkan diharapkan lebih jauh dari
itu, yaitu sebagai sub system lembaga baitul mal. Jika dikelola secara
profesional dan memadai akan menjadi sumber dana yang potensial untuk pembangunan
umat (bangsa) dan bahkan negara.4
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 215
ayat (4) dan UU No 41 Tahun 2004 tentang wakaf pasal 16, bahwa benda wakaf
adalah segala Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami oleh masyarakat
cenderung terbatas pada benda tidak bergerak, akan tetapi perwakafan yang benda
baik bergerak atau tidak bergerak dan yang memiliki daya tahan lama dan/atau
manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang
diwakafkan oleh wakif. Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila
dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah.
Praktek wakaf dan perwakafan yang terjadi
pada kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga
dalam berbagai kasus banyak harta wakaf yang terlantar dan tidak terpelihara
sebagaimana mestinya atau beralih kepada pihak ketiga dengan cara melawan
hukum. Hal yang demikian terjadi karena ketidak mampuan nadzir dalam mengelola
dan mengembangkan harta wakaf sementara pemahaman masyarakat terhadap fungsi,
tujuan dan peran harta wakafmenurut syari'ah masih lemah.5
Hal lain yang cukup penting untuk
diperhatikan adalah bahwa pengelolaan wakaf secara profesional dan bertanggung
jawab oleh pengelola (nadzir) baik yang berbentuk perorangan maupun badan hukum
akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan juga akan kesadaran masyarakat
untuk berwakaf.6
Mengingat sangat pentingnya harta benda wakaf
untuk dikelola dan dikembangkan secara profesional yang dikarenakan wakaf
adalah sumber dana yang potensial bagi umat, maka penyusun akan membahas
makalah yang berjudul Perubahan Peruntukan Wakaf dalam Perspektif Fiqih dan
Undang Undang.
4Ahmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Cet.IV,
Depok: Mumtaz Publishing,
5 Dadan Muttaqien dkk. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Indonesia,
Yogyakarta:UII Press, 1999, hal. 298.
6 Depag RI, Paradigma
baru Wakaf di Indonesia,Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI,2007, hal.49 2007, Hal. 73
TINJUAN
UMUM HUKUM ISLAM TENTANG WAKAF
DAN
PERUBAHAN HARTA BENDA WAKAF MENURUT ULUMA’ FIQH
A.
Tinjuan Hukum Islam Terhadap Wakaf
1.
Pengertian Wakaf Dan Dasar Hukumnya a. Pengertian Wakaf
Wakaf adalah suatu kata yang berasal dari Bahasa
Arab, yaitu waqafa yang berarti
menahan, menghentikan atau mengekang. Dalam bahasa Indonesia kata waqaf biasa diucapkan dengan wakaf dan ucapan inilah yang dipakai
dalam perundang-undangan di Indonesia.1
Sedangkan
menurut istilah wakaf adalah” menahan
harta yang dapat diambil manfaatnya
tanpa menghabiskan atau meneruskan bendanya (‘ainnya) dan di gunakan untuk kebaikan. 2
Wakaf
dalam pengertian ilmu tajwid mengandung makna menghentikan bacaan, baik
seterusnya maupun untuk mengambil nafas semetara. Menurut aturannya seorang
pembaca tidak boleh berhenti di pertengahan suku kata, harus pada akhir kata di
penghujung ayat agar bacaanya sempurna. “ pengertian wakaf dalam makna berdiam
di tempat, dikaitkan dengan wukuf, yakni berdiam di Arafah pada tanggal 9
Zdulhijjah ketika menunaikan ibadah haji. Tanpa wukuf di Arafah tidak ada haji
bagi seseorang.”3
1 Departemen Agama, Ilmu Fiqih 3, cet.II, Jakarta: Depag RI,
1986, hal.207.
2H. Adijani
al-Alabij, Perwakafan Tanah Di Indonesia
Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta :1989, hal. 23
3 Ali Mohammad Daud,.Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,
Jakarta : Universitas Indnesia Press, cet. Ke-1. 1988. Hlm. 6
Wakaf menurut Islam adalah pemisahan suatu harta
benda seseorang yang disahkan, dan
benda itu ditarik dari benda milik perseorangan dialihkan penggunaanya kepada
jalan kebaikan yang diridhai oleh Allah SWT.4
Abu
Bakar Jabir Al-Jazairi megartikan wakaf
sebagai penahan harta sehingga harta tersebut tidak bisa diwarisi, atau dijual,
atau dihibahkan, dan mendermakan hasilnya kepada penerima wakaf. 5
Wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 215 ayat
(1) dijelaskan dengan redaksi: ”wakaf adalah perbuatan hukum seseorang
atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta
miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.6
Dalam
prespektif ekonomi, wakaf dapat
didefinisikan sebagai pengalihan dana (atau asset lainnya) dari keperluan
konsumsi dan menginfestasikannya ke dalam aset produktif yang menghasilkan
pendapat untuk konsumsi di masa yang akan datang baik oleh individual ataupun
kelompok. 7
Naziroeddin
Rachmat memberi pengertian harta wakaf sebagai suatu barang yang sementara
asalnya tetap, lalu berubah, yang dapat dipetik hasilnya
dan pemiliknya sudah
menyerahkan kekuasaannya terhadap barang itu dengan
4 Imam Suhadi, Hukum Wakaf di Indonesia, Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985, hal. 3. 5Farid Wajdy dan
Mursid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat,Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,
2007,
hal. 30
6 Departemen agama
RI, Pedoman Pengelolaan Dan Pengembangan
Wakaf , Jakarta:Depag RI,2006, hal. 38.
7Farid Wajdy. Op.cit, Hal 3
syarat dan ketentuan
bahwa hasilnya akan dipergunakan untuk keperluan kebajikan yang diperintahkan
syari’at.8
Wakaf
merupakan salah satu ibadah kebendaan yang penting yang tidak memiliki rujukan
yang eksplisit dalam kitab suci Al-Qur’an. Oleh karena itu, ulama telah
melakukan identifikasi untuk mencari “induk kata” sebagai sandaran hukum. Hasil
identifikasi mereka juga akhirnya melahirkan ragam nomeklatur wakaf.9
Dari
pengertian-pengertian tersebut diatas dapat diambil beberapa pengertian bahwa
harta wakaf yang diwakafkan haruslah: Pertama,
benda yang kekal zatnya (tahan lama wujudnya), tidak cepat musnah setelah
dimanfaatkan. Kedua, lepas dari
kekuasaan orang-orang yang berwakaf.
Ketiga, tidak dapat diasingkan kepada pihak lain,
baik dengan jalan jual-beli, dihibahkan
ataupun diwariskan. Keempat, untuk
keperluan amal kebajikan sesuai dengan ajaran Islam.10
Perubahan Harta
Benda Wakaf Menurut Pendapat Ulama Fiqh
Wakaf sebagaimana
maknanya adalah berhenti, berhenti dari kepemilikan diri sendiri berpindah kepada
pemilik jagat raya Allah SWT. Maka harta wakaf
tidak boleh dijual, dihibahkan dan tidak boleh
diwariskan. Prinsip Wakaf adalah keabadian (ta’bidul
ashli), dan prinsip kemanfaatan (tasbilul
manfaah).43
Persoalan yang timbul akibat dari dimensi
sosial adalah tukar guling yang
dalam istilah fikih disebut istibdal atau dalam hukum positif
disebut ruilslag. Al-
Istibdal, diartikan
|
sebagai penjualan
barang wakaf untuk dibelikan barang
|
||
lain
sebagai wakaf penggantinya.
|
Ada yang
mengartikan, bahwa al-
|
||
Istibdal adalah
|
mengeluarkan suatu
barang dari
|
status wakaf,
dan
|
|
menggantikannya
|
dengan barang
|
lain. Al-Ibdal,
|
diartikaan sebagai
|
penggantian barang
wakaf dengan barang wakaf lainnya, baik yang sama kegunaannya atau tidak,
seperti menukar wakaf yang berupa tanah pertanian dengan barang lain yang
berupa tanah untuk bangunan. Ada juga pendapat yang mengartikan sama antara Al-Istibdal dan Al-Ibdal.44
Di
lingkungan masyarakat Islam Indonesia khususnya, sering memahami secara kurang
professional tentang ajaran wakaf itu sendiri. Pemahaman masyarakat tersebut
memang lebih karena di pengaruhi oleh beberapa pandangan imam mazhab, seperti
imam Malik dan Syafi’i yang menekankan pentingnya
43Departemen Agama RI, Op.cit.Hlm. 57
44H.M. Cholil Nafis Ph.D, www.Fiqih Wakaf.com, diakses pada tanggal, 15 Oktober 2011, jam:
11.26.
keabadian benda wakaf, walaupun telah rusak
sekalipun.45 Pendapat-pendapat tersebut seperti:
1.
Maliki
Golongan
malikiyah berpendapat ”tidak boleh” menukar harta wakaf yang terdiri dari benda
tidak bergerak, walaupun benda itu akan rusak atau tidak menghasilkan sesuatu.
Tapi sebagian ada yang berpendapat lagi. Sedangkan untuk benda bergerak
golongan Malikiyah “membolehkan”, sebab dengan adanya penukaran maka benda itu
tidak sia-sia.46
Ulama
Malikiyah juga membedakan jenis harta benda wakaf kaitannya dengan penjual
harta benda tersebut:
a.
Apabila
harta wakaf berwujud masjid, maka tidak boleh dijual.
b.
Apabila
harta itu berbentuk harta tidak bergerak, maka tidak boleh dijual sekalipun
hancur dan tidak boleh diganti dengan jenis yang sama, tetapi
boleh dijual dengan syarat dibelikan lagi
sesuai kebutuhan untuk memperluas masjid atau jalan umum.
c.
Dalam
bentuk benda lain dan hewan, apabila manfaatnya tidak ada lagi boleh dijual dan
hasil penjualannya dibelikan barang atau hewan sejenis.47
2.
Syafi’i
Imam Syafi’i sendiri dalam masalah tukar
menukar harta wakaf
hampir sama dengan pendapat imam Malik,
yaitu sangat mencegah adanya
45 Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf Di
Indonesia, Direktorat pengembangan zakat dan wakaf Diretorat jendral Bimbingan
Masyarakat Islam Dan penyelenggaraan Haji, Jakarta:2005. Hlm. 67
46 ibid
47Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van hoeve, 1998, hlm. 1909
tukar menukar harta
benda wakaf. Imam Safi’i berpendapat ”tidak boleh” menjual masjid secara
mutlak, sekalipun itu roboh. Tapi golongan Syafi’iyah berbeda pendapat tentang
benda wakaf yang tidak bergerak yang tidak memberi manfaat sama sekali,
sebagian menyatakan ”boleh” ditukar agar wakaf itu ada manfaatnya.48
Dasar
yang diguanakan adalah hadist nabi yang di riwayatkan oleh Ibnu Umar, dimana di
katakan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, ditukar, dan
diwariskan.49
3.
Hanafi
Dalam
hal mengenai perubahan benda wakaf mazhab Hanafi tidak menentukan ketentuan
hukumnya. Karena kedua sahabatnya pun berselisih pendapat, menurut pendapat Abu
Yusuf tidak boleh menjual harta benda wakaf sekalipun itu rusak, sedangkan
menurut pendapat Muhammad bin al-Hasan dikembalikan kepeda pemiliknya yang
pertama.50
Namun
Ulama Hanafiyah membolehkan penukaran benda wakaf tersebut dalam tiga syarat:
a.
Apabila
wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika ikrar.
b.
Apabila
benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankan.
48
Departemen Agama RI,2005, Op,cit Hlm 68
49
Farid Wadjdy, Op.cit,Hlm. 151
50
Syaikh al-Allamah Muhammad Bin Abddurrahman
ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, Bandung. tth, Hlm. 306
c.
Jika
kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan lebih bermanfaat.51
4.
Hanbali
Ulama
Hanabilah lebih tegas lagi. Mereka tidak membedakan apakah benda wakaf itu
berbetuk masjid atau bukan masjid. Menurut Hanbali wakaf yang sudah hilang
mafaatnya boleh dijual dan uangnya dibelikan yang sepertinya.52 Golongan Hanabilah membolehkan menjual masjid
apalagi benda wakaf lain selain masjid, dan ditukar dengan benda lain sebagai
wakaf, apabila didapati sebab-sebab yang membolehkan”. Umpamanya tikar yang
diwakafkan di masjid, apabila telah usang atau tidak dapat dimanfaatkan lagi,
boleh dijual dan hasil penjualannya dibelikan lagi untuk kepentingan bersama.53
Ibnu
Qodamah dalam kitabnya al-Mughni mengatakan, apabila harta wakaf mengalami
kerusakan hingga tidak dapat bermanfaat sesuai tujuannya , hendaknya dijual
saja dibelikan barang lain yang akan mendatangkan kemanfaatan sesuai dengan
tujuan wakaf, dan barang yang dibeli itu berkedudukan sebagaimana harta seperti
semula.54
51Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Cet.3,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.hlm. 519.
52 Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman
ad-Dimasyiqi, Op.cit, hlm. 306.
53
Ibid
54 Depag RI, Fiqh Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral
Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2006, hlm. 82
Ibn
Taimiyah misalnya, mengatakan tentang kebolehannya mengganti, menjual,
mengubah, dan memindahkan benda wakaf tersebut bisa berfungsi atau mendatangkan
maslahat sesuai dengan tujuan wakaf, atau untuk mendapat maslahat yang lebih
besar bagi kepentingan umum, khususnya kaum muslimin,55
Dasar pemikiran Ibn
Taimiyah sangat praktis dan rasional. Pertama, tindakan menukar atau menjual
benda wakaf tersebut sangat diperlukan. Namun Ibn Taimiyah membolehkan menjual,
megubah dan mengganti benda wakaf dengan dua syarat yaitu: pertama, pengantian karena kebutuhan mendesak misalnya: seseorang
mewakafkan kuda untuk tentara yang sedang berjihad fi sabilillah, setelah
perang usai, kuda tersebut tidak diperlukan lagi. Dalam kondisi seperti ini,
kuda tersebut boleh dijual, dan hasilnya dibelikan sesuatu benda lain yang
lebih bermanfaat untuk diwakafkan56. Kedua,
karena kepentingan mashlahat yang
lebih besar, seperti masjid dan tanahnya yang dianggap kurang bermanfaat,
dijual untuk membangun mesjid baru yang lebih luas atau lebih baik.57 Dalam hal ini mengacu kepada tindakan Umar ibn
al-Khaththab ketika ia memindahkan masjid Kufah dari tempat yang lama ke tempat
yang baru. Utsman kemudian melakukan tindakan yang sama terhadap masjid Nabawi
mengikuti kontruksi pertama dan melakukan perluasan. Demikian yang terjadi pada
masjidil haram.58 Sebagaimana yang
55Farid Wadjdy,Op,cit, Hlm 152
56Ibid, hlm153
57Ibid, hlm
58Depag RI, 2006, Op.cit. hlm. 81
diriwayatkan oleh Bukhori Muslim, bahwa
Rosulallah saw bersabda kepada ‘Aisyah ra, yang artinya:
“Seandainya kaummu
itu masih dekat dengan jahilyah , tentulah Ka’bah itu akan aku runtuhkan dan
aku jadikan dalam bentuk redah serta aku jadikan baginya dua pintu: satu untuk
masuk dan satu untuk keluar”.59
Lebih jauh Ibn
Taimiyyah mengajukan argumentasi, bahwa tindakan tersebut ditempuh untuk
menghindari kemungkinan timbulnya kerusakan atau setidaknya penyia-nyiaan benda
wakaf itu.
Hal ini sejalan dengan kaidah:
Artinya:“Menghindari kerusakan harus
didahulukan dari pada mengambil kemashlahatan".
Selain itu, untuk
mempertahankan tujuan hakiki disyariatkannya wakaf, yaitu untuk kepentingan
orang banyak dan kesinambungan. Namun persoalannya adalah bagaimana seandainya
wakif tidak memberi syarat secara detail terhadap bolehnya benda wakaf tersebut
ditukar atau dijual manakala kondisiya sangat mendesak. 61
Di Indonesia yang
mayoritasnya mengikuti mazhab Syafi´i, sekarang sudah mulai mengkombinasikan
dengan fikih mazhab lain, dan juga pola pemahamannya lebih rasional. Misalnya,
pada abad ke 19 masih terdapat banyak laporan bahwa masjid terpaksa dibiarkan
rusak dan hancur akibat
59Ibid
60 Moh. Adib Bisri, Terjemah Al Fara Idul Bahiyah (Risalah Qowaid Fiqh), Menara Kudus,
tth, Hlm. 24
61H.M. Cholil Nafis Ph. D, www. Fiqh wakaf.
Com. Op.cit
masyarakat tidak berani mengubah dan
mengganti material masjid tersebut karena khawatir melanggar aturan fiqh.62
Implikasi Fiqih
lintas mazhab ini dapat dilihat dari Undang-undang No 41 tahun 2004 tentang
Wakaf yang memiliki paradigma menekankan pentingnya menjaga manfaat wakaf.
Masalah istibdal dimasukkan dalam
“hukum pengecualian“ (al-hukmu
al-istitsna’i)63 seperti disebut dalam BAB IV Pasal 40
dan 41 ayat (1) . Dalam Pasal 40 dinyatakan: Harta benda wakaf yang sudah
diwakafkan dilarang64:
a.
Dijadikan
jaminan
b.
Disita
c.
Dihibahkan
.
d.
Dijual
e.
Diwariskan
f.
Ditukar
atau
g.
Dialihkan
dalam bentuk pengalihan hak lainnya .65 Dalam Pasal 41 UU Wakaf 41/2004 menyatakan:
1.
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda
wakaf yang telah diwakafkan
digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana
umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan
62
ibid
63
ibid
64
Depag
RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, Op.cit.
Hlm 8-9
65
Ibid, Hlm 9
perundang-undangan yang
berlaku
|
dan
|
tidak bertentangan
|
||||||||
dengan
|
syari’ah .
|
|||||||||
2.
|
Pelaksanaan
|
ketentuan
|
sebagaimana
|
dimaksud
|
pada
|
ayat
|
(1)
|
|||
hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh
izin tertulis dari
|
||||||||||
Menteri atas
persetujuan Badan Wakaf
|
Indonesia .
|
|||||||||
3.
|
Harta
|
benda
|
wakaf
|
yang sudah
|
diubah
|
statusnya
|
karena
|
|||
ketentuan pengecualian
|
sebagaimana
|
dimaksud
|
pada
|
ayat
|
(1)
|
|||||
wajib ditukar
dengan harta benda yang manfaat
|
dan
|
nilai tukar
|
||||||||
sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula .
|
4.
Ketentuan mengenai
perubahan status harta
benda wakaf
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat
(3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah .
BAB
III
PERUBAHAN
HARTA BENDA WAKAF MENURUT
KOMPILASI
HUKUM ISLAM PASAL 225
A.
PERWAKAFAN DI INDONESIA
1. Paradigma Masyarakat Terhadap Wakaf
Hasanah
menyatakan bahwa sebenarnya wakaf di Indonesia memang telah ada sejak masuknya
Islam di tanah air. Walaupun demikian, wakaf tak berkembang secara optimal,
karena wakaf yang ada pada umumnya adalah wakaf benda tak bergerak, sehingga
menimbulkan kesan sulit dan berat sekali, hanya orang kaya atau orang yang
punya tanah luas yang bisa melakukan wakaf, sementara orang yang berpenghasilan
rendah seolah tidak punya peluang untuk berwakaf. 1
Bahwa
paradigma wakaf di Indonesia sejak masa penjajahan sampai era reformasi
hanyalah wakaf benda mati, tidak produktif dan menjadi tanggungan masyarakat.
Wakaf dalam pemahaman umat Muslim Indonesia hanyalah seputar kuburan, masjid,
dan madrasah yang tidak bernilai ekonomi. Hal ini tercermin dari peraturan
perundang-undangan tentang wakaf dan peruntukan tanah wakaf di Indonesia.
Perturan wakaf di Indonesia
pra
kemerdekaan hanya berdasarkan
kebiasaannya masyarakat yang bersumber dari ajaran Islam dan diatur
berdasarkan surat-surat edaran
1 Uswatun Hasanah
(ed). Wakaf-Tunia Inovasi Finansial Islam,
Jakarta: Program Studi Timur Tegah Universitas Indonesia: 2006. Hlm. 53
Pemerintah Hindia
Belanda. Kemudian pelaksanaan wakaf diatur oleh
Undang-undang No 5
Tahun 1960. 2
Peraturan itu hanya mengatur dari sisi
administratif dan kepemilikan tetapi belum menyentuh soal pengelolaannya. Wakaf
produktif merupakan sebuah alternatif untuk pemberdayaan umat. Fungsi wakaf
secara khusus sebagai pemberdaya ekonomi masyarakat masih sangat minim, jarang atau
bahkan sama sekali tidak pernah disosialisasikan ke khalayak umum. Selama ini,
distribusi asset wakaf di Indonesia cenderung kurang mengarah pada pemberdayaan
ekonomi umat dan hanya berpretensi untuk kepentingan kegiatan-kegiatan ibadah
mahdlah. Ini dapat dimaklumi, karena memang pada Wakaf Tunai-Inovasi Finansial
Islam, (umumnya ada keterbatasan umat Islam akan pemahaman wakaf, baik mengenai
harta yang diwakafkan,
peruntukan (distribusi) wakaf maupun nadzir
wakaf.3
Pada umumnya, umat
Islam di Indonesia memahami bahwa peruntukan wakaf hanya terbatas untuk
kepentingan peribadatan dan hal-hal yang lazim dilaksanakan di Indonesia
seperti tercermin dalam pembentukan masjid, musholla, sekolah, makam dan
lain-lain. Peruntukan yang lain yang lebih menjamin produktivitas dan
kesejahteraan umat nampaknya masih belum diterima. Dengan adanya Undang-undang
No 41 tahun 2004 diharapkan dapat mengubah paradigma masyarakat Indonesia
tentang peruntukkan wakaf, pengelolaan dan pengembangan harata benda wakaf yang
selama bertahun-tahun dipegang dengan mengidentikan bahwa harta
2 Ibid.
3 Ibid
benda wakaf adalah harta benda tidak
bergerak yang tidak dapat dikelola dan tidak mempunyai nilai ekonomi tanpa
menyadari bahwa pemahaman seperti itu merupakan pemahaman yang sempit.
Paradigma baru tentang harta wakaf dapat dilihat Pada Undang-undang Nomor 41
tahun 2004 Bab II Bagian Keenam Pasal 16 menyebutkan bahwa harta wakaf terdiri
dari benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda tidak bergerak bisa berupa
tanah, bangunan dan tanaman yang semuanya berhubungan dengan tanah. Sedangkan
benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi,
meliputi uang, logam mulia dan surat berharga, kendaraan,hak atas kekayaan
intelektual, hak sewa dan harta bergerak lain sesuai dengan
kententuan syari'ah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.4 Pada bagian ini telah mengesahkan wakaf
produktif dan wakaf tunai.
Undang-undang ini
merupakan suatu loncatan dalam pemahaman fiqih Islam, di mana barang yang bisa
habis dibelanjakan seperti uang dan surat berharga bisa ditanggulangi dengan
sistem modern yaitu lembaga penjamin yang dapat melestarikan harta pokok wakaf
jika mengalami inflasi pada saat pengelolaan dan pengembangannya.
Wakaf produktif
merupakan sebuah alternatif untuk pemberdayaan umat. Selama ini Islam mengenal
bahwa lembaga wakaf merupakan sumber asset yang memberikan pemanfa'atan
sepanjang masa. Namun pengumpulan, pengelolaan dan pendayagunaan harta wakaf
secara produktif di tanah air ini masih sedikit dan ketinggalan dibanding
negara lain. Begitu juga studi
4 UU Wakaf No 41 Tahun 2004
perwakafan
di tanah air kita masih terfokus kepada segi hukum fiqh dan belum menyentuh
pada manajemen perwakafan. Padahal, semestinya wakaf dapat dikelola secara
produktif dan memberikan hasil kepada masyarakat, sehingga dengan demikian
harta wakaf benar-benar menjadi sumber dana
dari masyarakat dan
ditujukan untuk masyarakat.5
Kementrian Zakat dan Wakaf jika kita telaah
secara cermat, maka dapat disimpulkan bahwa potensi wakaf di Indonesia
sangatlah besar. Berdasarkan data yang ada, potensi zakat dinegeri ini mencapai
7 trilliun setiap tahunnya. Belum lagi ditambah dengan potensi wakaf, terutama
wakaf tunai yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai aktivitas yang
produktif, termasuk mengentaskan problematika kemiskinan di Indonesia.
Selain harta benda
wakaf yang sudah ada, ada potensi lain yang dapat kita lihat yaitu dengan
adanya Undang-undang No 41 tahun 2004 yang
mengatur persoalan
wakaf, dan penduduk Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Apalagi
dalam Undang-undang No 41 tahun 2004 diatur tentang wakaf benda bergerak, yang
mana wakaf tersebut dapat membuka peluang untuk menciptakan investasi yang
dapat dialokasikan untuk pelayanan keagamaan, pendidikan serta layanan soial
lainnya. Hasanah menyatakan bahwa pada masa mendatang perkembangan wakaf
ditanah air memiliki prospek bagus. Akan tetapi masih perlu dilakukan sejumlah
pembenahan agar impian tersebut dapat terwujud, diantaranya
5 Uswatun hasanah,
Op.cit. hlm. 56
a)
Perlu
adanya perubahan konsepsi terhadap wakaf Artinya alihkan pandangan masyarakat
terhadap wakaf benda tidak bergerak seperti masjid, tanah, atau benda tak
bergerak lainnya kepada wakaf yang produktif.
b)
Perlu
adanya pembenahan pada nadzir (pengelola wakaf) Artinya fungsi dari nadzir
bukanlah sebagai penunggu wakaf, akan tetapi lebih dari itu yaitu memanfaatkan
harta benda wakaf dengan baik dan profesional sesuai dengan bidangnya (nadzir)
masing-masing. Misalnya Doktor dibidang hukum Islam, ekonomi Islam maupun
pertanian.
c)
Mengusulkan
akan keberadaan badan pengelola wakaf Hal ini dilakukan agar pemerintah lebih
mudah untuk mengawasi dan mendata badan pengelola wakaf yang ada, sehingga
dapat dikontrol dengan baik. Badan ini bertugas mengelola wakaf yang bersifat
nasional atau wakaf dari Negara lain. Disamping itu, ia juga menjadi
coordinator dari nadzir yang telah ada. Dengan harapan para nadzir dapat
menjalankan tugasnya dengan baik.6
2.
Undang-undang
perwakafan di Indonesia a. Sejarah perundang-undangan
Wakaf
sebagai salah satu lembaga Islam yang erat kaitannya dengan kesejahteraan umat
sudah lama melembaga di Indonesia. Sebagai Negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, Indonesia memiliki harta benda wakaf yang banyak, khususnya
tanah
6 Tim Redaksi Fokus Media, Undang-Undang Wakaf, Bandung :Fokus
Media, 2007. Hlm. 6
wakaf yang sangat luas. Namun karena
sejak semula tidak diiringi dengan peraturan perundang-undangan yang memadai,
maka harta benda wakaf itu tidak berkembang dengan baik, bahkan sering
menimbulkan masalah.7
Menurut
Ilmu fiqh 3 menyatakan bahwa banyaknya harta benda wakaf di Indonesia
memunculkan kesadaran pemerintah Hindia Belanda pada masa itu untuk menertibkan
administrasi wakaf di Indonesia dengan mengeluarkan Bijblad no. 6196 yang
dikeluarkan pada tanggal 31 Januari 1905 dan kemudian disempurnakan dengan Bijblad
no. 13480 pada tanggal 27 Mei 1935 dan ditindak lanjuti dengan mendirikan
Pengadilan Agama yang mempunyai tugas dan wewenang untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf dan shadaqah,
yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.8
Setelah
merdeka, Pemerintah RI mengeluarkan peraturan-peraturan perwakafan, akan tetapi
kurang memadai. Melihat wakaf yang berjalan di Indonesia . barulah wakaf tanah,
maka dalam rangka pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia, persoalan perwakafan
dimasukkan kedalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, sedangkan mengenai peraturan perwakapan itu sendiri,
pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik.
7 Depag RI, Perkembangan
Pengelolaan Wakaf Di Indonesia, Jakrta: Derektorat Pemberdayaan Wakaf
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Depag RI, 2006. Hlm. 2
8 Depag RI, Ilmu
Fiqh 3, Cet. II, Jakarta: Depag RI, 1986. Hlm. 228
menyatakan bahwa Untuk mengefektifkan
peraturan-peraturan yang telah ada, maka tanggal 30 November 1990 dikeluarkan
Instruksi Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4
Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf. Disamping itu agar terjamin adanya
kesatuan dan kepastian hukum dalam masalah perwakafan, dalam Kompilasi Hukum
slam di Indonesia Buku III juga dimuat hal-hal yang berkenaan dengan Hukum
Perwakafan.
Setelah terbitnya
berbagai aturan itu, tertib administrasi perwakafan di ndonesia memang
meningkat. Hal ini terlihat dari banyaknya tanah wakaf yang bersertifikat. Akan
tetapi dampakya bagi kesejahteraam sosial ekonomi masyarakat belum nampak.
Mungkin karena wakaf yang diatur dalam PP No. 28 Tahun 1977 tersebut hanyalah
tanah milik, sedangkan wakaf dalam bentuk benda bergerak belum diatur pada saat
itu. Maka perwakafan di Indonesia cukup sulit untuk dikembangkan. Apalagi
kebanyakan nadzir wakaf juga kurang profesional dalam pengelolaan wakaf. mereka
belum bisa mengembangkan wakaf secara produktif.
Pada tanggal 17 Oktober 2004 pemerintah
Indonesia telah mengundangkan Undang-undang tentang wakaf yang kemudian dikenal
dengan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004, Undang-undang tersebut apabila kita
perhatikan memang bih komplek, serta dirancang
untuk meminimalisir terjadinya masalah-masalah dalam wakaf,
sehingga pengelolaan dan pengembengan harta benda wakaf lebih bisa
dimaksimalkan.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
uraian yang telah penulis paparkan, setidaknya penulis mencatat beberapa point
penting yang menjadi inti dari pembahasan di atas:
1.
Dengan
adanya Undang-undang No 41 Tahun 2004 yang membahas masalah wakaf banyak pihak
yang berharap agar undang-undang wakaf dapat berdampak positif bagi perkembangan
wakaf di Indonesia, Harta benda wakaf berdasarkan Pasal 40 Undang-undang No 41
Tahun 2004 suatu harta benda yang telah diwakafkan dilarang: a) dijadikan
jaminan, b) disita, c) dihibahkan, d) dijual, e) diwariskan, f) ditukar, atau
g) dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya, Namun penyimpangan dari
ketentuan pasal 40 huruf
(f)
Undang-undang
No 41 Tahun 2004, hanya dapat dilakukan apabila untuk kepentingan umum sesuai
dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syari'ah. Perubahan sebagaimana
dimaksud hanya dapat dilakukan dengan persyaratan adanya ganti rugi
sekurang-kurangnya sama dengan nilai harta benda wakaf semula, dan setelah
mendapat izin tertulis dari Menteri Agama serta persetujuan dari Badan Wakaf
Indonesia.
2.
Pada
ulama’ madzhab Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa harta benda wakaf yang
sudah tidak berfungsi lagi tetap tidak boleh dijual, ditukar, diganti dan
dipindahkan, namun dilain pihak, bahwa benda wakaf yang sudah atau kurang
berfungsi lagi dimana sudah tidak sesuai lagi dengan peruntukannya maka seperti
madzhab, Hanafi, Hanbali, Abu Tsaur dan Ibnu Taimiyah berpendapat tentang
bolehnya menjual, mengubah, mengganti atau memindahkan benda wakaf tersebut
bisa berfungsi atau mendatangkan maslahat sesuai dengan tujuan wakaf, atau
untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar bagi kepentingan umum, khususnya
kaum muslimin.
0 komentar:
Post a Comment