Wednesday, March 7, 2018

MAKALAH PERUBAHAN PERUNTUKAN WAKAF DALAM PERSPEKTIF FIQIH DAN UNDANG-UNDANG

Perwakafan atau wakaf merupakan pranata dalam keagamaan Islam yang sudah mapan. DalamHukum Islam, wakaf tersebut tersebut termasuk kategori ibadah kemasyarakatan (ibadah ijtima’iyyah). Sepanjang sejarah Islam, wakaf merupakan sarana modal yang amat penting dalam memajukan perkembangan agama.1
Wakaf adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum dengan memisahkan sebagian dari harta kekayaan yang berupa tanah milik dan melembangkannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainya sesuai dengan ajaran agama Islam.2
Mengenai dasar hukum pelaksanaan wakaf terdapat di dalam al Qur’an surat al-Baqarah ayat 267:




Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.”(Q.S. al-Baqarah: 267).
Wakaf telah bekembang sepanjang perjalanan sejarah Islam. Di beberapa Negara timur tengah, hasil dari wakaf-properti dan tanah, benar-benar menjadi jaringan layanan kesejahteraan dan derma (seperti sekolah, panti asuhan yatim piatu, dan dapur umum) bagi penduduk muslim yang dapat membiayai pemeliharaan masjid-masjid dan kuburan-kuburan terkenal, pasokan air, serta jembatan-jembatan, birokrasi-birokrasi besar dan berpengaruh bermunculan untuk mengelola wakaf. 3


1Depag RI, Perkembangan Pengeolalaan Wakaf Di Indonesia.Djakarta: Direktorat Pemberdyaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI , 2006, Hal.1

2Depag RI, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997, Hlm. 95.
3Michel Dumper, Wakaf Kaum Muslim Di Negara Yahudi, cet. 1, Jakarta: Lentera, 1999,Hal. XII

Eksistensi wakaf dalam konstalasi sosial masyarakat sangat didambakan,sebab lembaga wakaf dalam ajaran Islam hakikatnya bukan hanya sebagai kebutuhansesaat saja,melainkan diharapkan lebih jauh dari itu, yaitu sebagai sub system lembaga baitul mal. Jika dikelola secara profesional dan memadai akan menjadi sumber dana yang potensial untuk pembangunan umat (bangsa) dan bahkan negara.4
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 ayat (4) dan UU No 41 Tahun 2004 tentang wakaf pasal 16, bahwa benda wakaf adalah segala Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami oleh masyarakat cenderung terbatas pada benda tidak bergerak, akan tetapi perwakafan yang benda baik bergerak atau tidak bergerak dan yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif. Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah.
Praktek wakaf dan perwakafan yang terjadi pada kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus banyak harta wakaf yang terlantar dan tidak terpelihara sebagaimana mestinya atau beralih kepada pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Hal yang demikian terjadi karena ketidak mampuan nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf sementara pemahaman masyarakat terhadap fungsi, tujuan dan peran harta wakafmenurut syari'ah masih lemah.5
Hal lain yang cukup penting untuk diperhatikan adalah bahwa pengelolaan wakaf secara profesional dan bertanggung jawab oleh pengelola (nadzir) baik yang berbentuk perorangan maupun badan hukum akan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan juga akan kesadaran masyarakat untuk berwakaf.6
 Mengingat sangat pentingnya harta benda wakaf untuk dikelola dan dikembangkan secara profesional yang dikarenakan wakaf adalah sumber dana yang potensial bagi umat, maka penyusun akan membahas makalah yang berjudul Perubahan Peruntukan Wakaf dalam Perspektif Fiqih dan Undang Undang.


4Ahmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Cet.IV, Depok: Mumtaz Publishing,
5 Dadan Muttaqien dkk. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Indonesia,
Yogyakarta:UII Press, 1999, hal. 298.
6 Depag RI, Paradigma baru Wakaf di Indonesia,Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI,2007, hal.49 2007, Hal. 73




TINJUAN UMUM HUKUM ISLAM TENTANG WAKAF
DAN PERUBAHAN HARTA BENDA WAKAF MENURUT ULUMA’ FIQH

A.      Tinjuan Hukum Islam Terhadap Wakaf

1.   Pengertian Wakaf Dan Dasar Hukumnya a. Pengertian Wakaf

Wakaf adalah suatu kata yang berasal dari Bahasa Arab, yaitu waqafa yang berarti menahan, menghentikan atau mengekang. Dalam bahasa Indonesia kata waqaf biasa diucapkan dengan wakaf dan ucapan inilah yang dipakai dalam perundang-undangan di Indonesia.1
Sedangkan menurut istilah wakaf adalah” menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau meneruskan bendanya (‘ainnya) dan di gunakan untuk kebaikan. 2
Wakaf dalam pengertian ilmu tajwid mengandung makna menghentikan bacaan, baik seterusnya maupun untuk mengambil nafas semetara. Menurut aturannya seorang pembaca tidak boleh berhenti di pertengahan suku kata, harus pada akhir kata di penghujung ayat agar bacaanya sempurna. “ pengertian wakaf dalam makna berdiam di tempat, dikaitkan dengan wukuf, yakni berdiam di Arafah pada tanggal 9 Zdulhijjah ketika menunaikan ibadah haji. Tanpa wukuf di Arafah tidak ada haji bagi  seseorang.”3









1 Departemen Agama, Ilmu Fiqih 3, cet.II, Jakarta: Depag RI, 1986, hal.207.

2H. Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah Di Indonesia Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta :1989, hal. 23

3 Ali Mohammad Daud,.Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta : Universitas Indnesia Press, cet. Ke-1. 1988. Hlm. 6




Wakaf menurut Islam adalah pemisahan suatu harta benda seseorang yang disahkan, dan benda itu ditarik dari benda milik perseorangan dialihkan penggunaanya kepada jalan kebaikan yang diridhai oleh Allah SWT.4
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi megartikan wakaf sebagai penahan harta sehingga harta tersebut tidak bisa diwarisi, atau dijual, atau dihibahkan, dan mendermakan hasilnya kepada penerima wakaf. 5
Wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 215 ayat (1) dijelaskan dengan redaksi: ”wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.6
Dalam prespektif ekonomi, wakaf dapat didefinisikan sebagai pengalihan dana (atau asset lainnya) dari keperluan konsumsi dan menginfestasikannya ke dalam aset produktif yang menghasilkan pendapat untuk konsumsi di masa yang akan datang baik oleh individual ataupun kelompok. 7
Naziroeddin Rachmat memberi pengertian harta wakaf sebagai suatu barang yang sementara asalnya tetap, lalu berubah, yang dapat dipetik hasilnya
dan pemiliknya sudah menyerahkan kekuasaannya terhadap barang itu dengan

4 Imam Suhadi, Hukum Wakaf di Indonesia, Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985, hal. 3. 5Farid Wajdy dan Mursid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat,Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007, hal. 30
6 Departemen agama RI, Pedoman Pengelolaan Dan Pengembangan Wakaf , Jakarta:Depag RI,2006, hal. 38.
7Farid Wajdy. Op.cit, Hal 3









syarat dan ketentuan bahwa hasilnya akan dipergunakan untuk keperluan kebajikan yang diperintahkan syari’at.8
Wakaf merupakan salah satu ibadah kebendaan yang penting yang tidak memiliki rujukan yang eksplisit dalam kitab suci Al-Qur’an. Oleh karena itu, ulama telah melakukan identifikasi untuk mencari “induk kata” sebagai sandaran hukum. Hasil identifikasi mereka juga akhirnya melahirkan ragam nomeklatur wakaf.9
Dari pengertian-pengertian tersebut diatas dapat diambil beberapa pengertian bahwa harta wakaf yang diwakafkan haruslah: Pertama, benda yang kekal zatnya (tahan lama wujudnya), tidak cepat musnah setelah dimanfaatkan. Kedua, lepas dari kekuasaan orang-orang yang berwakaf.
Ketiga, tidak dapat diasingkan kepada pihak lain, baik dengan jalan jual-beli, dihibahkan ataupun diwariskan. Keempat, untuk keperluan amal kebajikan sesuai dengan ajaran Islam.10










Perubahan Harta Benda Wakaf Menurut Pendapat Ulama Fiqh
Wakaf sebagaimana maknanya adalah berhenti, berhenti dari kepemilikan diri sendiri berpindah kepada pemilik jagat raya Allah SWT. Maka harta wakaf
tidak boleh dijual, dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. Prinsip Wakaf adalah keabadian (ta’bidul ashli), dan prinsip kemanfaatan (tasbilul manfaah).43
Persoalan yang timbul akibat dari dimensi sosial adalah tukar guling yang
dalam istilah fikih disebut istibdal atau dalam hukum positif disebut ruilslag. Al-
Istibdal, diartikan
sebagai penjualan barang wakaf untuk dibelikan barang
lain  sebagai  wakaf  penggantinya.
Ada  yang  mengartikan,  bahwa  al-
Istibdal  adalah
mengeluarkan  suatu  barang  dari
status  wakaf,  dan
menggantikannya
dengan   barang
lain.  Al-Ibdal,
diartikaan   sebagai

penggantian barang wakaf dengan barang wakaf lainnya, baik yang sama kegunaannya atau tidak, seperti menukar wakaf yang berupa tanah pertanian dengan barang lain yang berupa tanah untuk bangunan. Ada juga pendapat yang mengartikan sama antara Al-Istibdal dan Al-Ibdal.44
Di lingkungan masyarakat Islam Indonesia khususnya, sering memahami secara kurang professional tentang ajaran wakaf itu sendiri. Pemahaman masyarakat tersebut memang lebih karena di pengaruhi oleh beberapa pandangan imam mazhab, seperti imam Malik dan Syafi’i yang menekankan pentingnya


43Departemen Agama RI, Op.cit.Hlm. 57
44H.M. Cholil Nafis Ph.D, www.Fiqih Wakaf.com, diakses pada tanggal, 15 Oktober 2011, jam: 11.26.



keabadian benda wakaf, walaupun telah rusak sekalipun.45 Pendapat-pendapat tersebut seperti:
1.        Maliki
Golongan malikiyah berpendapat ”tidak boleh” menukar harta wakaf yang terdiri dari benda tidak bergerak, walaupun benda itu akan rusak atau tidak menghasilkan sesuatu. Tapi sebagian ada yang berpendapat lagi. Sedangkan untuk benda bergerak golongan Malikiyah “membolehkan”, sebab dengan adanya penukaran maka benda itu tidak sia-sia.46
Ulama Malikiyah juga membedakan jenis harta benda wakaf kaitannya dengan penjual harta benda tersebut:
a.    Apabila harta wakaf berwujud masjid, maka tidak boleh dijual.
b.    Apabila harta itu berbentuk harta tidak bergerak, maka tidak boleh dijual sekalipun hancur dan tidak boleh diganti dengan jenis yang sama, tetapi
boleh dijual dengan syarat dibelikan lagi sesuai kebutuhan untuk memperluas masjid atau jalan umum.
c.    Dalam bentuk benda lain dan hewan, apabila manfaatnya tidak ada lagi boleh dijual dan hasil penjualannya dibelikan barang atau hewan sejenis.47
2.        Syafi’i
Imam Syafi’i sendiri dalam masalah tukar menukar harta wakaf
hampir sama dengan pendapat imam Malik, yaitu sangat mencegah adanya
45 Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf Di Indonesia, Direktorat pengembangan zakat dan wakaf Diretorat jendral Bimbingan Masyarakat Islam Dan penyelenggaraan Haji, Jakarta:2005. Hlm. 67
46 ibid
47Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van hoeve, 1998, hlm. 1909



tukar menukar harta benda wakaf. Imam Safi’i berpendapat ”tidak boleh” menjual masjid secara mutlak, sekalipun itu roboh. Tapi golongan Syafi’iyah berbeda pendapat tentang benda wakaf yang tidak bergerak yang tidak memberi manfaat sama sekali, sebagian menyatakan ”boleh” ditukar agar wakaf itu ada manfaatnya.48
Dasar yang diguanakan adalah hadist nabi yang di riwayatkan oleh Ibnu Umar, dimana di katakan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, ditukar, dan diwariskan.49
3.         Hanafi
Dalam hal mengenai perubahan benda wakaf mazhab Hanafi tidak menentukan ketentuan hukumnya. Karena kedua sahabatnya pun berselisih pendapat, menurut pendapat Abu Yusuf tidak boleh menjual harta benda wakaf sekalipun itu rusak, sedangkan menurut pendapat Muhammad bin al-Hasan dikembalikan kepeda pemiliknya yang pertama.50
Namun Ulama Hanafiyah membolehkan penukaran benda wakaf tersebut dalam tiga syarat:
a.    Apabila wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika ikrar.
b.    Apabila benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankan.



48                                    Departemen Agama RI,2005, Op,cit Hlm 68
49                                    Farid Wadjdy, Op.cit,Hlm. 151
50   Syaikh al-Allamah Muhammad Bin Abddurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, Bandung. tth, Hlm. 306



c.    Jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan lebih bermanfaat.51
4.         Hanbali
Ulama Hanabilah lebih tegas lagi. Mereka tidak membedakan apakah benda wakaf itu berbetuk masjid atau bukan masjid. Menurut Hanbali wakaf yang sudah hilang mafaatnya boleh dijual dan uangnya dibelikan yang sepertinya.52 Golongan Hanabilah membolehkan menjual masjid apalagi benda wakaf lain selain masjid, dan ditukar dengan benda lain sebagai wakaf, apabila didapati sebab-sebab yang membolehkan”. Umpamanya tikar yang diwakafkan di masjid, apabila telah usang atau tidak dapat dimanfaatkan lagi, boleh dijual dan hasil penjualannya dibelikan lagi untuk kepentingan bersama.53
Ibnu Qodamah dalam kitabnya al-Mughni mengatakan, apabila harta wakaf mengalami kerusakan hingga tidak dapat bermanfaat sesuai tujuannya , hendaknya dijual saja dibelikan barang lain yang akan mendatangkan kemanfaatan sesuai dengan tujuan wakaf, dan barang yang dibeli itu berkedudukan sebagaimana harta seperti semula.54

51Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Cet.3, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.hlm. 519.
52 Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyiqi, Op.cit, hlm. 306.
53                  Ibid
54 Depag RI, Fiqh Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2006, hlm. 82



Ibn Taimiyah misalnya, mengatakan tentang kebolehannya mengganti, menjual, mengubah, dan memindahkan benda wakaf tersebut bisa berfungsi atau mendatangkan maslahat sesuai dengan tujuan wakaf, atau untuk mendapat maslahat yang lebih besar bagi kepentingan umum, khususnya kaum muslimin,55
Dasar pemikiran Ibn Taimiyah sangat praktis dan rasional. Pertama, tindakan menukar atau menjual benda wakaf tersebut sangat diperlukan. Namun Ibn Taimiyah membolehkan menjual, megubah dan mengganti benda wakaf dengan dua syarat yaitu: pertama, pengantian karena kebutuhan mendesak misalnya: seseorang mewakafkan kuda untuk tentara yang sedang berjihad fi sabilillah, setelah perang usai, kuda tersebut tidak diperlukan lagi. Dalam kondisi seperti ini, kuda tersebut boleh dijual, dan hasilnya dibelikan sesuatu benda lain yang lebih bermanfaat untuk diwakafkan56. Kedua, karena kepentingan mashlahat yang lebih besar, seperti masjid dan tanahnya yang dianggap kurang bermanfaat, dijual untuk membangun mesjid baru yang lebih luas atau lebih baik.57 Dalam hal ini mengacu kepada tindakan Umar ibn al-Khaththab ketika ia memindahkan masjid Kufah dari tempat yang lama ke tempat yang baru. Utsman kemudian melakukan tindakan yang sama terhadap masjid Nabawi mengikuti kontruksi pertama dan melakukan perluasan. Demikian yang terjadi pada masjidil haram.58 Sebagaimana yang

55Farid Wadjdy,Op,cit, Hlm 152
56Ibid, hlm153
57Ibid, hlm
58Depag RI, 2006, Op.cit. hlm. 81



diriwayatkan oleh Bukhori Muslim, bahwa Rosulallah saw bersabda kepada ‘Aisyah ra, yang artinya:
“Seandainya kaummu itu masih dekat dengan jahilyah , tentulah Ka’bah itu akan aku runtuhkan dan aku jadikan dalam bentuk redah serta aku jadikan baginya dua pintu: satu untuk masuk dan satu untuk keluar”.59
Lebih jauh Ibn Taimiyyah mengajukan argumentasi, bahwa tindakan tersebut ditempuh untuk menghindari kemungkinan timbulnya kerusakan atau setidaknya penyia-nyiaan benda wakaf itu.
Hal ini sejalan dengan kaidah:
Artinya:“Menghindari kerusakan harus didahulukan dari pada mengambil kemashlahatan".

Selain itu, untuk mempertahankan tujuan hakiki disyariatkannya wakaf, yaitu untuk kepentingan orang banyak dan kesinambungan. Namun persoalannya adalah bagaimana seandainya wakif tidak memberi syarat secara detail terhadap bolehnya benda wakaf tersebut ditukar atau dijual manakala kondisiya sangat mendesak. 61
Di Indonesia yang mayoritasnya mengikuti mazhab Syafi´i, sekarang sudah mulai mengkombinasikan dengan fikih mazhab lain, dan juga pola pemahamannya lebih rasional. Misalnya, pada abad ke 19 masih terdapat banyak laporan bahwa masjid terpaksa dibiarkan rusak dan hancur akibat

59Ibid
60 Moh. Adib Bisri, Terjemah Al Fara Idul Bahiyah (Risalah Qowaid Fiqh), Menara Kudus, tth, Hlm. 24
61H.M. Cholil Nafis Ph. D, www. Fiqh wakaf. Com. Op.cit



masyarakat tidak berani mengubah dan mengganti material masjid tersebut karena khawatir melanggar aturan fiqh.62
Implikasi Fiqih lintas mazhab ini dapat dilihat dari Undang-undang No 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang memiliki paradigma menekankan pentingnya menjaga manfaat wakaf. Masalah istibdal dimasukkan dalam “hukum pengecualian“ (al-hukmu al-istitsna’i)63 seperti disebut dalam BAB IV Pasal 40 dan 41 ayat (1) . Dalam Pasal 40 dinyatakan: Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang64:
a.    Dijadikan jaminan
b.    Disita
c.    Dihibahkan .
d.   Dijual
e.    Diwariskan
f.     Ditukar atau
g.    Dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya .65 Dalam Pasal 41 UU Wakaf 41/2004 menyatakan:
1.        Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan
digunakan    untuk    kepentingan  umum      sesuai    dengan    rencana
umum   tata    ruang    (RUTR)     berdasarkan    ketentuan    peraturan

62        ibid
63        ibid
64        Depag RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, Op.cit. Hlm 8-9
65        Ibid, Hlm 9




perundang-undangan  yang   berlaku
dan
tidak  bertentangan

dengan
syari’ah .







2.
Pelaksanaan
ketentuan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)

hanya  dapat  dilakukan  setelah  memperoleh  izin  tertulis  dari

Menteri atas persetujuan Badan Wakaf
Indonesia .




3.
Harta
benda
wakaf
yang  sudah
diubah
statusnya
karena

ketentuan  pengecualian
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)

wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat
dan
nilai  tukar

sekurang-kurangnya  sama dengan harta benda wakaf semula .


4.        Ketentuan  mengenai  perubahan  status  harta  benda  wakaf
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1), ayat  (2),  dan  ayat  (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah .






BAB III
PERUBAHAN HARTA BENDA WAKAF MENURUT
KOMPILASI HUKUM ISLAM PASAL 225

A.    PERWAKAFAN DI INDONESIA
1.  Paradigma Masyarakat Terhadap Wakaf
Hasanah menyatakan bahwa sebenarnya wakaf di Indonesia memang telah ada sejak masuknya Islam di tanah air. Walaupun demikian, wakaf tak berkembang secara optimal, karena wakaf yang ada pada umumnya adalah wakaf benda tak bergerak, sehingga menimbulkan kesan sulit dan berat sekali, hanya orang kaya atau orang yang punya tanah luas yang bisa melakukan wakaf, sementara orang yang berpenghasilan rendah seolah tidak punya peluang untuk berwakaf. 1
Bahwa paradigma wakaf di Indonesia sejak masa penjajahan sampai era reformasi hanyalah wakaf benda mati, tidak produktif dan menjadi tanggungan masyarakat. Wakaf dalam pemahaman umat Muslim Indonesia hanyalah seputar kuburan, masjid, dan madrasah yang tidak bernilai ekonomi. Hal ini tercermin dari peraturan perundang-undangan tentang wakaf dan peruntukan tanah wakaf di Indonesia. Perturan wakaf di Indonesia
pra  kemerdekaan  hanya  berdasarkan  kebiasaannya  masyarakat  yang bersumber dari ajaran Islam dan diatur berdasarkan surat-surat edaran

1 Uswatun Hasanah (ed). Wakaf-Tunia Inovasi Finansial Islam, Jakarta: Program Studi Timur Tegah Universitas Indonesia: 2006. Hlm. 53



Pemerintah Hindia Belanda. Kemudian pelaksanaan wakaf diatur oleh
Undang-undang No 5 Tahun 1960. 2
Peraturan itu hanya mengatur dari sisi administratif dan kepemilikan tetapi belum menyentuh soal pengelolaannya. Wakaf produktif merupakan sebuah alternatif untuk pemberdayaan umat. Fungsi wakaf secara khusus sebagai pemberdaya ekonomi masyarakat masih sangat minim, jarang atau bahkan sama sekali tidak pernah disosialisasikan ke khalayak umum. Selama ini, distribusi asset wakaf di Indonesia cenderung kurang mengarah pada pemberdayaan ekonomi umat dan hanya berpretensi untuk kepentingan kegiatan-kegiatan ibadah mahdlah. Ini dapat dimaklumi, karena memang pada Wakaf Tunai-Inovasi Finansial Islam, (umumnya ada keterbatasan umat Islam akan pemahaman wakaf, baik mengenai harta yang diwakafkan,
peruntukan (distribusi) wakaf maupun nadzir wakaf.3
Pada umumnya, umat Islam di Indonesia memahami bahwa peruntukan wakaf hanya terbatas untuk kepentingan peribadatan dan hal-hal yang lazim dilaksanakan di Indonesia seperti tercermin dalam pembentukan masjid, musholla, sekolah, makam dan lain-lain. Peruntukan yang lain yang lebih menjamin produktivitas dan kesejahteraan umat nampaknya masih belum diterima. Dengan adanya Undang-undang No 41 tahun 2004 diharapkan dapat mengubah paradigma masyarakat Indonesia tentang peruntukkan wakaf, pengelolaan dan pengembangan harata benda wakaf yang selama bertahun-tahun dipegang dengan mengidentikan bahwa harta
2 Ibid.
3 Ibid





benda wakaf adalah harta benda tidak bergerak yang tidak dapat dikelola dan tidak mempunyai nilai ekonomi tanpa menyadari bahwa pemahaman seperti itu merupakan pemahaman yang sempit. Paradigma baru tentang harta wakaf dapat dilihat Pada Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 Bab II Bagian Keenam Pasal 16 menyebutkan bahwa harta wakaf terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda tidak bergerak bisa berupa tanah, bangunan dan tanaman yang semuanya berhubungan dengan tanah. Sedangkan benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi uang, logam mulia dan surat berharga, kendaraan,hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan harta bergerak lain sesuai dengan
kententuan syari'ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.4 Pada bagian ini telah mengesahkan wakaf produktif dan wakaf tunai.
Undang-undang ini merupakan suatu loncatan dalam pemahaman fiqih Islam, di mana barang yang bisa habis dibelanjakan seperti uang dan surat berharga bisa ditanggulangi dengan sistem modern yaitu lembaga penjamin yang dapat melestarikan harta pokok wakaf jika mengalami inflasi pada saat pengelolaan dan pengembangannya.
Wakaf produktif merupakan sebuah alternatif untuk pemberdayaan umat. Selama ini Islam mengenal bahwa lembaga wakaf merupakan sumber asset yang memberikan pemanfa'atan sepanjang masa. Namun pengumpulan, pengelolaan dan pendayagunaan harta wakaf secara produktif di tanah air ini masih sedikit dan ketinggalan dibanding negara lain. Begitu juga studi
4 UU Wakaf No 41 Tahun 2004



perwakafan di tanah air kita masih terfokus kepada segi hukum fiqh dan belum menyentuh pada manajemen perwakafan. Padahal, semestinya wakaf dapat dikelola secara produktif dan memberikan hasil kepada masyarakat, sehingga dengan demikian harta wakaf benar-benar menjadi sumber dana
dari masyarakat dan ditujukan untuk masyarakat.5
Kementrian Zakat dan Wakaf jika kita telaah secara cermat, maka dapat disimpulkan bahwa potensi wakaf di Indonesia sangatlah besar. Berdasarkan data yang ada, potensi zakat dinegeri ini mencapai 7 trilliun setiap tahunnya. Belum lagi ditambah dengan potensi wakaf, terutama wakaf tunai yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai aktivitas yang produktif, termasuk mengentaskan problematika kemiskinan di Indonesia.
Selain harta benda wakaf yang sudah ada, ada potensi lain yang dapat kita lihat yaitu dengan adanya Undang-undang No 41 tahun 2004 yang
mengatur persoalan wakaf, dan penduduk Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Apalagi dalam Undang-undang No 41 tahun 2004 diatur tentang wakaf benda bergerak, yang mana wakaf tersebut dapat membuka peluang untuk menciptakan investasi yang dapat dialokasikan untuk pelayanan keagamaan, pendidikan serta layanan soial lainnya. Hasanah menyatakan bahwa pada masa mendatang perkembangan wakaf ditanah air memiliki prospek bagus. Akan tetapi masih perlu dilakukan sejumlah pembenahan agar impian tersebut dapat terwujud, diantaranya


5 Uswatun hasanah, Op.cit. hlm. 56




a)         Perlu adanya perubahan konsepsi terhadap wakaf Artinya alihkan pandangan masyarakat terhadap wakaf benda tidak bergerak seperti masjid, tanah, atau benda tak bergerak lainnya kepada wakaf yang produktif.
b)         Perlu adanya pembenahan pada nadzir (pengelola wakaf) Artinya fungsi dari nadzir bukanlah sebagai penunggu wakaf, akan tetapi lebih dari itu yaitu memanfaatkan harta benda wakaf dengan baik dan profesional sesuai dengan bidangnya (nadzir) masing-masing. Misalnya Doktor dibidang hukum Islam, ekonomi Islam maupun pertanian.
c)          Mengusulkan akan keberadaan badan pengelola wakaf Hal ini dilakukan agar pemerintah lebih mudah untuk mengawasi dan mendata badan pengelola wakaf yang ada, sehingga dapat dikontrol dengan baik. Badan ini bertugas mengelola wakaf yang bersifat nasional atau wakaf dari Negara lain. Disamping itu, ia juga menjadi coordinator dari nadzir yang telah ada. Dengan harapan para nadzir dapat menjalankan tugasnya dengan baik.6
2.         Undang-undang perwakafan di Indonesia a. Sejarah perundang-undangan
Wakaf sebagai salah satu lembaga Islam yang erat kaitannya dengan kesejahteraan umat sudah lama melembaga di Indonesia. Sebagai Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia memiliki harta benda wakaf yang banyak, khususnya tanah
6 Tim Redaksi Fokus Media, Undang-Undang Wakaf, Bandung :Fokus Media, 2007. Hlm. 6



wakaf yang sangat luas. Namun karena sejak semula tidak diiringi dengan peraturan perundang-undangan yang memadai, maka harta benda wakaf itu tidak berkembang dengan baik, bahkan sering
menimbulkan masalah.7
Menurut Ilmu fiqh 3 menyatakan bahwa banyaknya harta benda wakaf di Indonesia memunculkan kesadaran pemerintah Hindia Belanda pada masa itu untuk menertibkan administrasi wakaf di Indonesia dengan mengeluarkan Bijblad no. 6196 yang dikeluarkan pada tanggal 31 Januari 1905 dan kemudian disempurnakan dengan Bijblad no. 13480 pada tanggal 27 Mei 1935 dan ditindak lanjuti dengan mendirikan Pengadilan Agama yang mempunyai tugas dan wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah,
yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.8
Setelah merdeka, Pemerintah RI mengeluarkan peraturan-peraturan perwakafan, akan tetapi kurang memadai. Melihat wakaf yang berjalan di Indonesia . barulah wakaf tanah, maka dalam rangka pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia, persoalan perwakafan dimasukkan kedalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, sedangkan mengenai peraturan perwakapan itu sendiri, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
7 Depag RI, Perkembangan Pengelolaan Wakaf Di Indonesia, Jakrta: Derektorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Depag RI, 2006. Hlm. 2
8 Depag RI, Ilmu Fiqh 3, Cet. II, Jakarta: Depag RI, 1986. Hlm. 228




menyatakan bahwa Untuk mengefektifkan peraturan-peraturan yang telah ada, maka tanggal 30 November 1990 dikeluarkan Instruksi Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf. Disamping itu agar terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam masalah perwakafan, dalam Kompilasi Hukum slam di Indonesia Buku III juga dimuat hal-hal yang berkenaan dengan Hukum Perwakafan.
Setelah terbitnya berbagai aturan itu, tertib administrasi perwakafan di ndonesia memang meningkat. Hal ini terlihat dari banyaknya tanah wakaf yang bersertifikat. Akan tetapi dampakya bagi kesejahteraam sosial ekonomi masyarakat belum nampak. Mungkin karena wakaf yang diatur dalam PP No. 28 Tahun 1977 tersebut hanyalah tanah milik, sedangkan wakaf dalam bentuk benda bergerak belum diatur pada saat itu. Maka perwakafan di Indonesia cukup sulit untuk dikembangkan. Apalagi kebanyakan nadzir wakaf juga kurang profesional dalam pengelolaan wakaf. mereka belum bisa mengembangkan wakaf secara produktif.
Pada tanggal 17 Oktober 2004 pemerintah Indonesia telah mengundangkan Undang-undang tentang wakaf yang kemudian dikenal dengan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004, Undang-undang tersebut apabila kita perhatikan memang bih komplek, serta dirancang
untuk meminimalisir terjadinya masalah-masalah dalam wakaf, sehingga pengelolaan dan pengembengan harta benda wakaf lebih bisa
dimaksimalkan.









PENUTUP


A. KESIMPULAN

Dari uraian yang telah penulis paparkan, setidaknya penulis mencatat beberapa point penting yang menjadi inti dari pembahasan di atas:
1.            Dengan adanya Undang-undang No 41 Tahun 2004 yang membahas masalah wakaf banyak pihak yang berharap agar undang-undang wakaf dapat berdampak positif bagi perkembangan wakaf di Indonesia, Harta benda wakaf berdasarkan Pasal 40 Undang-undang No 41 Tahun 2004 suatu harta benda yang telah diwakafkan dilarang: a) dijadikan jaminan, b) disita, c) dihibahkan, d) dijual, e) diwariskan, f) ditukar, atau g) dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya, Namun penyimpangan dari ketentuan pasal 40 huruf
(f)     Undang-undang No 41 Tahun 2004, hanya dapat dilakukan apabila untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syari'ah. Perubahan sebagaimana dimaksud hanya dapat dilakukan dengan persyaratan adanya ganti rugi sekurang-kurangnya sama dengan nilai harta benda wakaf semula, dan setelah mendapat izin tertulis dari Menteri Agama serta persetujuan dari Badan Wakaf Indonesia.



2.            Pada ulama’ madzhab Syafi’i dan Maliki berpendapat bahwa harta benda wakaf yang sudah tidak berfungsi lagi tetap tidak boleh dijual, ditukar, diganti dan dipindahkan, namun dilain pihak, bahwa benda wakaf yang sudah atau kurang berfungsi lagi dimana sudah tidak sesuai lagi dengan peruntukannya maka seperti madzhab, Hanafi, Hanbali, Abu Tsaur dan Ibnu Taimiyah berpendapat tentang bolehnya menjual, mengubah, mengganti atau memindahkan benda wakaf tersebut bisa berfungsi atau mendatangkan maslahat sesuai dengan tujuan wakaf, atau untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar bagi kepentingan umum, khususnya kaum muslimin.










0 komentar: