Makalah ini tidak
berpretensi untuk melakukan “dekonstruksi” terhadap gagasan emansipasi
perempuan yang –salah satunya– kini tengah dilakukan oleh banyak
Organisasi-organisasai kewanitaan, akan tetapi semata-mata ingin mengkaji
secara ilmiah landasan filosofis dan sosiologis, mengapa kalangan ulama fiqh
mempersoalkan keabsahan perempuan sebagai hakim, sebab diduga kuat para ulama
banyak diilhami oleh pengalaman-pengalaman pahit tentang perempuan dan kondisi
sosialnya ketika menentukan pendapatnya tentang hakim perempuan.
- Hakim Perempuan dalam Polemik Ahli Fiqh
Diskursus tentang
pemberdayaan kaum perempuan yang kini menjadi trend dalam perkembangan
pemikiran, sepertinya merupakan proses klimak dari perjalanan pahit kaum perempuan
di masa lalu di belahan dunia manapun. Era pra Islam misalnya, dengan mengamati
salah satu kasus kaum perempuan di kota Athena (Yunani) mengalami perlakuan
yang sangat buruk dan cenderung sangat diskriminatif. Perempuan pada zaman itu
dianggapnya sebagai hewan yang dengan mudah dapat diperjualbelikan, sama sekali
tidak di “beri” hak untuk mengelola kakayaaan yang ia miliki, perempuan dalam
pandangan hukum Yunani waktu itu dipandang hanya sebatas sebagai “pembantu
rumah tangga” dengan tugas tunggal melahirkan anak. Kesucian mereka sedemikan
terperosok lebih rendah dari hewan dan bahkan disejajarkan dengan najis dan
perbuatan syetan, ketika tidak lagi dibutuhkan kaum lelaki. Situasi seperti ini dialami hampir oleh semua
perempuan –termasuk masyarakat Arab pra Islam- khususnya ketika Islam belum
datang membawa misinya.
Islam dengan
seperangkat nilai yang dibawanya mencoba melakukan sebuah proses “revolusi“
terhadap pandangan manusia tentang perempuan di dunia Arab. Secara perlahan
tapi pasti, Syari’at Islam mulai mengangkat kaum perempuan dari kubangan
diskriminatif yang berkepanjangan di Masyarakat Arab. perempuan dalam risalah
Islam sesungguhnya dianggap memiliki hak yang –bisa disebut sama– dengan kaum
pria, memiliki hak dan kewajiban yang seimbang baik dalam status sipritual,
moral, hak-hak ekonomis dan hak-hak legal (dalam pandangan hukum) .
Kedudukan perempuan
dalam Islam dalam perkembangan Islam sebenarnya sudah mengalami pencerahan yang
cukup significant, hanya saja jika kemudian terjadi polemik para ulama dalam
kapasitas perempuan sebagai hakim, tidak lepas dari setting sosial para ulama
yang memandangnya saat itu. Kondisi sosial, budaya, dan struktur masyarakat
tertentu diduga kuat mempunyai andil cukup besar terhadap pemikiran ulama dalam
memandang kedudukan perempuan sebagai Hakim. Disamping itu persoalan peradilan
masih dianggap sesuatu yang riskan jika harus diserahkan pada perempuan. Itulah
sebabnya para ulama fiqh telah melakukan usaha maksimal untuk membuat
kualifikasi formal bagi seorang hakim.
Secara normatif,
ulama ulama fiqh klasik misalnya telah membuat persyaratan yang cukup selektif
untuk seorang hakim antara lain, Islam, merdeka, laki-laki, mukallaf, ‘adil,
mendengar, bisa berbicara fasih, bisa menulis dan yang terpenting tentunya
punya integritas moral dan menguasai syari’at Islam. Konsekuensi logis dari persyaratan ini, maka
calon calon hakim yang tidak memiliki kriteria –jika memaksakan– tidak dianggap
cukup sah status hakimnya. Karena salah satu syarat itu -secara eksplisit
–juga harus laki-laki, maka apabila perempuan menjadi hakim, keabsahannya
tidak bisa dipertanggung jawabkan secara legal. Dampak lain dari statemen
ini berarti semua keputusan dari sesuatu
yang tidak legal tentu akan menghasilkan produk yang bathal secara hukum.
Terlepas dari kutipan
–salah seorang ulama– di atas tentang keabsahan seorang hakim perempuan,
penulis merasa sangat perlu –dalam forum diskusi PSW ini– memaparkan lebih jauh
bagaimana polemik dan komentar serta argumentasi yang digunakan para ulama lain
tentang keabsahan hakim perempuan.
Sekurang kurangnya
ada tiga kelompok ulama yang menyatakan pendapatnya berkaitan dengan hal
tersebut, yaitu:
Pertama, Perempuan
tidak sah menjadi hakim, pendapat ini diwakili oleh tokoh madzhab terkenal
seperti, Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad Ibnu Hanbal.
Kedua, Perempuan sah
menjadi hakim, kecuali pada persoalan hukum hudud (pidana) dan qishah, pendapat ini diwakili oleh tokoh fiqh
rasional, Imam Abu Hanifah.
Ketiga, Perempuan sah
menjadi hakim secara muthlak dalam kasus apapun (perdata, maupun pridana),
pendapat ini diwakili oleh imam Ibnu Jarir Al-Thabary. Sejalan dengan imam Thabary, imam Ibnu Hazm
juga mengemukakan kebolehan perempuan sebagai hakim secara mutlak, tidak terkecuali
pada perkara perdata ataupun pidana, ini berarti bahwa perempuan sah menjadi
hakim.
- Landasan Argumentatif
Dari ketiga kelompok
ulama yang memiliki pendapat berbeda tersebut masing–masing memiliki landasan
argumentatif yang cukup valid baik dari nash-nash syari’at maupun aqli. antara
lain:
Menurut catatan
Muhammad Abu Al-‘Ainaini, kelompok ulama yang meragukan keabsahan perempuan
sebagai hakim, seperti yang diwakili imam Malik dan Syafi’i, berpedoman pada
teks al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34:
ãA%y`Ìh9$#
cqãBº§qs%
n?tã
Ïä!$|¡ÏiY9$#
$yJÎ/
@Òsù
ª!$#
óOßgÒ÷èt/
4n?tã
<Ù÷èt/
……… ÇÌÍÈ
“Lelaki adalah
pemimpin kaum perempuan oleh karena
Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain” (QS.nisa :34)
Menurut interpretasi
ulama kelompok ini, kata kata “kelebihan” yang dimaksud dalam ayat tersebut
adalah berkaitan dengan penggunaan daya talar dan fikir, yang dalam banyak hal
-terutama dalam kontek proses peradilan- perempuan tidak dapat melakukan hal
yang sama dengan pria. Lebih jauh Hamid
Muhammad Abu Thalib mengemukakan bahwa kehadiran perempuan dalam sebuah proses
peradilan –apalagi sebagai hakim- dapat menimbulkan fitnah, terutama
bertentangan dengan kelaziman yang berlaku dalam masyarakat, oleh karenanya
kesaksian merekapun tidak selayaknya diakui secara hukum. Kehadiran perempuan dalam
proses peradilan dinilai tidak lazim dan akan memperlemah suatu proses
peradilan karena keterbatasan mental dan daya talar perempuan baik sebagai
saksi maupun -bisa jadi - sebagai terdakwa.
Argumentasi lain yang
dikemukakan oleh kelompok ini adalah Sunnah Rasul (Hadits), yang meriwayatkan
tentang kematian raja Kisra, Nabi sempat mengemukakan pertanyaan di kalangan
sahabat, “ menurut anda (para sahabat) siapakah
yang layak akan menggantikan raja Kisra,?, para sahabat serta merta
menjawab, “ tentu saja putrinya yang bernama Nora, sebagai pengganti raja,”
Kemudian Nabi segera meng-counter- jawaban sahabat itu dengan mengemukakan
“Tidak akan mengalami kesuksesan, suatu bangsa apabila pemimpin diserahkan
kepada perempuan.” (al-Hadits).
Ketika menafsirkan hadits
tersebut sebagian ulama yang melarang hakim waniita juga menggunakan logika
silogisme (hampir identik dengan qiyas). Logika silogeisme yang digunakan para
ulama dalam memahami hadits tersebut adalah bahwa, hadits tersebut bersifat
celaan, sedangkan celaan membawa larangan, dan selanjutnya larangan itu berarti
juga menunjukkan jeleknya sesuatu yang dilarangnya. Dari pernyataan ini jelas apapun alasannya
keabsahan perempuan sebagai Hakim tetap tidak dapat dipertanggungjawabkan, atau
dengan kata lain bathal sebagai hakim.
Tidak saja
menggunakan nash-nash syari’at sebagai argumentasi larangan perempuan sebagai
hakim, akan tetapi mereka juga mengemukakan faktor historis yang berkembang
dalam peradaban umat Islam. Konon –menurut mereka- memang tidak pernah tercatat
dalam sejarah, Rasulullah maupun para sahabat sesudahnya (khulafa al-Rasyidin),
mengangkat perempuan sebagai hakim, Jika saja secara syari'at dibolehkan, tentu
ada perempuan yang diangkat menjadi hakim untuk menetapkan vonis terhadap
tindak pidana yang dilakukan kaum perempuan.
Terlepas dari akurat
atau tidaknya argumentasi yang digunakan kelompok ulama pertama ini, yang jelas
bahwa kaum perempuan tidak sah jika diangkat sebagai hakim.
Berbeda dengan
pendapat kelompok pertama Imam Abu Hanifah, justru mengemukakan argumentasi
yang lain, dan berksimpulan bahwa sah-sah saja jika perempuan menjadi hakim
sepanjang perkara yang dihadapinya bukan pada perkara pidana. (Pendapat ini
agaknya dianalogikan dengan status kesaksian perempuan). Sepanjang kesaksian
perempuan dianggap sah dalam persoalan persoalan perdata, maka iapun sah jika
menduduki jabatan hakim pada persoalan tersebut.
Sementara itu
kelompok ulama ketiga (yang mebolehkan perempuan sebagai hakim secara muthlak)
yang diwakili Ibnu Jarir Ath-Thabary, dan Ibu Hazm, berargumentasi pada
beberapa poin, yatiu:
Tidak satupun ayat dalam
al-Qur’an maupun pernyataan Rasul (Hadits)
yang secara tegas melarang perempuan sebagai hakim.
Berbeda dengan
kelompok pertama yang tidak menemukan data sejarah tentang hakim perempuan,
menurut Ibnu Jarir justru secara
historis pernah terjadi pengangkatan seorang perempuan sebagai hakim, pada masa
Umar Ibnu Khattab, yang mengangkat perempuan menjadi hakim dari suku al-Syuq,
bernama Al-Syifa
Menggunakan analogi
terhadap keabsahan fatwa seorang perempuan yang dianggap sah, dengan kata lain
jika fatwa perempuan dianggap sah, maka tentu saja keputusannya sebagai
hakimpun dapat dianggap sah.
- Analisis Sosio-Cultural Terhadap Pemikiran Ulama Tentang Hakim Perempuan
Teori hukum manapun,
termasuk hukum Islam dalam pengertian fiqh, mengakui bahwa kondisi sosial
budaya suatu tempat mempunyai andil yang sangat significant terhadap corak
dan pemikiran seorang tokoh hukum
(ulama). Inilah yang sering disinyalir
dalam salah satu kaidah, bahwa “Tidak dapat dipungkiri, hukum itu –tanpa
kecuali hukum Islam selalu berubah sesuai dengan perubahan tempat waktu dan
keadaan”
Dalam sejarah
formulasi fiqh Islam lazimnya para ulama selalu mempertimbangkan implikasi
sosial budaya dan kondisi dalam melahirkan produk-produk pemikiran hukumnya,
atas dasar ini maka tidak heran jika produk-produk fiqh itu sebenarnya sangat
bersifat partikularistik, dengan kata lain, pemikiran-pemikiran ulama pada masa
lalu itu tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum, hal ini dapat
dimengerti karena produk fuqaha itu sebenarnya lahir dari hasil suatu
lingkungan dan kultur tertentu dan dari masa tertentu di masa silam. ia mungkin
saja relevan dengan kontek zamannya dan tempat dimana para ulama itu memberikan
fatwanya, tapi bisa saja kemudian tidak lagi relevan jika diaktualisasikan
dalam kontek zaman dan kondisi sosial yang berbeda.
Kondisi tersebut juga
berlaku pada produk produk ulama fiqh dalam menentukan pendapatnya tentang
kedudukan perempuan sebagai hakim, boleh jadi dan bahkan dapat diguga kuat
faktor lingkungan sosial budaya mempunyai andil besar terhadap perbedaan di
kalangan ulama.
Seperti kita ketahui
tokoh tokoh madzhab seperti Maliki dan Syafi’i, berpendapat bahwa perempuan
tidak sah menjadi seorang hakim, hal ini dapat dimengerti karena
perempuan-perempuan di Hijaz (dimana Malik dan juga Syafi’i pernah tinggal),
masih sangat terikat dengan struktur sosial ke Araban yang cenderung
eksklusive, terbiasa dengan tradisi pingitan. Kebebasan mereka dalam melakukan
aktifitas di luar rumah sangat dibatasi. Kondisi Hijaz dan Madinah yang
cenderung bersahaja, sederhana dan jauh dari pengaruh kebudayaan luar dan
problematikannya, semakin memperkukuh
tradisi lokal bagi para penduduknya, termasuk tentang status perempuan Kondisi ini jelas berpengaruh besar terhadap
cara berfikir masyarakat Arab waktu itu, dan pada giliranya memiliki pandangan
yang agak “miring” terhadap perempuan. Faktor ini agaknya yang membuat para
ulama membatasi peran kaum perempuan dalam kapasitasnya sebagai hakim.
Faktor lain yang
dapat diduga mengapa Imam Malik melarang perempuan sebagai hakim, adalah
sikapnya yang komitmen kepada hadits Rasul dimana secara eksplisit sebagaimana
di ungkapkan di muka, ada indikasi hadits rasul yang melarang keterlibatan
perempuan dalam proses kepemimpinan. Teguh pendiriannya pada Hadits yang
sedemikan rupa ini pula agaknya Imam Malik tidak mau mengambil resiko dengan
membolehkan perempuan sebagai hakim. Pendapat yang sama juga disampaikan Imam
Syafi’i, walaun ia tidak lama tinggal di Madinah, bisa jadi, pemikiran Malik yang sempat menjadi gurunya dalam
bidang hadits mempengaruhi Syafi’i.
Tidak heran jika iapun melarang perempuan untuk menjadi hakim.
Berlainan halnya
dengan Imam Abu Hanifah – yang menurutnya perempuan boleh menjadi hakim- hidup
di kawasan Irak dimana akulturasi budaya asing sudah sedemikan kental, pemikran
masyarakatnya pun sudah sedemikan liberal. Kondisi Irak dimana Hanafi tinggal
sudah sedemikian maju dibanding Hijaz. Akulturasi dengan Persia yang sudah maju
lebih dulu telah terbangun lama. Sehingga sedikit banyak kebudayaan Persia yang
maju itu ikut mempengaruhi cara berfikir masyarakat Irak. Semakin maju
kebudayaan bangsa, semakin baik pula pandangan mereka terhadap perempuan. Oleh
karenanya kedudukan perempuan di Irak lebih beruntung di banding dengan
kedudukan perempuan di Hijaz.
Perbedaan yang
sedemikan kontras ini agaknya juga berpengaruh besar terhadap wacana pemikiran
para ulamanya. Maka sekali lagi dapat
difahami kalau kemudian Abu Hanifah membolehkan perempuan sebagai Hakim, oleh
karena cultur Irak waktu itu memungkinkan ke arah itu. Kondisi sosial budaya
seperti itulah yang banyak mempengaruhi pemikiran hukum Islam dari kalangan
mujtahid, termasuk di dalamnya Ibnu Jarir At-thabary dan Ibnu Hazm , yang lebih
liberal menyatakan kebebasan dan keabsahan perempuan sebagai hakim secara
mutlak.
Faktor lain mengapa
terjadi perbedaan pandangan ulama di Hijaz dan Irak adalah, Jika di Hijaz
cenderung ingin mempertahankan tradisi nash dan hadits hadits rasul maka di
Irak justru lebih mengedepankan pemikiran rasio dan penalaran bebas. Itulah
kemudian muncul istilah fiqh tradisional Hijaz dan Fiqh rasional Irak. Tradisi
penggunaan ra’yu yang sudah sedemikian rupa itupun kemudian berkembang secara pesat
dalam wacana fiqh Islam, yang pada gilirannya juga mempengeruhi corak corak
fiqh yang berkembang. Walhasil kebolehan perempuan sebagai hakim yang dianut
olek kelompok ketiga ini juga diduga kuat akibat kebebasan rasio yang digunakan
sebagai istinbat
- Kesimpulan
Polemik ulama fiqh
tentang status perempuan, disamping karena faktor perbedaan penggunaan metode
istinbath dan cara pandang terhadap nash, ternyata juga banyak dipengaruhi oleh
faktor sosial budaya dan kondisi ulama setempat. Jika dalam kultur masyarakat
tertentu tradisi pingitan terhadap perempuan masih begitu dominan, sebagaimana
di kawasan Hijaz ketika Imam Malik hidup, maka fatwa tentang hakim perempuanpun
merupakan refleksi dari kondisi tersebut. Sebaliknya jika kultur masyarakat
cenderung liberal, akulturasi budaya masuk deras seperti di Irak ketika Hanafi
hidup,, maka hakim perempuanpun dianggap tak ada masalah dan sah sah saja.
Begitu juga kondisi masyarakat ketika Ibnu Jarir At-Thabary tinggal,. Cukup
memberi alasan untuk memberikan kebebasan bagi perempuan sebagai hakim secara
mutlak
DAFTAR
PUSTAKA
- Amir Syarifuddin, Prof. Dr., Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1993.
- Dr. Faroq Abu Zaid, Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis, Jakarta: P3M, 1989
- M. Abdul Mujib, dkk, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994
- Nur A.Fadhil Lubis P.hd., Kepemimpinan Wanita dalam Islam , Jurnal : Miqot, Medan: IAIN Press, 1991,
0 komentar:
Post a Comment