Hubungan dialektis antara normativitas wahyu dan historisitas
kekhalifahan yang sering kali berubah menjadi hubungan konflik yang
berkepanjangan, yang justru menambah beban spikologis bagi para pemeluk agama
islam. Bahkan tidak jarang terjadi historisitas kekhalifahan yang aturannya
berubah-ubah menjadi suatu yang permanen. Pergumulan yang dinamis antara kedua
dimensi tersebut selalu mewarnai perjalanan pemikiran islam.
Dalam tulisan ini akan disinggung secara sepintas sejarah pemikiran
islam dan pendidikan agama pada era Nabi dan Khulafurrasyidin serta bagaimana
pula coraknya pada era kejayaan abbasiyah baghdad. Kemudian diharapkan dapat
menjadi bahan acuan pembanding serta tindakan praktis untuk mencari metode
pendidikan agama islam yang kondusif untuk menatap persoalan-persoalan masa
kini dan masa yanhg akan datang.
a.
Pemikiran
dan Pendidikan Agama Pada Era Nabi dan Khulafaurrasyidin
Islam adalah agama yang sejak awal diturunkannya diterima dan
diamalkan oleh masyarakat urban, yakni masyarakat perkotaan di Makkah dan
Madinah. Islam diterima oleh suatu lapisan masyarakat yang mampu berpikir
rasional dan logis. Masyarakat yang mampu membedakan dan menarik garis pemisah
yang tegas anntara nilai-nilai islam dan nilai-nilai jahiliyah.
Firman Allah SWT “Lakum dinukum wa li ad-din”, menurut hemat penulis,
merupakan penegasanbahwa wilayah axiologi keagamaan tidak bisa dikompromi dan
dicampur-adukkan dengan sistem tata nilai yang non-islami. Wilayah axiologi
keagamaan islam tidak mengenal kompromi dan tradisi keagamaan zaman jahiliyah. Dalam
hal ini agama islam mengajarkan agar mencari petunjuk Tuhan yang benar. Jangan
asal ‘waton’ menjalani islam seperti yang dijalankan oleh nenek moyang, akan
tetapi menjalani islam yang benar-benar didasarkan petunjuk kitab suci dan
sunnah Rasul.
Walaupun peradaban islam si era sekarang telah banyak mendapatkan
pengaruh berbagai macam dan peradaban dan tradisi, namun islam pengetahuan
modern menawarkan seperangkat metodelogi untuk dijadikan alat analisis kritik
kesejarahan bagi umat islam yang merindukan jiwa islami yang murni seperti yang
diamalkan Nabi dan Sahabatnya. Diantara sebab-sebab yang amat kompleks,
tasawuf, sufisme-lah yang merupakan sebab yang paling utama bagi kemubnduran
pemikiran islam. Umat islam diajarkan untuk bersikap tengah-tengah dan menjauhi
watak-watak yang ekstrim. Salah satu sikap tengah-tengah yang menonjol dalam
agama islam adalah dalam hal pandangan dan tujuan hidup manusia. Walaupun islam
mengarahkan tujuan dan pandangan hidup umatnya kearah alam akhirat, namun islam
juga mewajibkan umat islam untuk tidak melupakanperjuangan untuk membina
kehidupan dunianya secara layak dan jaya. Inti ajaran islam adalah terpusat
pada ajaran iman dan amal salih.
Islam adalah agama yang mengajarkan sikap tengah, agarf umatnya
aktif manatap kehidupan dunianya dengan iman dan sikap positif. Islam juga
mengajarkan sikap aktif, memandang perjuangan membina kesejahteraan masyarakat
sebagai amal sallih yang jauh lebih besar pahalanya dari pada hidup menyendiri
untuk berpuasa dan berzikir terus-menerus.
Oleh karena Al-Qur’an secara langsung dikaji, digeluti dan
direnungkannya maka pemikiran dan pengalaman islam tumbuh dan berkembangsecara
sinkron (serempak) antara zikir, pikir dan amal perbuatan . terjadi perkembangan
serentak dan saling menjiwai anatar iaman, islam, ihsan. Yaitu terjadinya
perkembangan serentak antara keyakinan agama (iman), perbuatan lahiriyah
(islam) dan perasaan moral spiritual (ihsan). Iman memancarkan cahaya islam dan
ihsan secar serentak.
b.
Pemikiran
dan Pendidikan Agama pada Era Baghdad
Menurut M. Iqbal ada dua sumber perkembangan pemikiran agama dalam
islam. Pertama, sumber baku (sumber statika yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Yang
kedua, sumber dinamika (sumber pengembangan), Yitu ijtihad. Ijtihad
adalahpengunaan penalaran yang kritis dan mendalam untuk memahami kedalam dan
keleluasaan isi kandungan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Al-Hadits yang merupakan
sumber baku agama, untuk memahami an menafsirkannya sesuai dengn tuntutan
kemajuan dan perubahan zaman.
Perkembangan kemampuan intelektual umat islam dalam melaksanaka
ijtihad pada zaman kebesaran baghdad ini lantaran umat islam mampu menyerap dan
memanfaatkan ilmu filsafat dan mantik. Filsafat memang mendukung kemampuan
pengembangan aturan berpikir ilmiyah (scientific thought) yang melahirkan
pertumbuhan dan perkembangan berbagai
cabang ilmu keislaman, seperti ilmu kalam, fiqh, nahwu, tafsir dan
lain-lain.
Ijtihad adalah penggunaan akal semaksimal mungkin untuk memikirkan,
memahami, dan mencoba menafsirkan ajaran agama (wahyu). Hasil pemikiran ini
bersifat relatif, tidak mutlak seperti wahyu. Hasil pemikiran ini merupakan
dasar pegangan sementara, sebelum hadits yang shahih ditemukan. Dengan
ketajaman pemikiran filsafat dan ilmu mantik, pemikiran kritis ini dapat
dipertajam dengan pergumulan dan perubahan zaman tanpa meninggalkan
normativitas Al-Qur’an. Pandangan para ulama cukup kritis. Tidak ada mujtahid
memutlakkan pendapat atau hasil ijtihadnya.para pseudo-mujtahid, pemegak dekte
dalam kalangan umat, yang berusaha dengan semacam-macam daliluntuk tiap memutlakkan
hasil ijthad mereka mereka.
c.
Tantangan
Masa Kini dan Masa Depan
Bila pendidikan agama ingin memenuhi tuntutan zaman, yakni
meahirkan mujtahid, untuk era saat ini, sudah baang tentu hal itu lebi bisa.
Meninjau sistem dan metode pendidikan dalam madrasah dan pesantren-pesantren
zaman kejayaan Baghdad dan Cordova , tampaknya lembaga-lembaga itu lebih
meekankan pada sistem dialog dan diskusi, bahkan kadang-kadang meningkat jadi
perdebatan. Misalnya, di pesantren Basrah perdebatan dan diskusi antara Washil
dan Atha dengan perdebatan antara imam Al-Asy’ari dengan gurunya Al-Jubbaidi
pesantren Basrah jugamendorong lahirnya mazdhab Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah.
B.
Islam
Dan Ilmu Pengetahuan (Sebuah Telaah Epistemologis)
a.
Islam
antara “Normativitas dan Historisitas”
Menurut hemat penulis, hanyalah berakar pasa kesulitan seseorang
agamawan yang baik, tulus dan committed untuk dapat membedakan secara “clear
and distinct” (jernih) antara dimensi ‘normativitas dan historisitas’
keberagaman manusi, terlebih-lebih lagi keberagaman islam.
Menurut prof .M. Arko, guru besar islamic Thought di Sorbone,
Perancs, sejak abad ke-12 hinga abad ke-19, bahkan hingga sekarang teradi
proses ‘taqdis al-afkar al-diniy’ (pensaklaran pemikiran keagamaan), sehingga
ghairu qabilin li al-niqas. Proses ini disebut juga oleh proses ‘ortodoksi’.
Bak dikalangna suni maupun Syi’iy sehingga terjadiproses percampuran yang
kental pekat antara dimensi ‘historisitas kekhalifahan’ yang aturannya selalu
berubah-ubah, lantaran tantanngan zaman yang selalu berubah-ubah, lantaran
tantangan zaman yang selalu berubah-ubah, dan normativitas ‘ Al-QU’ran dan
keagamaan islam yang solihun likulli zaman wa makan.
Arkoun berulang kali menjelaskan bahwa telah bahwa telah terjadi
proses pelapisan geologi pemkiran islam yang sejak abad ke-12 hingga sekarang,
sehingga menepikan aspek ‘historisitas’ kemanusiaan yang selalu dalam “on going
process” serta “On going formatio”. Kekuatan intelek rasio manusialah yang
dapat menemukan dan menembus dimensi “normativitas” Al-Qur’an yang bersifat
necessary, (fadlu ‘ain), universal, imperatif, categorial, yang salihun likulli
zaman wa makan. Tetapi dimensi
‘normativitas’ dan ‘etika ‘ Al-qur’an yang bersifat fardlu ‘ain,
imperative, categorical, tetaplah sama sadari dulu sampai kapan pun yakni
kewajiban memperlakukan orang lain (baik orang islam maupun non-islam) dalam
berbagai stratifikasi kelas sosial yang ada secara santun, demokratis, egaliter
dan adil. Menurut bahaasa tuqaha , aspek normativitas adalah aspek ibadah
mahdah yang yang lebih terasa ditekankan
aspek legalitis formalitas-eksternal, sehinggs kurang aspresiatif terhadap
dimensi esoteris yang padat nilai spiritual intelektual yang juga melekat pada
religious imperatif yang bersifatv mahdhah tersebut.
b.
Pendekatan
keilmuan terhadap fenomena keagamaan
Beberapa peneliti untuk menggunakan metodologi ilmu-ilmu kealaman
untuk meneliti untuk menggunakan
metodologi ilmu-ilmu kealaman untuk meneliti fenomena sosial, namun studi dan
pengamatan emppiris terhadap iris terhadap fenomena sosial keagamaan adalah
merupakan suatu perkembangan yang sama sekali baru.
Menurut hemat penulis, mnghilangkannya wawasan ‘historis’ dari
pemikiran islam dara umum ikut memberi andil yang cukup besar pada munculnya
berbagai format pertanyaan mendasar seperti terungkap pada permulaan tulisan
ini. Tradidi pemikiran epistemologi yang bersifat empiris meskipun belakanhgan,
banyak mengundang kritik tajam dari Habermas, telah melahirkan tokoh-tokoh
ilmuwan seperti Weber, Freud, Karl Marx, Clifford Geertz, Robert Bellah,PeterL.Apakah
islam dapat vditelaah disini secara ilmiah? Jika yang dimaksudkan islam disini
adalah “perilaku” individu, “tradisi” masyarakat (turast) baik dalam dimensi
politik , falsafah, ekonomi, sosial budaya, yang terinspirasikan oleh ajaran
islam mengapa tidak? Jika yang ditelaah dan diteliti adalah aspek ‘historisitas
kekhalifahan’ manusia muslim dalam wilayahpoleksosbud, mengapa tidak bisa
dibenarkan? mengapa pula harus dikhawatirkan, jika studi ini dilakukam, akan
menggeser dimensi ‘normativitas’ Al-Qur’an?
Apakah dengan telaah ilmiah terhadap fenomena beragamaan manusia
secara empiris, secara otomatis akan mengurangi keinginan manusia untuk
mengamalkan ajaran islam. Kekhawatiran itu agaknya terlalu dibuat-buat.
Kekhawatiran mencerminkan tumpangb tindihnya atau kejumbuhan antara
normativitas dan historisitas.(19-24)
c.
Antara
pendekatan ‘Historian’ (Muarrikh) dan pemdekatan ‘Believer’ (Mukmin)
Tanpa pendekatan yang bersifat kritis-analistis, terhadap fenomena
sosial keagamaan, perkembangan ilmu di IAIN dengan sendirinya akan
tersendat-sendat untuk tidak mengatakan macet. Sikap ini bertolak belakang dari
sikap seorang ‘beliver’ yang lalu mengedepankan “Truth Claim”, dalam arti lebih
menekankan pada monopoli kebenaran dengan sembioyan ‘right or wrong is my
country’. Pendekatajn seseorang
‘believer’, biasanya sudah barang tentu, disini tidak dapat pula digeneralisir,
melupakan historisitas dari pada akal pikiran manusia itu sendiri. Pedoman
hidup adalah merupakan pula condition sine qua non bagi seorang Muslim yang
commited dan hanif dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya. kajian hasil
dakwah empiris adalah tugas pendekatan ilmiah karena dakwah dapat diulan-ulang
tetapi analisis dan kegiatan ilimahnya tidak dapat diulang-ulang. Hasil
pendekatan dakwah secara verbaln kurang berhasil dalam mengatasi kemiskinan
karena dakwah bi al-lisan kurang efektif dibanding dengan bi al-hal atau audi
visual.
C.
Reformulasi
Tradisi Keilmuan Pesantren Dalam Aspek Teologi dan Pemikiran
Studi islam di Barat yang dahuku dipelopori para ahli ketimuran
(orientalis) dan yang sekarang telah mulai banyak pula bermunculan para ahli
ilmu-ilmu keislaman dari bangsa-bangsa Timur hanya dapat dibangun diatas lahan
subur budaya, tradisi dan ilmu-ilmu keislaman.Dari segi tinjauan budaya
mekanisme pelestarian ajaran-ajaran agama secara turun temurun adalah peristiwa
budaya yang sangat mengagumkan banyak pihak.
a.
Dua
Trend Pemikiran Islam Menatap Tradisi
Pertama adalah trend pemikiran islam yang menggarisbawahi perlunya
melestarikan tradisi keilmuan islam yang telah terbangun secara kokoh sejak
berabad-abad yang lalu bserta memanfaatkannya untuk membendung aspek
negatifdari gerak arus pembangunan dan modernisasi dalam segala bidang. Aliran pemikiran islam yang kedua adalah
tradisi pemikiran keagamaan yang bersifat kritis terhadap segaka bentuk
pemikiran manusi, termasuk didalamnya adalah gugusan pemikiran keagamaan. Tradisi
kritis melihat khazanah intelektual islam dan pemikiran islam pada umumnya
tidak lain dan tidak bukan adalah suatu “produk sejarah” biasa, yang sudah
barang tentu qabilun li al-taghyir dan qabilun li al-niqas. Oleh karena
pemikiran keagamaan adalah poroduk sejarah yang berkembang pada zaman
tertentu.tradisi pemikiran islam kritis ini, belakangan dikembangkan oleh
Fazlur Rohman, M. Arkoun, Hasan Hanafi dan lain-lain. Pemikiran islam pertama
khususnya dalam hal yang menyangkut pemahaman bahwa aspek normativitas
Al-Qur’an adalah ghoiri qabilin li al-taghyir. Trend pemikiran islam yang kedua
ini melihat “tradisi” keilmuan islam sebagai suatu gugusan pemikiran yang tidak
taken gfor granted.
Rumusan piramida
tradisi keislaman yang tercermin dalam kalam, fiqh, dan tasawuf tidak lain
adalah hasil rumusan manusia biasa, yang tidal luput dari campur tangan “ideologi”
yang berkembang saat itu. Pendekatan filsafat ilmu , pendekatan sosyology of
knowledge (sosiologi ilmu pengetahua) serta pendekatan kesejarahan seperti ini
sangat mewarnai pemikiran kalam model kedua ini.
b.
Hubungan
Teologi Islam (Kalam) dengan Falsafah
Istilah teologi layaknya lebih populer dari pada kalam, sedang
semua ilmuan agama maklum bahwa “teologi”
berasal dari khazanah intelektual Barat. Masing-masing kelompok
memanfaatkan untuk tidak mengatakan ayat-ayat atau hadis-hadis yang yang sesuai
denga alur pandangan yang menguntungkan masing-masing. Melihat perkembangan
sejarah ilmu Kalam, para pengamat sulit untuk tidak mengambil kesimpulan bahwa
sejak dari semua pemikiran teologi islam atau Kalam sudah tidak dapat
dipisahkan dari dominasi kekuasaa politik. Kajian agama sangat erat hubungannya
dengan kajian filosofis, lantaran agama juga menyangkut fundamentakn values
dengan ethical values, untuk tidak semata-mata bersifat teologis. Menurut hemat
penulis, hanya pendekatan agamis filosofis yang mendasar yang dapat membantu
memilah-milah dan menjernihkan kategori-kategori politik yang sudah terlanjur
mapan dan terpatri secara kokoh baik dalam khazanah literatur islam yang ada
maupun dalam alam pergaulan masyarakat secara nyata.
c.
Mengembangkan
Tradisi Kritis dalam Pesantren
Al-Ghazali dapat berpikir secara kritis, yakni aturan-aturan Yng
diambil dari Al-Ghazali adalah semangat dalam metodologi pemikiran kritiknya
terhadap berbagai persoalan yanng dihadapi oleh zamannya. Aturannya dunia
pesantren dan dunia Perguruan Tinggi Islam klasik tampak minus nuansa pemikiran
sejarah dan minus oenekatan sosial. Pendekatan historis dan pendeatan sosial
pada umumnya adalah suatu keilmuan yang tertuju pada ‘realitas’ empirik. Dengan
bantuan metodologi ilmu-ilmu sosial, yakni pendekatan ilmu-ilmu baru yang
muncul setelah abad ke-18, baik etnologi, antropologi, sosiologi, psikologi
filsafat dan lain-lain.
D.
Pemikiran
Islam dan Realitas Masyarakat
(Mencermati
Konsekuensi “Pemkiran Islam” A’la Mohammmed Arkoun)
Fazlur Rahman seorang pemikir islam abad ke-20 menggarisbawahi
perlunya Systematic recontruction dalam bidang teologhi, filsafat dan ilmu-ilmu
sosial dalam wilayah pemikiran Islam.Literatur pemikiran teologi islamklasik
masih belum beranjak dari rumussn persoalan teologi abad tenngah seperti persoalan
qadariyah dan jabariiyah, sifat dua puluh Tuhan, apakah Al-Qur’an diciptakan
dalam kurun waktu tertentu ataukah kekal abadi seperti hakikat Than sendiri,
apakah perbuatan Tuhan terkait dan terkena hukum kausalitas atau tidak.
Tema-ttema seperti itu masih diulang dalam literatur (kalam)klasik baik di
lingkungan pesantren maupun dalam masyarakatawam dan forum keagamaan yang lain.
Untuk sekedar iliustrasi dan sekaligus
sebaai perbandingan dapat dikemukakan disini bahwa pemikiran dalam dataran fiqh amat sulit untuk
dikembangkan. Literatur Fiqhsiyasah (politik) masih membahas tema bahasan
klasik “khilafah”, sistem perbudakan, bab pe,bagian wilYhkekuasaan berdasarkan
pada dar al-harb dan dar al-islam.
Salah satu implikasi langsung dari pola kebijaksanaan stabilitas
politik tersebut adalah tumbuhnya sikao apatis masyarakat Muslim terhadap
keadaan sekitar dan menerima apa adanya bentuk dan isi teologi islam klasik
tanpa adanya usaha evaluasi kritikterhadap bentuk teologi yang sudah terlanjur
mapan tersebut. ada semacam proses
pencampuran yang sulit dihindarkan antara apa yang disebut “wahyu” dan apa yang
disebut “produk rumusan pemikiran teologi” pada penggal sejarah tertentu yang
menatap pada ajaran wahyu. Al-Qur’ansebagai wahyu ilahi sebenarnya, bergumul
dan berdialog langsung dengan realitas masyarakat dan persoalan-persoalan
empiris yang dihadapi oleh masyarakat pada zamanyang selalu bergulir. Ada
proses dialog yang intens antara Al-Qur’an dengan budaya setempat. Tata cara
hidup yang lama masih banyak yang dapat diteruskan namun proses dialog itu
terus berjalan.metode iqna (argumentatif-memuaskan) pada dasarnya adalah metod
induktif empiris demonstratif, bukan metode deduktif non dialogis seperti yang
sering dilakukan orang sekarang dengan jalan pintas mengutip ayat Al-Qur’an
dalam berbagai kesempatan tanpa dibarengianalis-analisis yang cukup
mendalam argumentatif yang memuaskan
pendengar. Pendekatan induktif lebih bersifat historis dan melewati proses
panjang yng perlu dilalui dan bukannya semata-mata bersifat deduktif ahistoris.
Dalam hubungan ini, diperlukan kiat-kiat tertentu serta kemampuan melakukan
takwil (hermeneutik) yang menggigit pada persoalan kontemporer untuk tidak
mengatakan hanya mengambil alih pola pemikiran Yunani yang spekulatif.
Dalam dunia pemikiran islam kontemporer, pemikiran “positif”
(al-aqlaniyyah al-wadl’iyyah) terhadap realitas sosial masyarakat dan realitas
alam semesta tidak mendapat tempat yang sebanding proporsional dengan alur
pemikiran terhadap klasik spekulatif. Sejarah pemikiran islam pada umunya
memang belum mengalami proses aufklarung atau renaissance, atau dengan kata
lain ungkapan belum pernah melampaui tahapan kritikepistemologis yang cukup mendasar,
karena latar belakang kemenanganpemikiran teologi klasik ortodok diatas
pemikiran kritis filosofis yang terjadi di seputar kontroversi antara
Al-Ghazali dan Ibn Sina. Perkembangan sejarah peradabandan perkembangan ilmu
pengetahuan manusia dianggap tidak punya pengaruh terhadap bangunan struktur
keberagaman manusi a. Akibatnya, pemikiran Muslim sulit membedakan anatara mana
aspek yang dianggap ta’abbudy normatif dan mana aspek yang dianggap sebagai
pemikiran manusia biasa yang sebenarnya tidak lain adalah hasil rekayasa
tuntutan sejarahj kemanusiaan yang bersifat “relatif”.
Menurut pengamat rousfield, pemikiran epistemologis islam baik yang
klasik maupun yang kontemporer tercampur aduk dengan wilayah kalala mhalap
bnganwajar dan alami tanm dan sufirm, sehingga semakin tidak jelas mana bidang
garap masingan yang cuku-dan kecurigamasing sejak awal mulaq berangkat. Dalam
tradisi Barat, kritik epistemologi berjalan wajar dan alami tanpa halangan dan
kecurigaan yang cukup berarti. Kritik ideologi kontemporer pada dasarnya, adlah
kritik yang tajam terhadap bangunan atektonil ilmun pengetahuan manusia pasca
industri yang cenderung tidak mempunyai nuansa pemihakan baik terhadap alam
maupun manusia. tradisi pemikiran islam klasik ortodok tidak mengenal tradisi
epistemologis dalam artian yang sesunhgguhnya. Nan architektonik pemikiran
ideali epistemologis di Barat terhadap bangunan architektonik pem,bemikiran
idealis rasionalis membuka kesempatan
untuk berkembngnya tradisi pemikiran historis empiris dalam artian empirical
appoarch terhadap realitas kemanusiaan. Untuk mengembalikan”keseimbangan”
antara bobot pemikiran teologi islam klasik yang lebih beruatan normalitas
nor,atif dan tuntutan ilmu pengetahuan kontemporer yang bersifat emprisd di
perlukan kritik epistemologis yang cukup mendasar.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah salah satu terobosan untuk
melihat ke yataan sosial yang lebih kongkret berikut upaya problem solvingnya,
dan masih banyak upaya-upaya lain yang dikerjakan oleh organisasi islam di
tanah air. Pola berpikir teologi islam klasik, juga teologi islam kontemporer
yang terikat olehpemikir islam klasik, terlalu kuat untuk ditandingi dengan
gerakan-gerakan LSM untuk menambah sementara berbagai kekurangan yang melekat
dalam kehidupan umat islam.
E.
Pembangunan
Kultur Masyarakat Islam Dalam Era Globalisasi
Globalisasi adalah
peristilahan atau kopnsepyang relatif baru.
Globalisasi dunia pertama kali menyembul begitu uang ke permikaan hanya
pertengahan kedua dekade 80-an. Globalisasi berdampak pada hampir setiap bidang
kehidupan manusia. Globalisasi yang melanda dunia membawa dampak padamkehidupan
fisik, sosial, kejiwaan maupun agama. Perbedaan gaya hidup life style manusia
pra dan post globalisasi sangat tampak.
Dampakmitu dapat bersifat positif, namun pada saat yang sama juga dapat
bersifat negatif. Tidak semua bangsa siap menerima dampak globalisasi , bahkan
bangsa-bangsa yang terlebih dahulu
menciptakan instruktur modernisasi dan
lobalisalat teknologi yang
dirancang dan diciptakan.
a.
Mencermati
Makna Globalisasi Dunia
Globalisasi adalah
suatu kemasan bahasa atau istilah yang padat arti, ia m,enandung dua dimensi
yakni dimensi ‘pemikiran’ (though; al fikr) dan dimensi ‘sejarah’ (histori; al
tarikh). Hubungan antara Bahasa Pemikiran sejarah Mengambil bentuk circular,
yakni hubungan melingkar yang tidak ada putus-putusnya. Bahasa adlah simbol
atau cermin cara ‘berpikir’ yang dilingkari oleh latar belakang proses ‘sejarah’
budaya kemanusiaan yang p;anjang atau kalau diambil dari sudut pandang yang
lain dapat pula dirumuskan bahwa ‘pemikiran’ manusia selalu dilatarbelakangi
oleh prosesperjalanan sejarah yang kemudian percampuran antara keduanya
menyembul dalam kekuatan ‘bahasa’. Awmua perubahan yang diakibatkan oleh proses
globalisasi sebagai hasil kreativitas akal pkira manusoa membawa dampak
langsungterhadap perjalanan historis umat manusia.
Cultural Lag adalah salah satu bentuk manifestasi ketertinggalan
nuansa pemikiran manusia yang tertinggal
oleh laju dengan proes globalisasi cultural Lag biasanya diikiuti oleh
krisis identitas yang selanjutnya mengarah pada proses anomie.
b.
Masyarakat
Muslim dan Proses Globalisasi
Umat islam tidak terkecuali Umat Islam, setidaknya menghadapi 3
pilihan :
Pertama, umat Islam berkeinginan untuk berperan aktif memasuki
wilayah globalisasi dunis dengan berusaha sekuat tenaga untuk menempatkan diri
‘sedikit’ setaraf dengan negara-negara maju. Kedua, sebelah melihat dampak
negatif dari era industri dan globalisasi umat islam mengambil sikap ‘reserve’
terhadap ilmu dan teknologi.ketiga, umat islam ingin mencari teknologi
alternatif yang tidak berdampak terlalu negatif terhadap alam lingkungan
kehidupan manusia. Ada baiknya umtuk bersifay hati-hati dalam globalisasi saat
ini supaya tidak terjadi pengulangan sejarah pembuatan senjata nuklir
penghancur masal. Budaya muslim agak mengalami kesulitan untuk melakukan mental switch dalam era globaisasi lantaran
epistemologi mereka tidak atau kurang kondusif untuk melakukannya. Tradisis
empiris serta epistemologi bentuk begitu dikenal dalam layah keilmuan Muslim.
BAGIAN KEDUA
A.
Kalam
Dan Filsafat Dalam Era Postmodernisme
I.
Kalam
Dan Filsafat Islam Di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam Di Indonesia
a.
Pergeseran
Anatomi Pemikiran Kalam dan Falsafah Islam
Masyarakat Islam Indonesia
diperkenalkan dengan tiga macam istilah “teologi” dengan berbagai makna dan
konteks yang ingin ditegaskannya. Teologi pembangunan, teologi transformatif, teologi
perdamaian. Di negara Indonesia yang mayoritas penduduk menganut agama
islamnamuunakan is ide tersebut tidak mengm para pencetus ide tersebut tidak
menggunakan istilah “Kalam” (Kalam transformatif, Kalam pembangunan, dan
sebagainya) atau “Falsafah Islam” (Falsafah Islam pembangunan, Falssafah Islam
transformatif, dan sebagainya) para pengguna istilah tersebut tidak begitu
peduli lagi dengan asal usul penggunaan istilsh khaazanah intelektual Barat dan
jelas-jelas tidak melampaui batas-batas definisi yang digunakan secara baku
dalam buku literatur ilmu Kalam dan Falsafah Islam.
Bahwasanya telah terjafi akulturasi dan
inkultural (pergeseran pemikiran) keagamaan yang begitu jelas sebagai proses
Pembangunan Janhgka Panjang I.
Pengalaman historis kemanusiaan abad pertengahan atau abad yang lalu
sebenarnya “qabilun li al-taghyir”, dalam arti pemaknaan baru sesuai dengan
tingkat perkembangan intelektualitas manusia agarat dipahami oleh generasi baru yang mencoba memeberi makna yangblebih
kondusif terhadap perkembangan zaman yang melingkarinya. Proses pemaknaan
kembali ini,sebenarnya tidak dikandung maksud untuk menegasikan dan menolak
khazanah intelektual yang lama, tetapi hustru memberi bonot muatan serta tali
kesinambungan yang kebih menyentuh pada bangunan pemikiran dan
pengalamanmanusia kontemporer. Pendukung pemikiran lama sangat khawatir, jika
“pemaknaan” kembali tersebut menyimpanhg dari khazanah intelektual lama yang
selama ini dikenl, diajarkan, dipedo,ami dan yang telaj terdokumentasi baku dalamkitab-kitab lama. Pihak
yangoertama, yakni yang mempertahankan khazanah intelektual lama lupa bahkan
sering kali melupakan kenyataan bahwasanya khazanah intelektual lama yang dianggap lebih unggul, aslisakral,
sebenarnya tidaklain dan tidak bukan adalah juga hasil atau produksejarah yang
hidup pada zamannya. Para pendukungnya ingin memprtahankan khazanah intelektual
lama meskioun sudah out of date, sedang dilaen pihak, orang ingin mengembangkan
orang yang baru, meskipun belum jelas
benar duduk persoalanny.
Menempatkam kalamdan filsafahIslam
pergumulan pemikiran kontemporer adalah tugas ekstra keras bagi
generasiintelektual islamlantaran perbendaharaan kata,kosa kata, kpnsep-konsep,
istilah-istila, telah secara baku digunakan dalam tektbook lama yang telahberjalan
setelah sekiam abad. dalam sejarah oemkiran Barat, ketika pihak gereja tidak
dapat menyamoaikan kritik internal karena otoritas gerajayang begitu kuat, maka
mncullah pemikiran-peikiran individual yang mengkritik secara tajam pola pikir
bangunan pemikiran dan otoritas gereja yang sangat mendominasi segala aspek
kehidupan saat itu.
b.
Anomalis
dalam Kalam dan Filsafat Islam (Klasik)
Semua
ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam textbook adalah termasuk dalam
wilayah “normal science”. Anomalis tidak dapat dipecahkan secara tuntas
dalam wilayah normal science. Jika anomalis menjadi merasa begitu akut
sehingga pada saatnya ditemukan pemecahan yang lebih memuaskan oleh ilmuan
lain, maka terjadi proses pergeseran paradigm (shifting paradigm) dari
keadaan scince ke wilayah revolutionary science.
Pemikiran keagamaan
islamhampir-hampir tidak mengenal apa yang disebut-sebut anomalies, terjadinya
proses “taqdis al-afkar al-diniy” yang secara tidak sengaja dibawa serta oleh
gerakan pemikiran ortodoksi keagamaan. Oleh katenanya terasa sangatsulit
mengembangkan pemikiran Kalam atau Falsafah Islam (Klasik). Al-Ghazali tidak
secara serta merta menolak Ilmu Kalamia menggarisbawahi
keterbatasan-keterbatasan ilmu kalam sehingga berkesimpulan bahwa kalam tidak
dapat mengantarkan manusia mendekati Tuhan, teteapi hanya kehidupan Sufilah
yang dapat mengantarkan seseorang dekat dengan Tuhannya. M. Iqbal melihat
adanya anomalies yang melekat dalam literatur Kalam Klasik Teologi Asy’ariyah
menggunakan pola dan cara berpikir Yunani untuk mempertahankan dan
mendefinisikan pemahaman ortodoksi Islam.
Muktazilah sebaliknya, terlalu jauh bersandar pada akal, yang akibatnya
mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama, pemisahan antara
pemikiran antara pemikirsn keagamaan dari pengalaman konkret adalah merupakam
kesalahan besar. Pemikiran Kalam Asy’ariyah, yang kemudian dikokohkan oleh
Al-Ghazali, tentang kualitas tidak cocok dengan realitas keilmuan yang
berkembang dewasa ini. Pemikiran kualitasKalam Asy’ariya tidak kondusif untuk
menumbuhkan etos kerjs keilmuan baik dalam wilayah ilmu-ilmu kealaman maupun
humaniora.
Dengan meninjau
ulangepistemologadanya anomali-anomli yng melekat pada rancang bangun
epistemologi Ilmu Kalam dapatlah disimpulkam secara tetatif bahwa Ilmu Kalam
perlu dikembanglan dan diperbaharui sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman
yang dilalui oleh sejarah kehidupan manusia. Menurut M. Arkoun, Hassan Hanafi,
kerangka dassar pemiiran filsafat Islam (klasik) hanya terdiri dari al-mantiq,
al-Tabi’iyyat dan al-ilahiyyat. Kerangka dasar ini tidak mencantumkan sama
sekali “insaniyyat” dan ”tarikhiyyat”. Anomalis yang melekat dalam falsafah
islam klasik maupun kalam, yang belum men cabtumkan nuansa pendekatan histori
dan humaniora mulai dicoba untuk diangat baik oleh M.Arkan Kontemporer seperti
sayyed Hossein Nasr tidak dapat dimasukkan dalam kategori prototip pemikiran
islam yang menekankan perlunya pendekatan kesejarahan, lantaran aksentuasi
pemikiran keislamannya lebih terfokus kepada dimensi metafisika dan
spiritualias Islam.
c.
Hubungan
Antara Budaya Lokal Dengan Kalam Dan Falsafah Islam
Falsafah Islam
dan kalam yang dihadapkan langsung dengan berbagai persoalan dan tantangan
historisitas kemanusiaan yang konkret. Era pembangunan jangka panjang II adalah
era industrialisasi dan informasi yang jelas-jelas tidak dihadapi oleh era
kajian Kalam dan Falsafah Islam Klasik. Tantangan historis perlu dijawab secara
“historis” tanpa menapikan aspek normativitas dalam moralitas Al-Qur’an . untuk
era sekarang, Kalam dan Falsafah Islam kontemorer bersentuhan tidak bisa tidak
harus bersentuhan dengan psikologi modern, sosiologi, sejarah agama-agama, falsafah
Kontemporer, sehingga wilayah diskursusnya akan menarik dan bermanfaat pada era
Pembangunan Jangka Panjang II.
d.
Prospek
Masa Depan
Apakah Al-Qur’an memang Cuma bermuatan aspek
normal tanpa menyentuh aspek historisitas kekhalifahan manusia jika ditelaah
secara sungguh-sungguh, vocabulary-vocabulary Al-Qur’an adalah benar-benar
bersifat Zamkan, yakni selalu melibatkan “zama” dan “makan” atau rusng dan
waktu. Maka Al-Qur’an sebenarnya sarat dengan muatan history sebanyak muatan
normativitasnya. Jika era sekarang adalah tidak lagi era Yunani, maka diskursus
Kalam dan Falsafah Isla harus mengikiti alur pemikiran kontemporer yang sedang
berjala sekarang. Teologi tidak lagi terbatas pada ilmu-ilmu ketuhanan secara
sempit eksklusif, tetapi lebih merupakan paduan dari sekian banyak nuansa
pemikiran keagamaan Islam yang sudah barang tentu juga berlaku dalam pemikiran
keagamaan Protestan, katholik, Himdu, Budha dalam merespon tantangan zaman.
Tantangan budaya lokal historis adalah salsah satu omponen yang menentukan
berkembang tidaknya serta perlu tidaknya shifting paradigm dalam struktur
khazanahintelektual terdahulu.
Dengan menghadapkan universalitas ajaran
Al-Qur’an dengan situasi historis yang bersifat lokal dapat memunculkan
gagasan-gagasan dan pemikirn yang orisinal, dan dengan cara itu pula kita dapat
mengapresiasikam perkembangan dan pergumulan pemikiran keagamaan dan pemikiran
keislaman di tanah air. Kalam dan Falsafah Islam akan sangat bermanfaat bagi
Pembangunan Jagka Panjang II, kaena keduanya dapat menarik titik singung dan relevansi dikursus
keagamaan terhadap berbagai tantangan serta memberikan problem solving
terhadap persoalan-pesoalan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia secara
riil. Pemikiran Islam di Indonesia akan menemukan orisinalitasnya dan sekaligus
dapat menyumbangkan pengalaman pergumulan sejarahnya terhadap dunia
internasional pada umumya, dan dunia Islam pada Khususnya.
B.
Dialog
Peradaban Menghadapi Era Postmodernisme: Sebuah Tinjauan Filosofis Religius
Inti pokok alur
pemikiran postmodernisme adalah menentang segala hal yang berbau kemutlakan dan
baku, menolak dan menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan persoalan
yangb sederhana dan skematis, serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari
berbagai aneka ragam sumber. Kuhy berkeyakinan bahwa faktor historis yakni
faktor non matematis positivistik juga sangat penting untuk dipertimbangkan, ketika
manusia ingin melihat bangunan paradigma keilmuan secar utuh. Penulis melihat 3
fenomena dasar yabg menjadi tulangbpunggng arus pemikiran postmodernisme.
Penulis tidak beranggapan bahwa hany ketiga ciri yang akan diuraikan berikut
ini yang akan secara serta merta dapat menerangkan fenomena alur pemikiran
postmodernisme. Adapun ketiga ciri dasar atau yang penulis istilahjkan dengan
struktur fundamental npemikiran postmodernisme adalah :
Pertama,
Decontructionism
Teori-teori
ilmu soaial modern mengandaikan adanya atruktur dan kontruksi baku, yang bisa
dibangun secara kokoh dan dapat berlaku secara universal. Banyaknsastrawan yang
tidak sepakat bahwa sastra yang baik adalah sastra “gedongan” atau sastra
“kraton”. Pemikiran postmodernism dalam
bidang sastra tidak setuju adannya cara pandang yang berstandar “tunggal”.
Menmurut hemat penulis, budaya “pelesetan” adalah juga contoh budaya
postmodernism dalam wilayah kesenian dan seni panggung khususnya.
Kedua, Relativism
Thomas S. Kuhn sebagai prototip pemikir yang
mendobrak keyakinan para ilmuan yang bersifat positivistik. Pemikiran
positivisme lebih menggarisbawahi validitas hukum-hukum alam dan hukum-hukum
sosial yang bersifat universal, yang dapat dibangun oleh rasio. Immanuel Kant
adalah orang filosof yang paling vokal memepertahankan nilai-nilai universal
yang ada dalam wilayah moralitas. Menurut hemat penulis, pemikiran Hegel banyak
diperhatikan dan dicermati oleh para pemikir pada parohan kedua abad ke-20.
Faktor sosial budaya mempengaruhi tata nilai yang berkembang dalam era dan
dalam wilayah tertentu. Secara formal
intelektual, pengertian “crime” memiliki benang merah yang sama antara satu
budaya dan budaya lain. Namun dalam aspek historisitas atau kesejarahan ,
bentuk material dari suatu “crime” (kejahatan), antara yang satu dan yang lain
sangat berbeda.
Ketiga,
Pluralisme
Era pluralisme
sebenarnya sudah diketahui banyak bangsa sejak dahulu kala, namun gambaran era
pluralisme saat itu yakni “tem;po doeloe”, belum jelas seperti era sekarang.
Hasil teknologi modern dalam bidang transportasi dan komunikasi menjadikan era
pluralisme budaya dan agama semakin
dihayati dan dipahami oleh banyak dimanapun mereka berada. Khususnya, dalam
hubungan agama, maka dalam masyarakatintern umat beragama pun terjai fenomena
pluralisme setidaknya dalam nuansa aspirasi.
b.
Implkasi
Postmodernisme Terhadap Pemikiran Keagamaan
Dalam hubungan
ini, munculnya gerakan-gerakan sempalan diberbagai tempat di dunia adalah
mirip-mirip dengan gerakan postmodernisme yang ingin mengubah, memperbaiki,
membongkar, serta membangun kembali terhadap anangan perkembangan dan perubahan
sejarah yang sedang berlangsung. Pemikiran postmodernisme akan segera mencatat segi
kemanduaan atau standar ganda budaya modern barat. Negara-negara maju mosern
menuntut diberlakukannya HAM dinegara-negara berkembang.
c.
Dialog
Agama Dan Kebudayaan, Bukan Clash Of Civillzation
Bagi peradaban, budaya atau bangsa yang
gterkena arus pemikiran postmodernism, maka bentuk dan njenis reaksi yang
dionjolkan kedepan akan menampakkan sejauh mana penharuuhegatif yang kan ditimbulkanya.
Istilah ‘clash of civilazation’, new crusade, fudamentalism, fanaicism dan
terorism, adalah bentuk-bentuk reaksi yang bernada pejortive terhadap arus
perubahan sejarah yang sebenarnya berjalan secara alami. Dialog
antaragama-agama, budaya dan peradaban, untuk menghadapi berbagai kemungkinan
perubahan yang lebih dahsyat dimasa mendatang perlu lebih dikedepankan daripada
hanyabaekedar mengklaim kebenaran “tunggal” agama-agama yang ada dengan
implikasi ketertuutpsn dan eksklusivitas.
HUBUNGAN FILSAFAT DAN STUDI ISLAM
Filsafat Peripatetik Dan Filsafat Kontemporer
Bergulirnya paradigma kosmologi mengakibatkan bergulirnya cara
berpikir manusia. Berkembang suburnya pemikiran-pemikiran empiris historis dalam mengkaji alam dan
manusia sama sekali tidak membawa pengaruh terhadap literatur filsafat islam.
Ketika posisi pemikiran Muslim mengambilsikap “bertahan” dalam genggaman
ortodoksi pemikiran keagamaan yang lebih bwersifat legalistik formalistik ,
;pada saat yang sama pandangan manusia terhadap alam telah berubah secara pelam
tetapipasti, berkat keberhasilan revolusi ilmu pengetahuan. Tanpa mengalami,
memahami dan bergumul, dengan proses perubahan pola pikr yang diakibatkan oleh
temuan-temuan ilmu pengetahuanb dan teknologi modern serta mencermati munculnya
strktur bangunan pemikiran keagaman yang baru dalam merespon perubahan tersebut
maka akan berakibat pada semakin jauhnya antara ‘doktrin’ dan realitas’.
Bagaimana Memahami Filsafat Kontemporer
Dalam memahami
filsafat kontemporer menurut hemat penulis, filsafat kontemporer yang sudah tentu meskipun disebut
kontemporer tetapi memiliki akar
kesejarahan yang kuat sejak berabad-abad yang lalu merupakan hasil kontruksi
kreativitas akal pikiran manusia dalam bergumul dengan situasi “historisitas”
kemanusiaan yang melingkarinya. Dalam dunia filsafat, “rumusan”, “kontruksi”
tau “metodologi”, yang disusun secara sistematis jauh lebih dipentingkan
daripada suatu jenis pengalaman atau pola pikir manusia yang tidak memerlukan
“kontruksi” rumusan apapun. pengulangan ulangan rumusan kesan juga sedapat
mungkin dihindari, maka kreativitas dan orisinalitas sangat dipentingkan
disini. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi serta penjumpaan
dengan berbagai budaya dunia akan mendorong munculnya berbagai rumusan pemikiran
yang lebih bersifat pluralistik.
Hubungan Filsafat Kontemporer Dan Studi Islam
Perkembangan
kontemporer erat kaitannya dengan zaman yang disebabkan oleh terus
berkembangnya ilmu pengetahuan sejak abad ke-16 serta pengayaan muatan
pengalaman manusia. Menurut berbagai pengamat, baik Fazlur Rahman Hassan Hanafi
maupun M. Arkoun, studi islam jika istilah islam diberi makna yang luas, yakni
suatu bentuk respon filosofis terhadap perkembangan ilmu dan budaya maka
rumusan-rumusan yang dimunculkan masih terlalu jauh dari apa yang diharapkan.
PEMIKIRAN AL-GHAZALI RELEVASINYA ENGAN PERKEMBANGAN PEMIKIRN DAN
ETIS KERJA UMAT ISLAM DI INDONESIA
Pokok-pokok pemikiran Al-Ghazalli
1.
Tahfut
al-falasifah
Karya
Al-Ghazali yang satu ini, setelah melewati rentangan waktu selama 850 tahun
diterjemahkan keddalam bahasa indonesia,
mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam membentuk opini dan visi umat islam.
Menurut penelitian beberapa penulis, dari 20 masalah yang dikupas Al-Ghazali
dalam Tasafut al-Falasifah, masalah 17 yang banyak diragukan
keakuratannya. Uraian Al-Ghazali tentang hubungan sebab akibat (causality)
dirasakan oleh banyk pihak tidak memuaskan terutama dalam kaitannya dengan
oembentukkan etos ilmu, yang pada gilirannya juga berkaitan erat dengan etos
kerja.
2.
Mi’yar
al-‘ilm, al Mustasfa Ushuk dan ak Iqtisad fi sl-i’tiqad
Yang menarik
dari karya-karya Al-Ghazali adalah pendapat Al-Ghazali yang menentang adanya
norma-norma etika yang bersifat universal, yang bdapat dipahami oleh akal sehat
manusia. Pola pikir Al-Ghazali lebih menekankan nilai-nilai lokal partikular,
darimpada nilai yang bersifat universal. Struktur berpikir Al-Ghazali selalu
mencari hal-hal pengecualian (exception) bukan mencari hal-hal yang bisa
dipahami secara universal.
3.
Al-Ihya
‘Ulumuddin
Darim ke empat
adalah jilid ke-3 yang ada kaitan langsung dengan topik bahasa kita dalam
sarasenan ini. Al-Ghazali menulis secara rinci konsepsi ketika mistiknya secara
lengkap. Dalam bukual-Munqidh min al-Dalal dijelaskan bahwa jalan mistik
inilah yang memuaskan dan membawa ketenangan pada Al-Ghazali setelah mengarungi
dunia pergumulan intelektualnya. Dalam akhir petualangannya Al-Ghazali
berkesimpulan bahwa pendidikan batinlah dan bukan pendidikan intelek yang
diperlukan oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan.
Menurut hemat
penulis, hubungan antara murid dan shaykh atau antara patron dan klien itu baik
baik saja dan tidak perlu diubah, karena itu merupakan kekayaan budaya kita. Pola
bentuk hubungan yang lebih diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman,
jangan hanya mengarah pada pendidikan akhlak yang lebih cenderung beraroma
“normatif”.
Keutuhan
pemikiran al-Ghazali
Bagi Al-Ghazali
dunia ini memangtidak punya struktur
yang bisa diamati dan dirumuskan oleh akal pikiran manusia. semua penomena alam
dan kehidupan manusia bisa kita lihat dan alami dalam sehari-hari disebit
sebagai “sunnatullah”. Jka Al-Ghazaki
tidak begitu mengakui adanya hal-hal struktur yang bersifat “universal” dalam
idang etika, maka itu berarti ia tidak mendorong manusia untuk dapat melihat
jangankan untuk menemukan struktur yang kokoh dalam kehidupan etika.
BAGIAN
KE TIGA
ETIKA
DAN MORAL ISLAM DALAM ERA INDUSTRIALISASI GLOBALISASI
Etika dan Perubahan Kehidupan
Manusia
POLA pikir yang berlaku dalam tradisi yang hidup (living tradition)
mencangkup beberapa faktor yang saling terkait. Menyebut beberapa di antaranya
adalah sistem pendidikan dan mengajar, pengasuhan anak dalam keluarga, pengaruh
lingkungan, pemikiran keagamaan, setting sosial, pelatihan intelektual dan
sebagainya.
Globalisasi dunia yang biasa disebut sebut belakangan ini adalah
merupakan dampak langsung dari keberhasilan revolusi teknologi-komunikasi,
setelah didahului oleh dua revolusi dalam kebudayaan manusia, yaitu revolusi
pertanian dan revolusi industri. Untuk era sekarang ini, ketiga jenis revolusi
tersebat telah bercampur menjadi satu menyongsong megatrend pada abad ke-21
yaitu akan lebih hebat lagi. Dalam era globalisasi hampir semua sendi sendi
kehidupan manusia telah berubah. Yang tidak berubah hanyalah pengertian bahwa
dunia adalah selalu berubah. Dari penemuan Biologi Molekuler, pemegang Hadiah
Nobel fisika tahun 1979, Prof. Dr. Abdus
Salam melaporkan hasil penemuan penelitiannya bahwa kehidupan dibumi ini
sebetulnya merupakan pindahan dari pelanet lain.
Bioteknologi juga berjhasil membuat perubahan-perubahan yang
spektakuler. Tidak saja bayi tabung, dalam bidang pertanian pun cukup membuat
kita terkesima. Biotknologi mampu membudidayakan tomat diatas sebuah batu bukan
diatas tanah yang konvensional. Penanamannya tidak melalui biji melainkan
melalaui daun. Dan hasilnya pun spektakuler.
Dalam situasi pola hubungan antara manusia, antara manusia dan alam
semesta yang berubah seperti itu, kembali dipertanyakan ulang apakah etika dan
moral agama tidak ikut-ikut berubah mengikuti perubahan yang terus terjadi,
ataukan moral agama harus bertahan seperti sediakala seperti ketika belum
terjadi arus globalisasi? Jika memang harus berubah, apanya yang perlu diubah?
Subtitansinya, atu metode metode pembudayaan dan sosialisasinya?
Menurut hemat penulis, semua perubahan itu mempengaruhi pola pikir umat beragama dalam menatap
realitas kehidupan. Tidak semua orang beragama menyadari apalagi, menyetujui
perlunya perubahan didalam menatap realitas kehidupan era
industrialisasi-globalisasi. Kadar ketidak kepercayaan terhadap arus perubahan
yang dibawa serta oleh globalisasi dapat mengambil bentuk sikap yang bermacam
macam. Dari bentuk sikap adaptif, yakni suatu sikap yang menyetujui bahwa
pandangan manusia terhadap realitas kehidupan memang telah berubah sehingga
perlu diadakan adaptasi seperlunya, ada juga sikap yang bersikap denfensif,
yakni sikap mempertahankan identitas diri dan memperkokoh konsep konsep lama.
Semua sikap terhadap relitas kehidupan trsebut diatas mengandung unsur positif
dan negatif tergantung kepada bagaimana membawakannya.
Moral dan Etika Adalah Persoalan
Filsafat
Ahmad Mahmud Subhi mencatat
bahwa filsafat moral merupakan cabang filsafat yang paling sedikit mendapatkan
perhatian dari para peneliti kebudayaan islam, baik dulu meupun sekarang.
Bahkan ibnu khaldun sendiri ketika membuat klasifikasi ilmu pengetahuan tidak
menunjukan perhatian khusus terhadap filsafat moral. Moral adalah aturan aturan
normatif yang berlaku dalam masyarakat tertentu yang terbatas ruang dan waktu.
Sedangkan etika adalah bidang garap filsafat. Berbeda dari etika, yakni
filsafat moral, maka akhlak lebih dimaksud kan sebagai suatu paket yang
bersifat mengikat, yang harus diterapkan dikehidupan sehari hari seorang
muslim. Akhlak atau moralitas yaitu merupakan seperangkat tata nilai yang sudah
jadi tanpa dibarengi, bahkan berkesan menghindari studi kritis,
Klasifikasi Hubungan Antara Akal dan
Wahyu dalam Etika Ialam
George F. Hourani, seorang pemerhati etika islam membuat lima
klasifikasi pemahaman yang menyangkut hubungan antara aql dan naql dalam etika
islam.
Pertama, wahyu dan akal bebas (independent reason)
Hubungan antara keduannya dapat dibedakan menjadi dua bagian
tekanan yang berbeda.
a)
Wahyu
dilengkapi dengan akal pikiran
Pada masa permulaan islam para ahli hukum bersandar kepada al
qur’an dan al sunnah jika mereka ingin memberikan pedoman hidup yang jela,
kalau keduanya tidak diperoleh pedoman yang jelas mereka bebas menggunakan akal
pikuiran. Pendapat ini dipelopori oleh abuhanifah dan sebagian juga imam malik
b)
Akal
pikiran dilengkapi dengan wahyu
Ahli ahli teologi (kalam) mu’tazilah melihat wilayah keputusan
moral yang umat luas dan berkesimpulan bahwa manusia yang sehat mengatahui
dengan akalnya bahwasannya jahat atau buruk untuk menyakiti orang lain (kecuali
hal itu diperbuat sebagai hukuman).
Kedua, wahyu dilengkapi oleh akal yang tidak otonom (dependent
reason)
Pendapat ini dipengaruhi kalangan mayoritas sunni. Mereka menamakan
diri sebagai ahli sunnah. Shifi’i menentang pendapat yang menyatakan bahwa akal
pikiran manusia dapat mengambill keputusan hukum, lantaran sifat dasar akal
pikiran manusia adalah arbitrer dan selalu gagal untuk membuat hukum benar
benar bersifat islamic.
Ketiga, etika hanya berdasar pada wahyu saja
Pendapat ini adalah pendapat etika yang paling klonserfatif yang
diajarkan oleh ahmad hambali(wafat 855). Dan juga oleh pengikut aliran zahiri,
yakni orang orang yang mempercayai bahwa makna lahiriyah daripada al qur’an-lah
yang dapat dipedomani secara konkret.
Keempat, wahyu yang diperluas dengan peran imam
Ini adalah radisi syari’ah. Ada tujuh atau dua belas imam keturunan
ali yang dianggap tidak bisa berbuat salah dan mengembangkan tata hukum yang
bersifat suci mirip seperti yang ada dalam lingkunganm katolik. Pola pikir ini
berlaku di iran. Para pengikutnya memiliki kekuatan emosional yang tinggi, yang
dapat dilacak pada peristiwa kematian husein bin ali, imam ke tiga. Revolusi iran
beberapa tahun yang lalu juga didorong oleh kekuatan emosi yang tinggi ini.
Kelima, akal adalah lebih dulu daripada wahyu
Pendapat ini di kemukakan oleh para filasuf muslim yang
berpengaruh. Al farabi (870-950) adalah filusuf yang paling vokal menyuarakan
ini. Arti penggunaan akal pikiran secara
umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama, baik ditinjau dari
sudut waktu(temporal)maupun sudut logika.
Etika islam Bersifat
Pluralistik-Dialogik
Semangat dialog intern umat islam jauh lebih tampak dari dominasi
satu aliran, meskipun dalam praktek kesejarahnnya ada saja kekuasaan politik
yang ingin menyeret wilayah dialog tersebut ke tengah arena pertentangan
ideologi-politik.
Pemikiran etika ibnu rusdh adalah corak pemikiran etika menjelang munculnya budaya renaissance di
Eropa. Pemikiran ini lebih dikenal dengan istila averroinsme ,cukup banyak
mengilhami kebudayaan baru di eropa. Pemikiran ini kurang menarik minat orang
muslim ditimur. Campur tangan politik dalam kancah pemikiran keagamaan seperti
yang tersimbolkan dalam jargon ideologi politik “al islam: Din wa Daulah” lebih
mewarnai kegumulan pemikiran keislaman pada setiap lintasan waktu yang di
laluinya.
Menurut hemat penulis, era globalisasi ilmu dan budaya berpengaruh
besar dalam sikap keberagamaan manusia kontemporer. Sikap keberagamaan era
sekarang tidak dapat menyalin dengan begitu saja sikap dan keberagamaan abad
tengah yang notebene pre-scientific.
Bukan subtansi keberagamaan yang peru diperbaharui dan
dimodifikasi, tetapi mentodologi pembudayaan subtansi ajaran etika
keberagamaanla yang perlu ditinjau ulang.
Untuk itu kesadaran akan historisitas atau kesejahteraan
kemanusiaan seorang muslim perlu digaris bawahi agar dimungkinkan perlunya
perubahan dan adaptasi adaptasi seperlunya dengan kecepatan arus gelombang
industrialisasi dan globaloisasi yang melanda dunia tanpa pandng bulu. Dengan
demikian, usaha usaha untuik menjadiQur’anic Etical ideas hidup dalam
masyarakat secara luwes dan lapang dada dapat direalisasikan.
ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI
ETIKA sebagai objek studi sebenarnya sudah lama sekali diajarkan
diberbagai universitas pada jurusan filsafat. Kesadaran akan perlunya etika
dalam kaitannya dengan tanggung jawab profesi. Muncul pada abad ke 20 ini,
ketika orang semakin sadar bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa berjalan sendiri.
Etika disini lebih banyak aspek praxis nya bukan pada aspek teorinya.
Profesi sebagaiu yang tercantum dalam tulisan ini berkaitan erat
dengan ilmu pengetahuan. Mengikuti perkembangan yang ada, tanggung jawab
profesi yang berdampak sosial-ekonomi dan alam lingkungan memang tidak begitu
populer dikalangan ilmua, birokrat, pejabat pembuat kebijaksanaan, bahkan juga
sebagian para tokoh masyarakat termasuk sebagian tokoh masyarakat.
Etika agaknya dalam kaitannya dengan tanggung jawab profesi memang
jarang atau alah tidak pernah dikuliahkan. Disadari atau tidak dalam paket ilmu
yang ada itu, kita digiring untuk Memahami teori. Teori-teori yang bersifat
abstrak, esensial, fundamental, objektoif, yang tanpa disadari mengikis
kesadaran kita akan pentingnya sejarah, sosial, lingkungan.
Semua nya juga atas dasar landasan untuk menjaga kestabilan
politik. Ketika orang miskin menmebangi hutan di india untuk membawa bencana
untuk bang ladesh. Bahwa lingkungan yang tercemar disana juga akan
mengakibatklan tercemarnya lingkungan disini, juga jauh dari jangkauan
pemikiran mereka. Kegagalan demi kegagalan menyadarkan orang bahwa memang ada
kesenjangan yang menganga antara teori yang selalu dikejar kejar diperguruan
tinggi dan praxis dalam kehidupankeseharian masyarakat luas. Bahkan yang lebih
menyedihkan disinyalir oleh sementara pengamat, bahwa ilmu pengetahuan yang
objektif dan positif cenderung untuk mempertahankan status-quo dan bukan untuk
mengubah nasib sosial dan lingkungan secara global.
Ilmu pengetahuan yang memerlukan berbagai “profesi” itu adalah
merupakan anak kandung metode positivisme yang disinyalir untuk mengndahkan
“etika”. Dalam gerak dinamika ilmu pengetahuan sampai ilmu pengetahuan sampai
sekarang ini orang mulai mempertanyakan efektifitas dan efensiensi metode
positivisme baik dalam lingkungan ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu ilmu
kemanusiaan.
Hermeneutik adalah pendekatan yang lebih menekankan
keterlibatanseorang ilmuan terhadap objek yang di teliti. Understanding dan
involvement merupakan ciri khas pendekatan hermeneutik, lebih dipentingkan
daripada sikap mengambil jarak dari objek untuk mendapatkan tingkat
objektifitas yang semurni murninya.
Kesadaran etika bukanlah miracle yang dapat muncul dengan sendirinya,
seperti yang di harapkanoleh para ilmuan sendiri. Penanaman etika, penanaman
nilai nilai yang baik, yang memihak kepada kepentingan silemah, yang bernuansa
pelestarian lingkungan tidak dapat tergalang kooh dengan semdirinya. Itu adalah
tugas budaya manusia yang membentuk dan mengkondisikan.
Ada bebrapa hal yang perlu kita pertimbangkan untuk mengantisipasi
perlunya pendekatan pelekatan etika dan ytanggung jawab profesi dalam struktur
terpadu ilmu pengetahuan:
1.
Aspek
pemihakan sangat menyolok dalam hidup beragama.
2.
Etika
dan tanggung jawab profesi agaknya sulit untuk dikawinkan jika pertautan antara
teori dan praktik.
3.
Jika
point 2 tersebut adalah dalam aspek institusional, maka perlu juga dibarengi
dalam aspek ideal. Bentuk kesatuan atau ketidakterpisahan antara teori dan
praktik hanya bisa dilestarikan lewat etika agama, yang sejak semula memang
mengajarkan para pemeluknya untuk bersikap memihak kepada kaum dhuafa dan alam
semesta sebagai rahmat ciptaan Allah.
4.
Hubungan
antara metafisik dan etika memang slalu bergoyang terus menerus. Jika berhenti
disatu sisi maka, aspek dinamika akan tercerabut dari jantung kehidupan manusia
sebagai pribadi maupun sosial.
MORAL DAN ETIKA DALAM BERKEHIDUPAN
BERBANGSA DAN BERNEGARA
Masalah moral dan etika sebenarnya menyangkut persoalan filsafat,
sedang filsafat sebagai objek studi kurang begitu populer di tanah air kecuali
lingkungan yang terbatas. Kita teringat pidato presiden soeharto beberapa tahun
yang silam di universitas gajah mada yang menghimbau sekaligus menugasi
fakultas filsafat UGM untuk memberikan masukan masukan berharga dalam upaya
mematangkan konsep moral pancasila.
Moral adalah aturan aturan normative yang berlaku dalam suatu
masyarakat tertentu. Aplikasi nilai nilai moral dalam kehidupan sehari hari
masyarakat tertentu menjadi bidang kajian antropologi. sedangkan etika adalah
bidang garap filsafat. Realitas moral dalam kehidupan masyarakat yang telah
terjernihkan lewat studi kritis itulah yang dibidangi oleh etika. Maka moral
tidak lain adalah objek material daripada etika. Gejala umum yang tampak
sebagai dampak negatif pembangunan antara lain adanya indikasi gaya hidup
konsumtif dan ingin cepat kaya, etos kerja yang belom memadai kesetiakawanan
sosial dan disiplin nasional yang belom mantap dan lain lain, mncerminkan sikap
kepedulian dan sikap mental yang berkaitan erat dengan moral dan etika kelompok
masyarakat tertentu, aparat, cendekiawan, yang belum mantab dalam berkehidupan
masyarakat berbangsa dan berniaga.
Mengapa Moral dan Etika?
Titik tekan moral adalah aturan aturan normative yang perlu
ditanamkan dan dilestarikan secara sengaja baik oleh keluarga , lembaga
pendidikan, lembaga lembaga pengajian. Dengan begitu moral adalah suatu aturan
atau tata cara hidup yang bersifat normative yang sudah ikut serta bersama kita
sering dengan umur yang kita jalani. Seperti kita ketahui bersama bahwa target
PJPT I adalah pembangunan manusia seutuhnya. Di sana pengajaran moral sangatdi
tentukan, hampir setiap orang berbicara , baik dalam kapasitasnya sebagai intelektual,
pejabat pemerintah maupun tokoh tokoh masyarakat selalu terselip muatan
pengajaran moral.
Titik Jenuh Pengajaran Moral:
Upaya memperbaiki Metodologi
Pengajaran dan penanaman moral baik dilakukan oleh lembaga lembaga
negara atau oleh lembaga lembaga keagamaan yang berjalan secara monoton memang
dapat mengantarkan kita pada titik jenuh. Belom lagi ajaran moral itu
teraplikasi dalam kehidupan nyata bermasyarakat. Orang sudah merasa jenuh denga
ungkapan ungkapan klise baik baik dari orang tua tokoh masyarakat maupun aparat
pemerintah. Ada kesan bahwa pengajaran moral yang ada sekarang ini sangat
bersifat doktriner, sehingga tidak ,memberi kesempatan dan ruang gerak yang
cukup bagi sipenerima untuk mengunyah ajaran ajaran moral tersebut terlebih
dahulu secara kritis.
Pengajaran moral seperti yang berjalan seperti sekarang ini bisa
dengan mudah berubah menjadi sebuah karikatur. Dalam masyarakat yang sudah
semakin kritis seperti sekaranmg ini dan akan bertambah kritis dimasa yang akan
datang, sangat boleh jadi pengajaran moral dapat berubah menjadi karikatur.
Dalam bahasa agama karikatur bisa disebut dengan istila munafiq, munafiq tidak
lain adalah sebuah karikatur masyarakat yang erat kaitannya dengan pengajara
moral.
Etika : Upaya Mengurangi Gambar
Karikatur
Karikatur adalah sejenis ganbar atau lukisan wajah seseorang yang
sengaja dibuat tidak sempurna oleh pencetus sehimgga menimbulkan rasa geli dan
secara spontan menimbulkan tertawa bagi penontonnya.
Semua norma norma tidak dapat luput darikajian kritis agar dapat
terinternalisasi dalam jiwa sesorang seta mematangkan dan menmdewasakan wawasan
berpikir seseorang. Dalam hubungan ini, menurut Alasdair Macyntire bahwa norma
dan etika adalah juga sebagai cermin tatacara dan pola pikir suatu masyarakat
pendukung nilai nilai dan norma norma tertentu.
Namun patut disayangkan bahwa kajian kritis sering di hindari oleh
siapa saja, termasuk diri kita sendiri, karena adanya pra-anggapan yang sudah
terlanjur tertanam kuat dalam masyarakat bahwa :
Pertama, kajian kritis akan menipiskan kadar moralitas seseorang
Kedua, kajian kritis terhadap moralitas yang berlaku dalam
masyarakat akan mengganggu stabilitas kehidupan bermasyarakat , bernegara dan
berbangsa. Dalam kajiamn moral yang kritis, yakni kajian etika, tidak ada kesan
mengurungi disitu, karena ada proses
take and give. Hal ini diperkuat kenyataan bahwa dalam hal moralitas masyarakat
manapun sudah paham mana yang ma’ruf dan mana yang munkar .
Dengan model pendektan manusiawi setidaknya kesan karikaturis
diatas akan terkurangi, meskipun tidak dapat sepenuhnya hilang lantaran
masyarakat sudah begitu cepat berkembang , lebih proses asimilasi dan
akulturasi budaya, sentuhan arus informasi dan globalisasi dunia yang begitu
cepat.
Aspek Theory dan Praxis dalam
Moralitas
untuk membangun sistem moral bangsa dan disiplin nasional yang
tangguh, rasanya memang tidak ada resep mujarab yang bersifat instan. Penegakan
disiplin nasional yang kuat berdasarkan nilai nilai pancasila membutuhkan waktu
yang cukup lama, lantaran banyak faktor yang terkait. Tapi tidak ada alasan
untuk tidak memulainya.
Ada dua upaya yang tidak dapat terpisahkan dalam membina persatuan
dan kesatuan bangsa indonesia dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara secara sistematik, komprehensif dan integralistik lewat jalur moral
etika yaitu perpaduan antara aspek kajian theory dan aspek aksi (praxis)
Aspek pertama yakni aspek kajian meliputi dua sisi yaitu:
a)
Sisi
metodologi
Disini kita perlu mengaji ulamh norma norma yang ada, memperbaiki
sistem dan metode penyampaian nya yang dulunya hanya bersifat doktriner
sehingga membentuk manusia bertipe yes-man menjadi bersifat dialog-terbuka.
b)
Sisi
subtansi
Kejian etika yang bersifat kritis terhadap pendangan pandangan
moral dan nilai nilai yang diugemi oleh masyarakat.
Aspek kedua adalah praxis atau contoh perilaku dan tindakan
nyata. Aspek keteladanan (uswatun
hasanah) juga sangat berarti dalam memperkokoh ketahanan mental suatu bangsa.
Tijauan kritis etika (aspek teori) memang harus berujunga pada
aspej praxis (aksi nyata) yang tercermin dalam bentuk tanggung jawab hidup baik
dan bersih.
DIMENSI ETIS-TEOLOGIS DAN
ETIS-ANTROPOLOGIS DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Para pemimpin politik dunia berkembang merugikan kemauan baik
negara maju ketika baru baru ini dunia maju mengajukan persyaratan perlunya
pengkaitan dana bantuan luar negeri dengan isu lingkungan hidup dan pelstarian
lingkungan.
Ironisnya pada saat dunia telah menikmati hasil revolusi industri
dan sudah pula merasakan pahit getirnya dampak negatif era industrialisasi
tehadap lngkungan hidup , maka mereka menghimbau perlunya pembangunan
berwawasan lingkungan.
Masalah limgkungan hidup adalah masalah global dunia. Namun anehnya
begitu isu lingkungan hidup ditarik ke permukaan, laju tingkat pencemaran udara
dan air bukannya berkurang melainkan malah bertambah tambah seperti kebakaran
hutan semakin merajalela.
Dimensi etis hampi slalu ditempatkan pada sisi yang kurang
menguntungkan karena dianggap sebagai faktor penghambat saja. Dalam kerangka
itu kita perlu menghargai upaya seminar lingkungan hidup yang menempatkan
dimensi etis dalam salah satu topik bahasanya.
Dimensi Etis-Theologis: Pengalaman
Islam
Jika kita membaca kitab suci Al-Qur’an dengan teliti, kita akan
mendapatkan pandangan dasar yang sangat mencolok bahwa al-qur an tidak semata
mata berbicara tentang hal hal yang bersifat metafisis-eskatologis, tetapi dia
juga berbicara tentang alam semesta yang dihuni oleh manusia serta
makhluk-makhluk lain sekarang ini. Jika kitab injilmementingkan aspek tuhan
sebagai sebagai redeemer (penebus dosa). Al-qur’an menekankan tuhan sebagai
khaliq atau pencipta alam semesta.
Dalam teologi islam, perdebatan tentang hakekat penciptaan alam
semesta inilah yang lebih mewarnai pergumulan pemikiran saat itu bukan pada persoalan
persoalan metafisis-eskatologis karena sudah dianggap mapan sejak permulaan
kenabian Nabi Muhammad.
Suatu hal yang jelas bahwa Al-qur’an secara eksplisit memberi porsi
yang lebih dari cukup pada persoalan alam semesta, para pakar menyebut dengan lingkungan
alam hidup. Salah satu yang meneliti tentang hal tersebut adalah Dr. Maurice
Bucaille. Kekuatan al quran sebagai
mukjizat lebih terletak pada aspek makna kandungan futurologinya. Dapat
dibayangkan bahwa ketika al qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad 14 abad yang
lalu, dia sudah berbicara tentang daur ulang lingkungan hidup yang sehat lewat
angin, gumapalan awan, air, hewan, tumbuh tumbuhan, proses penyerbukan bunga,
buah buahan yang saling terkait dalam satu kesatuan ekosistem.
dalam kehidupan seorang muslim, Al-qur’an memang sebagai sumber
inspirasi utama serta pedoman hidup. Ini tergambar dengan jelas, setidaknya
dalam forum forum mimbar agama islam. Ketika prof. Dr. Emil Salim, menteri
lingkungan hidup. Beliau hampir tidak pernah menyebut pendapat teologi muslim.
Beliau selalu ayat ayat al qur’an yang memang secara eksplisit menjelaskan
betapa perlunya perlunya menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Kita kutip beberapa ayat al-qur’an yang berkaitan dengan advokasi
pelestarian lingkungan hidup:
Pertama, Alam sementara di ciptakan bukannya tanpa tujuan:
“sesungguhnya dalam perciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantiannya malam dan siang terdapat tanda tanda bagi orang orang berakal,
yaitu orang orang yang mengingat allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya) mereka berkata: ya tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan ini dengan
sia sia mahasuci engkau, maka peliharalah kami dari siksa api
neraka.”(3:100-101).
Kedua, menghindari pengrusakan dibumi dan menjaga keseimbangan
alam.
“ dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan allah kepadamu dan
jangan lah kamu berbust kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang orang yang berbuat kerusakan.”(Al-Qashash:77)
Menurut teologi islam, begitu juga menurut kepercayaan agama agama
lain pembangunan yang dilakukan oleh manusia sebenarnya tidak melulu
pembangunan material-ekonomi. Pembangunan perlu benrmuatan nilai (value
loaded), dimana salah satunya adalah nilai kesadaran yang memihak perlunya
menjaga islam lingkungan. Jika kita memasuki dataran pembicaraan ini,
sebenarnya kita telah beralih pada persoalan antara idea dan realita . menurut
hemat penulis disinki kita telah memasuki wilayah eti-antropologis. Secara
idiil, dimensi etispologi qur’anis telah memberikan bekal yang cukup berharga kepada umat manusia
tentang bagaimana aturannya mereka
berperilaku santun terhadap alam lingkungan untuk mencapai pembangunan yang
berwawasan lingkungan. Adapun persoalan yang mencangkut dimensi
etis-antropologis masih banyak kendala yang bersifat manusiawi, yang terhambat
terealisasinya ide ide dasar al qur’an.
Dimensi Etis-Antropologis:Upaya
mengurangi Jurang Pemisah
Ibarat sebuah deklarasi undang undang kemerdekaan suatu bangsa maka
untuk mengamankan kelangsungan hidup dan kedaulatannya diperlukan seperangkat
alat penunjang untuk mencapai cita cita yang termuat dalam deklarasi tersebut.
Para ahli etika sepakat bahwa mempertarukan antara ideadan realita yang biasa
lebih dikenal dengan hubungan antara ought dan is tidaklah semudah yang kita
kira.ilmuan, industriawan, pengusaha, politikus, dan rakyat awam sebenarnya
tidak dapat menghindarkan diri dari keterlibatannya dengan persoalan etika.
Etika sebanarnya bukan hanya sekedar larangan laragangan normative, tapi lebih
mengutamakan puncak akumulasi kemampuan operasional intelegensia seseorang. Di
sinilah peran intelegensia sesorang perlu berperan penting.oleh karena masalah
lingkungan hidup adalah masih sangat baru, maka pengetahuan dan kesadaran akan
lingkungan perlu dibudayakan lewat berbagai media cetak, visual dan media media
yang lain.
EKONOMI DAN EKOLOGI DALAM PERSPEKTIF
SEORANG MUSLIM
“Vicious circle”Antara Ekonomi dan
Ekologi
Dalam hal keterkaitan antara ekonomidan ekologi, setidaknya ada dua
bentuk tekanan kuat yang dirasakan menghimpit masyarakat dunia sedang
berkembang. Pertama, bersifat eksternal, yakni himpitan yang datang dari negara
negara industri maju yang hendak mempertahankan dominasi dan supermasi kekuatan
ekonomi dan tingkat standar hidup yang selama ini telah mereka nukmati. Kedua,
bersifat internal, yakni himpitan yang datang dari dalam negeri sendiri.
Negara-negara industri maju yang telah merasakan pengalaman pahit
yang ditimbulkan dari era industrialisasi juga mengambil langkah barudengan
memasyarakatkan adanya serrifikat bersih lingkungan untuk dapat menerima produk
dari negara negara berkembang. Selain itu, pola atau standar hidup konsumtif di
negara negara maju ternyata dampak negatifnya tidak dapat dilokalisir dalam
wilayah negara negara industri maju saja. Tetapi juga membawa dampak lingkungan
di negara negara berkembang sehingga kini hanya dianggap sebagai pemasokan
bahan baku atau bahan mentah untuk negara negara industri maju.
Belom lagi vicious circle (lingkaran sebab akibat) ini
terselesaikan dengan baik. Saat ini negara negara berkembang pun mulai
disibukan dengan membanjirnya kiriman “limbah industri beracun” uang
dimuntahkan dari industri negara negara maju. Pengiriman limbah beracun adalah
merupaka pelanggaran etika hubungan internasional, sekaligus mencerminkan
kekuatan hukum rimba “survival for the fittest”.
Hukum Ekonomi yang Pnatang Menyerah
Pola ketergantungan dunia berkembang terhadap dunia industri
majuagaknya sulit dikembangkan menjadi pola “interdependence” dalam arti yang
sesungguhnya. Lemahnya bergaining position (posisi tawar menawar) dan lemah nya
SDM di negara negara berkembang belum memungkinkan mereka memasuki era baru,
yang biasa disebut sebut dengan era “interdependence”.mekanisme pasar danpasar
bebas adalah hukum ekonomi yang tidak boleh diubah ubah. Hukum itu begitu
saklarnya sehingga menjadi mitos yang didewa dewakan oleh hampir semua yang
berkepentingan. Jika hukum ekonomi macam ini yang dipertahankan agaknya sulit
dibayangkan kemungkinan munculnya shitting paradigm dalam wilayah keterkaitan
antara ekonomi dan ekologi. Dalam diskursus filsafatilmu era pospositivesme
slalu dipertanyakan adakah hukum alam atau hukum sosial dapat di modifikasikan
dan direkayasa sedemikian rupa hingga hukum alam atau hukum sosial bisa lebih
diarahkan kepada hal yang bersifat lebih positif dan lebih manusiawi.
Mempertimbangkan Kembali Peran dan
Sumbangan Agama
Untuk mengurangi krisis global seperti tergambar diatas, beberapa
budayawan dan pengamat sosial menaruh harapan untuk bangkitnya peran agama
agama. Paling tidak seorang cendekiawan indonesia Dr. Soedjatmoko, mantan
rektor Universitas PBB di teradap tokyo,
Jepang. Pernah menaruh harapn adanya peran yang dapat dimainkan oleh agama
agama. Berbeda dari warna dan corak kritik terhadapmodernitas yang akhir akhir
ini banyak dilontarkan oleh berbagai kelompok studi, yang seringkali hanya
terbatas atau terhenti pada aspek kognitif konseptual. Upaya untuk menyatukan
pemikiran dan perbuatan adalah merupakan problem yang begitu mendasar dalam
diskursus filsafat kontomporer. Namun demikian bersama sama munculnya optimisme
dan harapan yang kuat terhadap peran yang dapat diperankan oleh penganut agama
agama dalam era modernitas, manusia beragama pada umumnya juga tidak dapat
menutp mata adanya musibah yang selalu menimpa pengikut agama agama, terutama
dalam hubungannya dengan persoalan kelembagaan agama yang terkait langsung
dengan kepentingan politik, ekonomi dan sosial budaya.
Mematahkan dominasi hukum ekonomi dan mekanisme pasar yang tidak
sehat dan represif bukanlah tuigas yang mudah. Diperlukan kerja dan usaha
kolektif antar berbagai penganut agama agama untuk mengarahkan gerak laju
mekanisme pasar yang semula destreuktif-repressif ke araeh tujuan yang lebih
konstruktif usaha usaha perbaikan taraf hidup rakyat miskin dan terhadap usaha
usaha pelestarian a;lam lingkungan.
Sumbngan Teologi Islam :
Mengambil Jarak dari Rutinitas Hukum
Ekonomi
Hampir seluruh dunia muslin mengalami era penjajahan selama lebih
dari 100, 200 bahklan 300 tahun . tradisi islam masih tetap terpelihara
utuh, seperti belum terpengaruhi oleh
kolonialisme maupun imperialisme yang begitu memilukan. Keberagamandan keimanan
islam hampir hampir tidak terpengaruh oleh arus modernitas. Ibadah formal atau
ibadah mahdlah , baik yang disebut salat,
zakat maupun puasa dan lasin lain, sebenarnya terkandung makna yang amat
mendasar yakni pengambilanm jarak dari proses berlakunya hukum alam (proses
sakralisi). Sebuah rutinitas jadwal ke hidupan yang permanen, standar, mapan,
status quo, tanpa altrnatif. Bentuk jadwal kehidupan yang bersifat membelenggu
demikianlah yang hendak dilihat kembali secara kritis oleh keberagamaan islam.
Sustainable development, menurut sudut pandangan ajaran agama islam, tidak bisa
tidak perlu dibarengi muatan spiritualitas keberagamaan seperti itu, agaknya
sustainable development akan segera terdominasi dan terkooptasi oleh kekuatan
hukum alam dan hukum ekonomi yang mempunyai logika kepentingan sendiri.
Semboyan sustainable development yang semata mata bersifat historis empiris
tanpa dimuati arus yang berkekuatan transendental profetik sufistik, akan hanya
menjadi simbol atau jargon yang miskin motivasi untuk melangkah diluar kaidah
hukum ekonomi yang biasa berlaku.
Islam Outentik
Sikap dan pandangan hidup keberagamaanyang outentik, bersifat
profetis transformatif, justru harus mengambil bentuk tindakan praktis dalam
wujud pengendalian dan pengontrolan perjalanan dan lika liku hukum alam dan
hukum ekonom itu sendiri. Manusialah yang aturannya mengkooptasi hukum ekonomi
untuk kepentingan “sustainable development” maupun untuk kesejahteraan
masyarakat secara lebih adil. Umat islam dengan tradisi keberagamaannya yang
masih kokoh, telah terlatih untuk selalu mengambil kjarak dari belenggu
rutinitas perjalanan kehidupan material sehari hari. Jika keberagamaan tidak
mampu mengambil jarak dan mencari alternatif dan hanya tunduk menyerah pada
mekanisme hukum alam, huikum sejarah atau hukum ekonomi, maka sulit diharapkan
akan muncul sumbangan yang cukup berbobot yang dapat diberikan dari para
cendekiawan agama.
ASPEK AGAMA ISLAM DALAM
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGA
AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ), sebenarnya , tidak hanya terkait dan terbatas pada
analisis lingkungan yang bersifat geofisika-kimiawi. Adapun aspek AMDAL yang
terkait dengan aspek internal-batiniah, dan tata nilai belum cukup tercover
oleh analisis yang hanya menekankan aspek eksternal-lahiriah. Di sini AMDAL
,sesungguhnya sangat membutuhkan dan , berkepentingan dengan hasil-hasil telah
sosial-budaya dan hasil-hasil penelitian keagamaan tentang sikap hidup manusia
beragama dalam era perubahan sosial yang begitu cepat, yang di akibatkan oleh
era industri modern.
LIMBAH INDUSTRI: Sebuah Pengalaman
Baru
Limbah B3 tersebut di impor dari negara-negara industri maju yang
telah kewalahan menyimpan dan menampung limbah industri di negri
mereka sendiri. Dari kasus ini dapat dipahami betapa jauhnya jarak
antara impact atau dampak yang diakibatkan oleh produk yang dihasilkan dari
science dan teknologi , yang sebagiannya bekunjung pada penghancuran dan
perusakan alam lingkungan , dan analisis sosial-budaya yang berfokus pada
pembahasan “ kesadaran ” manusia secara individual di satu pihak , dan betapa
jauhnya jarak antara “kesadaran“ akan perlunya pelestarian alam lingkungan
antara masyarakat dunia industri maju dan dunia berkembang, di lain pihak.
Selama ini , jika dicermati secara seksama, analisis mengenai dampak lingkungan
(AMDAL ), biasahnya memang baru terbatas dan berfokus pada
perhitungan-perhitungan jelimet-rinci—untuk orang awam khususnya—dari
sudut analisis geofisika kimiawi. Ada anggapan bahwa AMDAL adalah urusan orang
gedean , urusan pengusaha besar, industriawan, konglomrat , pemerintahan, c.q.
KLH, mungkin juga sabagai LMS-LMS. Analisis-analisis dampak lingkunga yang terkait dengan rumus-rumus
geofisika kimiawi, pada kenyataannya memang sangat membantu manusia untuk
membangkitkan rasa keingintauan manusia tentang apa yang sebenarnya sedang
terjadi di planet bumi ini. Ekolebeling mungkin sekali berkali berlaku bagi
produk-produk untuk kepentingan ekspor ke luar negri, supaya dapat diterima
oleh negara-negara industri maju.
Life Style dan standar Hidup sebagai
Ancaman Lingkungan
Persoalan sosial-budaya yang erat berkait dengan era teknologi
industri adalah pergeseran pola konsumsi , gaya hidup (life style) , standar hidup umat manusia di muka bumi.
Budaya konsumerisme dan materialisme
adalah salah satu fenomena budaya “ baru” yang berkait langsung dengan era
industrialisasi dan globalisasi ekonomi. Manusia era “ pembangunan ” sering
mengkaitkan life style dan standar hidup dengan pakaian ,
kendaraan,perumahan , makan , minuman , energi, perabotan rumah tangga ,
reklasi dan status sosial. Selain itu , perlu juga segera di teliti dan ditelah
sejauh mana budaya konsumsi-materialisasi tersebut terkait dengan industri
periklanan baik lewat media elektronik maupun media massa.Faktor kedua ini juga
merupakan mata rintai yang seharusnya tidak terpisahkan antara AMDAL lewat
telah geofisika kimiawi dan AMDAL lewat telah aspek sosio-kultum.Sikap hidup ,
cara berfikir ,dan tingkah laku ,dan perilaku manusia era pra-industri , yakin
mentalitas agraris , yang lebih menekankan kesederhanaan , ketulusan , sak
madya,keiklasan,gotong royong,kelembutan,kehangatan,telahberubah wajah seluruhnya.Ketiadaan dan
kefakuman analisis sosial-budaya yang mendalam dalam bangunan utuh AMDAL ,
menurut hemat penulis, justru akan menambah porak porandanya tatanan kehidupan
sosial dan alam lingkungan.Memang para ilmuan sosial-budaya seringkali terlalu
setia pada tugasnya yang hanya terbatas pada upaya menjelaskan fenomena sosial
kemasyarakatan yang terjadi, tanpa harus berpihak.Bermula dan berangkat dari
keprihatinan yang mendalam terhadap alam lingkungan dalam kaitannya dengan
analisasi sosial-budaya , penulis akan melangkah untuk memasuki analisis dampak
lingkungan dari aspek agama. Dalam level analisis, pelaksanaan dan implementasi
ajaran-ajaran agama yang fundamental dalam masyarakat luas tidak lain dan tidak
bukan adalah juga merupakan sistem kebudayaan.Namun aplikasi dan implementasi
ajaran-ajaran agama yang bersifat normatif , baik dalam dataran psikologi dan
sosiologi, tidak lain dan tidak bukan adalah juga kebungan dengan itu , penulis
sengaja berbicara panjang lebar terlebih dahulu tentang aspek sosial budaya dalam
AMDAL sebelum memasuki aspek keagamaan itu sendiri.
Mencoba Mengarpesisi Aspek Keagamaan
dalam AMDAL
Menurut penulis, upaya mensosialisasikan dan memblow upnilai-nilai
baru dan pemupukan sikap “pengambilan jarak” dari dominasi rutinitas perjalanan
hukum pasar erat terkalit dengan nilai-nilai etika agama sangat
fundalmental.Pemikiran keagamaan yang ada ,sebenarnya ,juga tidak begitu
trasparan dalam hal yang terkait dengan lingkungan hidup.terdapat beberapa
dimensi keberagamaan yang sering kali tidak kita sadari.Ada aspek
fikih(hukum,syari’at), ada aspek Aqiqah(Kalam , Teologi)dan aspek
Tasawuf(Dimensi batiniah dan nilai-nilai fundamental). Idealnya , ketiga
dimensi keagamaan islam tersebut ada dan menyatu pada dalam kepribadian seorang
Muslim.Munurut telah penulis, yang masih perlu diuji lebih lanjut dalam
forum”community of researchers ”, dari tiga aspek atau dimensi keberagamaan
islam hanya aspek TASAWUF yang lebih kondutif dan mempunyai banyak peluang
untuk di kembangkan dan diapresiasi kembali untuk dapat disikronkan dengan
tatanan zaman era indrustrialilasi yang sangat berbelenggu oleh pola hidup
konsumtif-meterialitis.Perilaku manusia beragama yang berwawasan ketasawufan,
yakni nilai-nilai menggerakan manusia untuk dapat mengambil jarak dan meyeleksi
pola hidup konsumsif eraindustri modern inilah yang sebenarnya ingin penulis
garisbahahi untuk dikaji ulang.
BAGIAN KE EMPAT
AL-QUR’AN DAN TANTANGAN MODERNITAS Tinjauan pergeseranparadigma pemahaman Al-Qur’an
Pemahaman
Al-Qur’an
Setidaknya ada dua perhatian dan keprihatinan umat islam dewasa ini
tentang bagaimana memahami Al-Qur’an. Pertama, bagaimana kita dapat memehami
ajaran al-qur’an yang bersifat universal .kedua, bahgaiamana sebenarnya
konsepsi dasar al quran dalam menanggulangi ekses ekses negative dari deru roda
perubahan sosial pada era modernitas seperti pada saat ini.
Secara psikologis istilahtantangan sebenarnya juga kurang tepat.
Istilah itu mengandung konotasi seolah olah Al-Qur’an sudah kehilangan pamor
dalam mengantisipasi dan memberi terapi terhadap persoalan persoalan
modernitas. Mengkaji pemahaman orang terhadap Al-Qur’an adalah termasuk pada
level pertama diatas.kajian empiris dengan nuansa historisitas manusia akan
memperlihatkan bangunan pola pikit manusia dalam memahami al qur’an pada kurun
waktu tertetu. Prinsip dasar dan misi utma al-qur’an sebenarnya tetep sama
seperti sediakala, seperti ketika ia diturunkan kepada nabi Muhammad SAW.
Mengingat bahwa peran muslim dalam ilmu pengatahuan dan teknologi ,
kehidupan ekonomi dan sosial yang lain pada abad modern pra modern bahkan sejak
dari abad tengah selalu merosot dan tidak kompetetif dengan umat lain, maka
agaknya pembicaraan pada level kedua adalah penting, tanpa meniadakan perlunya
pembahasan pada level yang pertama diatas. Pola kajian tingkat dua bersifat
empiris.
Pendekatan kontekstual bukannya akan mengurangi kewibawaan al
qur’an tetapi malah akan memperkokoh misi dakwah islamiyah, mempermudah
mencermati kandungan makna spiritual dan etika al qur’an dengan pendekatan
empiris kontekstual, kita akan dapat memperoleh masukan pada sisi mana pola
pikir manusia manusia muslim yang kurang seirama dengan nuansa al qur’an karena
tuntutan sejarah yang selalu menggitarinya.
Al-Qur’an dan Patologi sosial Era
Modern
Perubahan tata nilai yang lama ke tata nilai yang baru bukannya
perkara yang mudah. Dengan berbagai cara Nabi Muhammad menawarkan dan
menanamkan tata nilai baru tersebut dengan penuh simpati, penuh santun tanpa
kekerasan. Berlandas grand theory al qur an seperti itu secara pelan pelan tetapi
pasti, terjadilah pergeseran tatnilai yang mendasyat saat itu. Tata nilai dan
pedoman al quran begitu perspektif, imoerative dan fungsional dalam kehidupan
pribadi dan masyarakat.
Patologi sosial dan tata nilai yang tidak fitri akan saja selalu
terjadi kapan dan di mana saja. Masalah tata nilai adalah masalah kehidupan
umat manusia yang bersifat perennial dalam arti tidak pernah kunjung selesai.
Dalam dunia modern seperti yang kita alami sekarang ini, apa yang
disebut patologi sosial dan individual sudah sedemikian merambahnya. Dengan
munculnya media cetak, elektronik dan peralatan komunikasi yang canggih maka
nyaris batas batas tradisional antarnegara dan kebudayaan tidak berlaku lagi.
Dengan adanya perubahan sosial yang begitu cepat maka cara berbikir orang
sekarang juga ikut berubah dengan cepat. Perlu dipikirkan bagaimana sarana dan
media dakwah yang cukup representatif untuk tawar menawar budaya untuk era
sekarang ini. Jika generasi muda muslim dan lembaga dakwah kampus tidak ikut
memeikirkan ini dan hanyut puas dengan media tradisional maka jangan jangan gap
anatara norma dan realitas semakin jauh.
Kajian Empiris Terhadap Alam dan
Realitas Sosial
Dalam menanggapi kemunduran umat islam dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi sekarang ini, dikatakan bahwa umat islam belum
beramal sesuai dengan sunnatullah. Sunnatullah yang tidak diwahyukan tidak
melibatkan manusia didalam proses berlakunya. Artinya kemerdekaan manusia tidak
bisa mempengaruhi berlakunya hukun itu.
Mengingat bahwa cakupan Al-qur’an adalah multidimensional dalam
arti bahwa al-qur’an adalah hudan li an-nas maka kita tidak dapat
hanyamembatasi al-qur’an pada dimensi teologinya saja. Hanya dengan
penggabungan anatar pendekatan normatif dan pendekatan empiris maka gerbang
pintu masuk ke arah pemahaman kontekstual dapat mulai terbuka. Menurut hemat
penulis, ijtihat intelektual untuk menggabungkan pendekatan yang normatif dan
empiris adalah merupakan salah satu tantangan al-qur’an terhadap dunia
modernitas.
ALUMNI PONDOK MODERN GONTOR SEBAGAI PEREKAT
UMAT: PERANAN DAN TANTANGAN
“BERDIRI DI ATAS DAN UNTUK SEMUA GOLONGAN” merupakan salah satu
nilai ajaran pokok pesantren Gontor yang agaknya, memang tidak boleh terlupakan
begitu saja oleh para alumninya. Di lingkungan pesantren Gontor sendiri, nilai
tersebut telah di praktik kan dalam kehidupan sehari hari di lingkungan
pesantren dan telah pula didukung oleh sistem pengajaran ilmu fiqih kepada
santri santri dengN MENGGUNAKAN KITAB BIDAYAH AL-Mujtahid karya ibn rushd
sebagai acuan pokoknya.
Ketika para santri keluar meninggalkan kompleks pesantren dan
bergabung kembali dengan masyarakat luas ternyata mereka harus dihadapkan pada
beberapa pilihan yang sulit untuk dihindarkan sama sekali. Diantara pilihan
yang dimaksud antara lain : (a) para alumni tetap berpegang teguh pada prinsip
prinsip nilai ajaran pendidikan Gontor dengan cara mengambil sikap netral,
(b)melupakan begitu saja nilai nilai yang pernah mereka kenal di Gontor. Dengan
begitu setelah meninggalkan kampus Gontor dan berkecimbung dalam masyarakat
menjadi aktivis organisasi islam yang masing masing telah tersekat sekat oleh
AD dan ART nya sendiri sendiri. Para alumni tetap saja membawa misi yang lebih
mencerminkan ‘berdiri diatas dan untuk semua golongan’, dalam fungsinya sebagai
perekat umat.
Kenyataan Sisio-Historis Masyarakat
Islam Indonesia: tantangan para alumni
Dalam kesadaran intern umat islamn label islam agaknya masih
dilihat secara umum, sehingga belum memberi makna sosiologi dalam kehidupan
bermasyarkat secar luas. Meskipun kenyataan demikian tidak selalu diharapkan oleh semua pihak namun demikianlah kenyataan
sosiologi ditanah air . dalam era pre-kemerdekaan organisasi islam justru ikut
memberikan andil yang begitu besar dalam menyulut obor nasionalisme yang
berakhir dengan tercapainya kemerdekaan indonesia dari belenggu penjajah.
Organisasi islam yang muncul sebelum kemerdekaan dan masih hidup berkembang
hingga saat ini adalah serikat islam (1911), muhammadiyah (1912), sumatra
tawalib (1918), persis(persatuan islam)(1920), nahdatul ulama(1926), Al-irsyad
dan lain lain.
Setelah era kemerdekaan jumlah organisasi islam tersebut bukannya
semakin menyusut tetapi justru semakin bertambah dan berkembang baik.
Memahami Esensi Organisasi : peluang
para alumni
Secara empiris kita semua maklum adanya plus minus sikap yang
terbentuk oleh kegiatan berorganisasi. Salah satu tujuan terbentuknya suatu
organisasi adalah untuk menghimpun kekuatan
yang dulunya berserakan tak terarah untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam proses terhimpunnya suatu cita cita dan aspirasi maka proses meniadakan
terhadap golongan lain yang tidak secita ccita dan seaspirasi adalah tidah bisa
terhindarkan eksklusivitas”merupakan ciri yang tidak terhindarkan dari sikap
para aktivis organisasi tertentu. Kristalisasi ide, cita cita serta program
yang berujung pada pembentukan sikap eksklusif adalah suatu proses melekat
dalam setiap organisasi lebih lebih organisasi keagamaan yang sering kali
ditopang oleh berbagai argumen dalil dalil keagamaan, baik yang menyangkut
teologi, fiqih, tasawuf, hadits dan lain segalanya.para aktifis yang baik
memang harus bersifat fanatik terhadap organisasi yang dipimpinnya, dia harus
terikat secara utuh dalam organissi yang dipimpinnya.
Makna “Berdiri di Atas dan untuk
Semua Golongan”
Tulisan di atas encoba menggambarkan sisi positif dan sisi negtif
dari sikap orang yang memasuki sebuah organisasi.yang jelas dan tampak ada
ketegangan antara keduanya. Tention yang sama sekali tidak dapat
dihindari,namun bagaimana mengubah ketegangan tersebut menjadi ketegangan yang
bersifat kreatif adalah merupakan seni tersendiri.
Semboyan berdiri diatas dan untuk semua golongan yang bersifat
normatif, hanya dapat dinikmati setelah teruji secara empiris sosiologis jika
para alumni berbuat sesuatu dalam tubuh organisasi tertentu demi kepentingan
kemanusiaan universal.
Bebeara Usulan ke Arah Sosialisasi
Ide Kepekatan Umat
Dengan mempertimbangan dasar pemikiran tersebut diatas, maka untuk
merealisasikan tugas keperekatan umat, maka perlu dipertimbangkan sebagai upaya
kerja sama antar lintas organisasi tertentu, sebagai berikut:
Pertama, membudayakan dan membudidayakan kerja sama antarberbagai
organisasi sosial kemasyarakatan islam
Kedua, pendekatan keilmuan
Ketiga, terobosan terobosan dalam bidang
ekonomi-bisnis.
Keempat,
terobosan
terobosan lain yang lebih spesifik, sesuai dengan tuntutan dan tantangan
berbagai daerah yang beraneka ragam ditanah air.
Kelima,
mengusulkan
kepada IKPM pusat untuk menerbitkan himpunan catatan dan tulisan yang berharga
dari para cerdik cendekiawan dan para praktisi dilapangan yang mempunyai ciri
ciri dan fungsi keperekatan umat untuk dapat dikaji bersama secara luas
dimasyarakat.
MUHAMMADIYAH
DAN NU:
REORIENTASI
PEMIKIRAN KEISLAMAN
MENURUT pengamatan Prof.Mukti Ali, salah
satu ciri masyarakat islam modern di indonesia adalah berdirinya organisasi
organisasi islam seperti serekat dagang islam (1909), muhammadiyah(1912), NU
(1926), tawalib(1918). Organisasi islam mempunyai dua proyek besar yaitu
pertama, pembentukan dan penyempurnaan tauhid,kedua mencapai kemerdekaan.
Pergeseran
Nuansa Pemikiran Keagamaan
Dalam era globalisasi ilmu dan budaya
hampir semua sendi-sendi kehidupan manusia mengalami perubahan yang sangat
dahsyat. Institusi sosial-kemsyarakatan instuti kenegaraan, instuti keluarga,
bahkan tak terkecuali instuti keagamaan tidak luput dari arus globalisasi ilmu
dan budaya. Pada saat yang sama pengetahuan manusia tentang realitas dunia
jagat raya baik yang menyangkut dunia fisik, kosmologi juga berkembang pesat
sesuai dengan tingkah laku pertumbuhan dan perkembangan laboratorium ilmu
pengetahuan baik dalam bidang astronomi, biologi, bioteknologi, dll. Perubahan
tingkat pertumbuhan perekonomian suatu bangsa juga ikut merubah cara pandang
terhadap realitas dunia. Dalam pada itu, mustahil rasanya jika corak dan nuansa
pemikiran keagamaan dan keislaman tidak ikut ikut berubah seirama dengan arus
perubahan yang terjadi.
Dimensi
Keberagamaan Manusia: Amalan dan Pemikiran
Mengingat perubahan pola pikir manusia
era industrialisasi dan semakin transparan sekat sekat agama budaya, menurut
hemat penulis, sudah tiba saat nya umat beragama mengembangkan dan memekarkan
dua bentuk pendekatan dan pemahaman terhadap keberagaan manusia, yaitu
pendekatan historian. Untuk era globalisasi budaya seperti sekarang ini
pendekatan keagaam yang hanya terbatas pada dimensi keimanan tanpa melibatkan
dalog dialog pemikiran yang bersifat historis, terbuka, egaliter, dan dmokratis
agaknya memang tidak bisa tidak akan kecuali akan membentuk pola pikir yang
bersifat eksklusif yang hanya berlaku dalam wilayah lingkungan intern yang amat
terbatas.
Hubungan
Antara “Bahasa-Pemikiran-Sejarah”
Hubungan antara ketiganya yaitu
bahasa-pemikiran-sejarah adalah bentuk circural dan bukannya linear, dalam arti
bahwa bahasa yang digunakan manusia mencerminkan pola pikir sekaligus
historisitas yang melingkarinya. Demikian pula halnya pola pikir yang biasa
digunakan oleh suatu kelompok masyarakat, sekaligus mencerminkan tingkat
pengalaman historisitas dan sofistikasi pemikiran yang dimiliknya.
Reorientasi
Pemikiran Lewat Pendekatan Kilmuan dan Keagamaan
Tanpa harus ditutup tutup i, pengaruh
ilmu dan teknologi abad modern adalah sangat menghunjam dalam wilayah pemikiran
islam. Terdesak oleh tuntutan ilmu dan teknologi modern, muhammadiyah dalam
sejarah perjuangannya bahkan pernak mengambil langkah yang sangat berani untuk
ukuran saat itu dengan cara mengambil alih metode pendidikan sekolah ala barat.
Tapi, dilihat dari kacamata sekarang, apa yang diambil alih oleh muhammadiyah
hanyalah aspek ilmu dan teknologinya, yakni terbatas pada appliedscience saja.
Padahal dibalik ilmu danteknologi rersebut terdapat bangunan falsafah yang
melatarbelakangi bangunan teknologi tersebut.
Reorientasi pemikiran keislaman, menurut
hemat penulis baru akan tercapai dan hanya bisa terbentuk jika dilakukan lewat
kritik epistemologi pemikiran keislaman klasik-skolastik melalui studi empiris
terhadap fenomena keberagamaan manusia secara universal dan studi filosofis
terhadap arus pemikiran filsafah kontemporer. Hanya lewat keduanya rancang
bangun epistemologi keislaman kontemporer yang termuati baik dengan ajaran
keagamaan yang qur’anis maupun oleh budaya ilmu dan teknologi kontemporer.
PANGGILAN
NABI IBRAHIM AJARAN TAUHID YANG BERWAWASAN SOSIAL
Dedikasi dan pengorbanan seorang nabi
yang dijadikan teladan oleh umat yahudi, nasrani dan lebih lebih umat islam,
yaitu nabi Ibrahim As dan puteranya Ismail AS. Nabi Ibrahim berjuang untuk
menjadikan agama tauhid agam,a yang hanif agama yang lurus-autentik, sebagai
pedoman hidupbagi kehidupan manusia dimuka bumi. Suatu perjuangan yang maha
berat di tengah tengah masyarakat polytheist yang materialist.
Perspektif
sejarah
Idul qurban dalam hubungannya dengan
jaran tauhid yang diajarkan oleh nabi ibrahim dakutnya. Seperti n diteruskan
oleh nabi-nabi berikutnya. Seperti diungkapkan diatas, baik agama yahudi ,
kristen maupun agama islam semuanya mengklaim bahwa ibrahim adalah tokoh
panutan mereka, baik taurat mapun injil dan kitab suci mereka juga menyebut
nyebut nabi ibrahim.
Dua dimensi keberagaan manusia muslim
tidak bisa dipisahkan tersebut. Kita tinjau lebih dahulu, permukaan pertama
ajaran yang dibawa oleh islam lewat nabi nabi utusan Allah SWT yaitu ajaran
tauhid.
Dalam abad teknologi seperti yang kita
alami sekarang ini, metode empiris ini masih cukup relavan untuk menerangkan
kemahabesaran dan kemahakuasaan tuhan. Contoh konkret adalah bahwa kita
berkesempatan untuk menyaksikan planetarium, dimana tergambar jelas disitu
bahwa bumi yang kita huni ini, ternyata hanyalah merupakan sebutir debu
ditengah kabut galaksi dan sistem tata surya dan alam jagat raya yang luas tak
bertepi. Untuk menghayati dan meresapi kemahakuasaan Allah SWT kita perlu
meneladani nabi ibrahim, dalam hal penggunaan metode empiris lewat audio visual
dan peralatan high technologi yang lain.
Marilah kita melihat sisi laoin yang
tidak terpisahkan dari ajaran tauhid. Ajaran nabi ibrahim yang mengajak kepada
inti tauhid tidak hanya terhenti sampaio disitu saja.ajaran tauhid islam tidak
terhenti pada aspek yang bersifat transdental-kontemplatif.ajaran tauhid islam
mempunyai sisi lain yang bermuatan kependulian sosial.
Nabi ibrahim AS, Nabi Muhammad SAW, nabi
nabi yang lain memang menjadi tokoh idola dan prototip yang diinginkan oleh
umat manusia, khusunya dalam mengantisipasi perubahan sosial yang sangat deras
sekarang ini, baik dalam kaitannya dengan kepedulian sosial dan perikehidupan
yang bermuatan moralitas keagamaan terhadap mereka yang tidak membedakan
wilayah dunia dan akhirat. Mereka dapat memdukan antara tuntutan ibadah yang
bersifat transdental-normatif dan tuntutan ibadah yang bersifat sosial. Semoga
kita dapat meneladaninya.
0 komentar:
Post a Comment