Tuesday, March 20, 2018

RESUME: FALSAFAH KALAM DI ERA POST MODERNISME (Dr. M. Amin Abdullah)

Peradaba islam tidak lain adalah suatu hal akumulasi perjalanan pergumulan penganut agama islam ketika berhadapan proses dialektis antara “normativitas” ajaran wahyu yang permanen dan “historisitas” pengalaman kekhalifahan manusia dimuka bumi yang selalu berubah-ubah.
Hubungan dialektis antara normativitas wahyu dan historisitas kekhalifahan yang sering kali berubah menjadi hubungan konflik yang berkepanjangan, yang justru menambah beban spikologis bagi para pemeluk agama islam. Bahkan tidak jarang terjadi historisitas kekhalifahan yang aturannya berubah-ubah menjadi suatu yang permanen. Pergumulan yang dinamis antara kedua dimensi tersebut selalu mewarnai perjalanan pemikiran islam.
Dalam tulisan ini akan disinggung secara sepintas sejarah pemikiran islam dan pendidikan agama pada era Nabi dan Khulafurrasyidin serta bagaimana pula coraknya pada era kejayaan abbasiyah baghdad. Kemudian diharapkan dapat menjadi bahan acuan pembanding serta tindakan praktis untuk mencari metode pendidikan agama islam yang kondusif untuk menatap persoalan-persoalan masa kini dan masa yanhg akan datang.
a.      Pemikiran dan Pendidikan Agama Pada Era Nabi dan Khulafaurrasyidin
Islam adalah agama yang sejak awal diturunkannya diterima dan diamalkan oleh masyarakat urban, yakni masyarakat perkotaan di Makkah dan Madinah. Islam diterima oleh suatu lapisan masyarakat yang mampu berpikir rasional dan logis. Masyarakat yang mampu membedakan dan menarik garis pemisah yang tegas anntara nilai-nilai islam dan nilai-nilai jahiliyah.
Firman Allah SWT “Lakum dinukum wa li ad-din”, menurut hemat penulis, merupakan penegasanbahwa wilayah axiologi keagamaan tidak bisa dikompromi dan dicampur-adukkan dengan sistem tata nilai yang non-islami. Wilayah axiologi keagamaan islam tidak mengenal kompromi dan tradisi keagamaan zaman jahiliyah. Dalam hal ini agama islam mengajarkan agar mencari petunjuk Tuhan yang benar. Jangan asal ‘waton’ menjalani islam seperti yang dijalankan oleh nenek moyang, akan tetapi menjalani islam yang benar-benar didasarkan petunjuk kitab suci dan sunnah Rasul.
Walaupun peradaban islam si era sekarang telah banyak mendapatkan pengaruh berbagai macam dan peradaban dan tradisi, namun islam pengetahuan modern menawarkan seperangkat metodelogi untuk dijadikan alat analisis kritik kesejarahan bagi umat islam yang merindukan jiwa islami yang murni seperti yang diamalkan Nabi dan Sahabatnya. Diantara sebab-sebab yang amat kompleks, tasawuf, sufisme-lah yang merupakan sebab yang paling utama bagi kemubnduran pemikiran islam. Umat islam diajarkan untuk bersikap tengah-tengah dan menjauhi watak-watak yang ekstrim. Salah satu sikap tengah-tengah yang menonjol dalam agama islam adalah dalam hal pandangan dan tujuan hidup manusia. Walaupun islam mengarahkan tujuan dan pandangan hidup umatnya kearah alam akhirat, namun islam juga mewajibkan umat islam untuk tidak melupakanperjuangan untuk membina kehidupan dunianya secara layak dan jaya. Inti ajaran islam adalah terpusat pada ajaran iman dan amal salih.
Islam adalah agama yang mengajarkan sikap tengah, agarf umatnya aktif manatap kehidupan dunianya dengan iman dan sikap positif. Islam juga mengajarkan sikap aktif, memandang perjuangan membina kesejahteraan masyarakat sebagai amal sallih yang jauh lebih besar pahalanya dari pada hidup menyendiri untuk berpuasa dan berzikir terus-menerus.  Oleh karena Al-Qur’an secara langsung dikaji, digeluti dan direnungkannya maka pemikiran dan pengalaman islam tumbuh dan berkembangsecara sinkron (serempak) antara zikir, pikir dan amal perbuatan . terjadi perkembangan serentak dan saling menjiwai anatar iaman, islam, ihsan. Yaitu terjadinya perkembangan serentak antara keyakinan agama (iman), perbuatan lahiriyah (islam) dan perasaan moral spiritual (ihsan). Iman memancarkan cahaya islam dan ihsan secar serentak.
b.      Pemikiran dan Pendidikan Agama pada Era Baghdad
Menurut M. Iqbal ada dua sumber perkembangan pemikiran agama dalam islam. Pertama, sumber baku (sumber statika yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Yang kedua, sumber dinamika (sumber pengembangan), Yitu ijtihad. Ijtihad adalahpengunaan penalaran yang kritis dan mendalam untuk memahami kedalam dan keleluasaan isi kandungan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Al-Hadits yang merupakan sumber baku agama, untuk memahami an menafsirkannya sesuai dengn tuntutan kemajuan dan perubahan zaman.
Perkembangan kemampuan intelektual umat islam dalam melaksanaka ijtihad pada zaman kebesaran baghdad ini lantaran umat islam mampu menyerap dan memanfaatkan ilmu filsafat dan mantik. Filsafat memang mendukung kemampuan pengembangan aturan berpikir ilmiyah (scientific thought) yang melahirkan pertumbuhan dan perkembangan berbagai  cabang ilmu keislaman, seperti ilmu kalam, fiqh, nahwu, tafsir dan lain-lain.
Ijtihad adalah penggunaan akal semaksimal mungkin untuk memikirkan, memahami, dan mencoba menafsirkan ajaran agama (wahyu). Hasil pemikiran ini bersifat relatif, tidak mutlak seperti wahyu. Hasil pemikiran ini merupakan dasar pegangan sementara, sebelum hadits yang shahih ditemukan. Dengan ketajaman pemikiran filsafat dan ilmu mantik, pemikiran kritis ini dapat dipertajam dengan pergumulan dan perubahan zaman tanpa meninggalkan normativitas Al-Qur’an. Pandangan para ulama cukup kritis. Tidak ada mujtahid memutlakkan pendapat atau hasil ijtihadnya.para pseudo-mujtahid, pemegak dekte dalam kalangan umat, yang berusaha dengan semacam-macam daliluntuk tiap memutlakkan hasil ijthad mereka mereka.
c.       Tantangan Masa  Kini dan Masa Depan
Bila pendidikan agama ingin memenuhi tuntutan zaman, yakni meahirkan mujtahid, untuk era saat ini, sudah baang tentu hal itu lebi bisa. Meninjau sistem dan metode pendidikan dalam madrasah dan pesantren-pesantren zaman kejayaan Baghdad dan Cordova , tampaknya lembaga-lembaga itu lebih meekankan pada sistem dialog dan diskusi, bahkan kadang-kadang meningkat jadi perdebatan. Misalnya, di pesantren Basrah perdebatan dan diskusi antara Washil dan Atha dengan perdebatan antara imam Al-Asy’ari dengan gurunya Al-Jubbaidi pesantren Basrah jugamendorong lahirnya mazdhab Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah.
B.     Islam Dan Ilmu Pengetahuan (Sebuah Telaah Epistemologis)
a.      Islam antara “Normativitas dan Historisitas”
Menurut hemat penulis, hanyalah berakar pasa kesulitan seseorang agamawan yang baik, tulus dan committed untuk dapat membedakan secara “clear and distinct” (jernih) antara dimensi ‘normativitas dan historisitas’ keberagaman manusi, terlebih-lebih lagi keberagaman islam.
Menurut prof .M. Arko, guru besar islamic Thought di Sorbone, Perancs, sejak abad ke-12 hinga abad ke-19, bahkan hingga sekarang teradi proses ‘taqdis al-afkar al-diniy’ (pensaklaran pemikiran keagamaan), sehingga ghairu qabilin li al-niqas. Proses ini disebut juga oleh proses ‘ortodoksi’. Bak dikalangna suni maupun Syi’iy sehingga terjadiproses percampuran yang kental pekat antara dimensi ‘historisitas kekhalifahan’ yang aturannya selalu berubah-ubah, lantaran tantanngan zaman yang selalu berubah-ubah, lantaran tantangan zaman yang selalu berubah-ubah, dan normativitas ‘ Al-QU’ran dan keagamaan islam yang solihun likulli zaman wa makan.
Arkoun berulang kali menjelaskan bahwa telah bahwa telah terjadi proses pelapisan geologi pemkiran islam yang sejak abad ke-12 hingga sekarang, sehingga menepikan aspek ‘historisitas’ kemanusiaan yang selalu dalam “on going process” serta “On going formatio”. Kekuatan intelek rasio manusialah yang dapat menemukan dan menembus dimensi “normativitas” Al-Qur’an yang bersifat necessary, (fadlu ‘ain), universal, imperatif, categorial, yang salihun likulli zaman wa makan. Tetapi dimensi  ‘normativitas’ dan ‘etika ‘ Al-qur’an yang bersifat fardlu ‘ain, imperative, categorical, tetaplah sama sadari dulu sampai kapan pun yakni kewajiban memperlakukan orang lain (baik orang islam maupun non-islam) dalam berbagai stratifikasi kelas sosial yang ada secara santun, demokratis, egaliter dan adil. Menurut bahaasa tuqaha , aspek normativitas adalah aspek ibadah mahdah yang yang lebih terasa  ditekankan aspek legalitis formalitas-eksternal, sehinggs kurang aspresiatif terhadap dimensi esoteris yang padat nilai spiritual intelektual yang juga melekat pada religious imperatif yang bersifatv mahdhah tersebut.
b.      Pendekatan keilmuan terhadap fenomena keagamaan
Beberapa peneliti untuk menggunakan metodologi ilmu-ilmu kealaman untuk meneliti  untuk menggunakan metodologi ilmu-ilmu kealaman untuk meneliti fenomena sosial, namun studi dan pengamatan emppiris terhadap iris terhadap fenomena sosial keagamaan adalah merupakan suatu perkembangan yang sama sekali baru.
Menurut hemat penulis, mnghilangkannya wawasan ‘historis’ dari pemikiran islam dara umum ikut memberi andil yang cukup besar pada munculnya berbagai format pertanyaan mendasar seperti terungkap pada permulaan tulisan ini. Tradidi pemikiran epistemologi yang bersifat empiris meskipun belakanhgan, banyak mengundang kritik tajam dari Habermas, telah melahirkan tokoh-tokoh ilmuwan seperti Weber, Freud, Karl Marx, Clifford Geertz, Robert Bellah,PeterL.Apakah islam dapat vditelaah disini secara ilmiah? Jika yang dimaksudkan islam disini adalah “perilaku” individu, “tradisi” masyarakat (turast) baik dalam dimensi politik , falsafah, ekonomi, sosial budaya, yang terinspirasikan oleh ajaran islam mengapa tidak? Jika yang ditelaah dan diteliti adalah aspek ‘historisitas kekhalifahan’ manusia muslim dalam wilayahpoleksosbud, mengapa tidak bisa dibenarkan? mengapa pula harus dikhawatirkan, jika studi ini dilakukam, akan menggeser dimensi ‘normativitas’ Al-Qur’an?
Apakah dengan telaah ilmiah terhadap fenomena beragamaan manusia secara empiris, secara otomatis akan mengurangi keinginan manusia untuk mengamalkan ajaran islam. Kekhawatiran itu agaknya terlalu dibuat-buat. Kekhawatiran mencerminkan tumpangb tindihnya atau kejumbuhan antara normativitas dan historisitas.(19-24)
c.       Antara pendekatan ‘Historian’ (Muarrikh) dan pemdekatan ‘Believer’ (Mukmin)
Tanpa pendekatan yang bersifat kritis-analistis, terhadap fenomena sosial keagamaan, perkembangan ilmu di IAIN dengan sendirinya akan tersendat-sendat untuk tidak mengatakan macet. Sikap ini bertolak belakang dari sikap seorang ‘beliver’ yang lalu mengedepankan “Truth Claim”, dalam arti lebih menekankan pada monopoli kebenaran dengan sembioyan ‘right or wrong is my country’.  Pendekatajn seseorang ‘believer’, biasanya sudah barang tentu, disini tidak dapat pula digeneralisir, melupakan historisitas dari pada akal pikiran manusia itu sendiri. Pedoman hidup adalah merupakan pula condition sine qua non bagi seorang Muslim yang commited dan hanif dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya. kajian hasil dakwah empiris adalah tugas pendekatan ilmiah karena dakwah dapat diulan-ulang tetapi analisis dan kegiatan ilimahnya tidak dapat diulang-ulang. Hasil pendekatan dakwah secara verbaln kurang berhasil dalam mengatasi kemiskinan karena dakwah bi al-lisan kurang efektif dibanding dengan bi al-hal atau audi visual.
C.     Reformulasi Tradisi Keilmuan Pesantren Dalam Aspek Teologi dan Pemikiran
Studi islam di Barat yang dahuku dipelopori para ahli ketimuran (orientalis) dan yang sekarang telah mulai banyak pula bermunculan para ahli ilmu-ilmu keislaman dari bangsa-bangsa Timur hanya dapat dibangun diatas lahan subur budaya, tradisi dan ilmu-ilmu keislaman.Dari segi tinjauan budaya mekanisme pelestarian ajaran-ajaran agama secara turun temurun adalah peristiwa budaya yang sangat mengagumkan banyak pihak.
a.      Dua Trend Pemikiran Islam Menatap Tradisi
Pertama adalah trend pemikiran islam yang menggarisbawahi perlunya melestarikan tradisi keilmuan islam yang telah terbangun secara kokoh sejak berabad-abad yang lalu bserta memanfaatkannya untuk membendung aspek negatifdari gerak arus pembangunan dan modernisasi dalam segala bidang.  Aliran pemikiran islam yang kedua adalah tradisi pemikiran keagamaan yang bersifat kritis terhadap segaka bentuk pemikiran manusi, termasuk didalamnya adalah gugusan pemikiran keagamaan. Tradisi kritis melihat khazanah intelektual islam dan pemikiran islam pada umumnya tidak lain dan tidak bukan adalah suatu “produk sejarah” biasa, yang sudah barang tentu qabilun li al-taghyir dan qabilun li al-niqas. Oleh karena pemikiran keagamaan adalah poroduk sejarah yang berkembang pada zaman tertentu.tradisi pemikiran islam kritis ini, belakangan dikembangkan oleh Fazlur Rohman, M. Arkoun, Hasan Hanafi dan lain-lain. Pemikiran islam pertama khususnya dalam hal yang menyangkut pemahaman bahwa aspek normativitas Al-Qur’an adalah ghoiri qabilin li al-taghyir. Trend pemikiran islam yang kedua ini melihat “tradisi” keilmuan islam sebagai suatu gugusan pemikiran yang tidak taken gfor granted.
            Rumusan piramida tradisi keislaman yang tercermin dalam kalam, fiqh, dan tasawuf tidak lain adalah hasil rumusan manusia biasa, yang tidal luput dari campur tangan “ideologi” yang berkembang saat itu. Pendekatan filsafat ilmu , pendekatan sosyology of knowledge (sosiologi ilmu pengetahua) serta pendekatan kesejarahan seperti ini sangat mewarnai pemikiran kalam model kedua ini.
b.      Hubungan Teologi Islam (Kalam) dengan Falsafah
Istilah teologi layaknya lebih populer dari pada kalam, sedang semua ilmuan agama maklum bahwa “teologi”  berasal dari khazanah intelektual Barat. Masing-masing kelompok memanfaatkan untuk tidak mengatakan ayat-ayat atau hadis-hadis yang yang sesuai denga alur pandangan yang menguntungkan masing-masing. Melihat perkembangan sejarah ilmu Kalam, para pengamat sulit untuk tidak mengambil kesimpulan bahwa sejak dari semua pemikiran teologi islam atau Kalam sudah tidak dapat dipisahkan dari dominasi kekuasaa politik. Kajian agama sangat erat hubungannya dengan kajian filosofis, lantaran agama juga menyangkut fundamentakn values dengan ethical values, untuk tidak semata-mata bersifat teologis. Menurut hemat penulis, hanya pendekatan agamis filosofis yang mendasar yang dapat membantu memilah-milah dan menjernihkan kategori-kategori politik yang sudah terlanjur mapan dan terpatri secara kokoh baik dalam khazanah literatur islam yang ada maupun dalam alam pergaulan masyarakat secara nyata.
c.       Mengembangkan Tradisi Kritis dalam Pesantren
Al-Ghazali dapat berpikir secara kritis, yakni aturan-aturan Yng diambil dari Al-Ghazali adalah semangat dalam metodologi pemikiran kritiknya terhadap berbagai persoalan yanng dihadapi oleh zamannya. Aturannya dunia pesantren dan dunia Perguruan Tinggi Islam klasik tampak minus nuansa pemikiran sejarah dan minus oenekatan sosial. Pendekatan historis dan pendeatan sosial pada umumnya adalah suatu keilmuan yang tertuju pada ‘realitas’ empirik. Dengan bantuan metodologi ilmu-ilmu sosial, yakni pendekatan ilmu-ilmu baru yang muncul setelah abad ke-18, baik etnologi, antropologi, sosiologi, psikologi filsafat dan lain-lain.
D.                Pemikiran Islam dan Realitas Masyarakat
(Mencermati Konsekuensi “Pemkiran Islam” A’la Mohammmed Arkoun)
Fazlur Rahman seorang pemikir islam abad ke-20 menggarisbawahi perlunya Systematic recontruction dalam bidang teologhi, filsafat dan ilmu-ilmu sosial dalam wilayah pemikiran Islam.Literatur pemikiran teologi islamklasik masih belum beranjak dari rumussn persoalan teologi abad tenngah seperti persoalan qadariyah dan jabariiyah, sifat dua puluh Tuhan, apakah Al-Qur’an diciptakan dalam kurun waktu tertentu ataukah kekal abadi seperti hakikat Than sendiri, apakah perbuatan Tuhan terkait dan terkena hukum kausalitas atau tidak. Tema-ttema seperti itu masih diulang dalam literatur (kalam)klasik baik di lingkungan pesantren maupun dalam masyarakatawam dan forum keagamaan yang lain.  Untuk sekedar iliustrasi dan sekaligus sebaai perbandingan dapat dikemukakan disini bahwa  pemikiran dalam dataran fiqh amat sulit untuk dikembangkan. Literatur Fiqhsiyasah (politik) masih membahas tema bahasan klasik “khilafah”, sistem perbudakan, bab pe,bagian wilYhkekuasaan berdasarkan pada dar al-harb dan dar al-islam.
Salah satu implikasi langsung dari pola kebijaksanaan stabilitas politik tersebut adalah tumbuhnya sikao apatis masyarakat Muslim terhadap keadaan sekitar dan menerima apa adanya bentuk dan isi teologi islam klasik tanpa adanya usaha evaluasi kritikterhadap bentuk teologi yang sudah terlanjur mapan tersebut.  ada semacam proses pencampuran yang sulit dihindarkan antara apa yang disebut “wahyu” dan apa yang disebut “produk rumusan pemikiran teologi” pada penggal sejarah tertentu yang menatap pada ajaran wahyu. Al-Qur’ansebagai wahyu ilahi sebenarnya, bergumul dan berdialog langsung dengan realitas masyarakat dan persoalan-persoalan empiris yang dihadapi oleh masyarakat pada zamanyang selalu bergulir. Ada proses dialog yang intens antara Al-Qur’an dengan budaya setempat. Tata cara hidup yang lama masih banyak yang dapat diteruskan namun proses dialog itu terus berjalan.metode iqna (argumentatif-memuaskan) pada dasarnya adalah metod induktif empiris demonstratif, bukan metode deduktif non dialogis seperti yang sering dilakukan orang sekarang dengan jalan pintas mengutip ayat Al-Qur’an dalam berbagai kesempatan tanpa dibarengianalis-analisis yang cukup mendalam  argumentatif yang memuaskan pendengar. Pendekatan induktif lebih bersifat historis dan melewati proses panjang yng perlu dilalui dan bukannya semata-mata bersifat deduktif ahistoris. Dalam hubungan ini, diperlukan kiat-kiat tertentu serta kemampuan melakukan takwil (hermeneutik) yang menggigit pada persoalan kontemporer untuk tidak mengatakan hanya mengambil alih pola pemikiran Yunani yang spekulatif.
Dalam dunia pemikiran islam kontemporer, pemikiran “positif” (al-aqlaniyyah al-wadl’iyyah) terhadap realitas sosial masyarakat dan realitas alam semesta tidak mendapat tempat yang sebanding proporsional dengan alur pemikiran terhadap klasik spekulatif. Sejarah pemikiran islam pada umunya memang belum mengalami proses aufklarung atau renaissance, atau dengan kata lain ungkapan belum pernah melampaui tahapan kritikepistemologis yang cukup mendasar, karena latar belakang kemenanganpemikiran teologi klasik ortodok diatas pemikiran kritis filosofis yang terjadi di seputar kontroversi antara Al-Ghazali dan Ibn Sina. Perkembangan sejarah peradabandan perkembangan ilmu pengetahuan manusia dianggap tidak punya pengaruh terhadap bangunan struktur keberagaman manusi a. Akibatnya, pemikiran Muslim sulit membedakan anatara mana aspek yang dianggap ta’abbudy normatif dan mana aspek yang dianggap sebagai pemikiran manusia biasa yang sebenarnya tidak lain adalah hasil rekayasa tuntutan sejarahj kemanusiaan yang bersifat “relatif”.
Menurut pengamat rousfield, pemikiran epistemologis islam baik yang klasik maupun yang kontemporer tercampur aduk dengan wilayah kalala mhalap bnganwajar dan alami tanm dan sufirm, sehingga semakin tidak jelas mana bidang garap masingan yang cuku-dan kecurigamasing sejak awal mulaq berangkat. Dalam tradisi Barat, kritik epistemologi berjalan wajar dan alami tanpa halangan dan kecurigaan yang cukup berarti. Kritik ideologi kontemporer pada dasarnya, adlah kritik yang tajam terhadap bangunan atektonil ilmun pengetahuan manusia pasca industri yang cenderung tidak mempunyai nuansa pemihakan baik terhadap alam maupun manusia. tradisi pemikiran islam klasik ortodok tidak mengenal tradisi epistemologis dalam artian yang sesunhgguhnya. Nan architektonik pemikiran ideali epistemologis di Barat terhadap bangunan architektonik pem,bemikiran idealis rasionalis membuka  kesempatan untuk berkembngnya tradisi pemikiran historis empiris dalam artian empirical appoarch terhadap realitas kemanusiaan. Untuk mengembalikan”keseimbangan” antara bobot pemikiran teologi islam klasik yang lebih beruatan normalitas nor,atif dan tuntutan ilmu pengetahuan kontemporer yang bersifat emprisd di perlukan kritik epistemologis yang cukup mendasar.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah salah satu terobosan untuk melihat ke yataan sosial yang lebih kongkret berikut upaya problem solvingnya, dan masih banyak upaya-upaya lain yang dikerjakan oleh organisasi islam di tanah air. Pola berpikir teologi islam klasik, juga teologi islam kontemporer yang terikat olehpemikir islam klasik, terlalu kuat untuk ditandingi dengan gerakan-gerakan LSM untuk menambah sementara berbagai kekurangan yang melekat dalam kehidupan umat islam.
E.                 Pembangunan Kultur Masyarakat Islam Dalam Era Globalisasi
            Globalisasi adalah peristilahan atau kopnsepyang relatif baru.  Globalisasi dunia pertama kali menyembul begitu uang ke permikaan hanya pertengahan kedua dekade 80-an. Globalisasi berdampak pada hampir setiap bidang kehidupan manusia. Globalisasi yang melanda dunia membawa dampak padamkehidupan fisik, sosial, kejiwaan maupun agama. Perbedaan gaya hidup life style manusia pra dan post globalisasi  sangat tampak. Dampakmitu dapat bersifat positif, namun pada saat yang sama juga dapat bersifat negatif. Tidak semua bangsa siap menerima dampak globalisasi , bahkan bangsa-bangsa yang terlebih dahulu  menciptakan instruktur modernisasi dan  lobalisalat teknologi  yang dirancang dan diciptakan.
a.      Mencermati Makna Globalisasi Dunia
            Globalisasi adalah suatu kemasan bahasa atau istilah yang padat arti, ia m,enandung dua dimensi yakni dimensi ‘pemikiran’ (though; al fikr) dan dimensi ‘sejarah’ (histori; al tarikh). Hubungan antara Bahasa Pemikiran sejarah Mengambil bentuk circular, yakni hubungan melingkar yang tidak ada putus-putusnya. Bahasa adlah simbol atau cermin cara ‘berpikir’ yang dilingkari oleh latar belakang proses ‘sejarah’ budaya kemanusiaan yang p;anjang atau kalau diambil dari sudut pandang yang lain dapat pula dirumuskan bahwa ‘pemikiran’ manusia selalu dilatarbelakangi oleh prosesperjalanan sejarah yang kemudian percampuran antara keduanya menyembul dalam kekuatan ‘bahasa’. Awmua perubahan yang diakibatkan oleh proses globalisasi sebagai hasil kreativitas akal pkira manusoa membawa dampak langsungterhadap perjalanan historis umat manusia.
Cultural Lag adalah salah satu bentuk manifestasi ketertinggalan nuansa pemikiran  manusia yang tertinggal oleh laju dengan proes globalisasi cultural Lag biasanya diikiuti oleh krisis identitas yang selanjutnya mengarah pada proses anomie.
b.      Masyarakat Muslim dan Proses Globalisasi
Umat islam tidak terkecuali Umat Islam, setidaknya menghadapi 3 pilihan :
Pertama, umat Islam berkeinginan untuk berperan aktif memasuki wilayah globalisasi dunis dengan berusaha sekuat tenaga untuk menempatkan diri ‘sedikit’ setaraf dengan negara-negara maju. Kedua, sebelah melihat dampak negatif dari era industri dan globalisasi umat islam mengambil sikap ‘reserve’ terhadap ilmu dan teknologi.ketiga, umat islam ingin mencari teknologi alternatif yang tidak berdampak terlalu negatif terhadap alam lingkungan kehidupan manusia. Ada baiknya umtuk bersifay hati-hati dalam globalisasi saat ini supaya tidak terjadi pengulangan sejarah pembuatan senjata nuklir penghancur masal. Budaya muslim agak mengalami kesulitan untuk  melakukan mental  switch dalam era globaisasi lantaran epistemologi mereka tidak atau kurang kondusif untuk melakukannya. Tradisis empiris serta epistemologi bentuk begitu dikenal dalam layah keilmuan Muslim.









BAGIAN KEDUA
A.    Kalam Dan Filsafat Dalam Era Postmodernisme
                   I.            Kalam Dan Filsafat Islam Di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam Di Indonesia
a.    Pergeseran Anatomi Pemikiran Kalam dan Falsafah Islam
                        Masyarakat Islam Indonesia diperkenalkan dengan tiga macam istilah “teologi” dengan berbagai makna dan konteks yang ingin ditegaskannya. Teologi pembangunan, teologi transformatif, teologi perdamaian. Di negara Indonesia yang mayoritas penduduk menganut agama islamnamuunakan is ide tersebut tidak mengm para pencetus ide tersebut tidak menggunakan istilah “Kalam” (Kalam transformatif, Kalam pembangunan, dan sebagainya) atau “Falsafah Islam” (Falsafah Islam pembangunan, Falssafah Islam transformatif, dan sebagainya) para pengguna istilah tersebut tidak begitu peduli lagi dengan asal usul penggunaan istilsh khaazanah intelektual Barat dan jelas-jelas tidak melampaui batas-batas definisi yang digunakan secara baku dalam buku literatur ilmu Kalam dan Falsafah Islam.
                        Bahwasanya telah terjafi akulturasi dan inkultural (pergeseran pemikiran) keagamaan yang begitu jelas sebagai proses Pembangunan Janhgka Panjang I.  Pengalaman historis kemanusiaan abad pertengahan atau abad yang lalu sebenarnya “qabilun li al-taghyir”, dalam arti pemaknaan baru sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualitas manusia agarat dipahami oleh generasi  baru yang mencoba memeberi makna yangblebih kondusif terhadap perkembangan zaman yang melingkarinya. Proses pemaknaan kembali ini,sebenarnya tidak dikandung maksud untuk menegasikan dan menolak khazanah intelektual yang lama, tetapi hustru memberi bonot muatan serta tali kesinambungan yang kebih menyentuh pada bangunan pemikiran dan pengalamanmanusia kontemporer. Pendukung pemikiran lama sangat khawatir, jika “pemaknaan” kembali tersebut menyimpanhg dari khazanah intelektual lama yang selama ini dikenl, diajarkan, dipedo,ami dan yang telaj terdokumentasi  baku dalamkitab-kitab lama. Pihak yangoertama, yakni yang mempertahankan khazanah intelektual lama lupa bahkan sering kali melupakan kenyataan bahwasanya khazanah intelektual  lama yang dianggap lebih unggul, aslisakral, sebenarnya tidaklain dan tidak bukan adalah juga hasil atau produksejarah yang hidup pada zamannya. Para pendukungnya ingin memprtahankan khazanah intelektual lama meskioun sudah out of date, sedang dilaen pihak, orang ingin mengembangkan orang yang  baru, meskipun belum jelas benar duduk persoalanny.
                        Menempatkam kalamdan filsafahIslam pergumulan pemikiran kontemporer adalah tugas ekstra keras bagi generasiintelektual islamlantaran perbendaharaan kata,kosa kata, kpnsep-konsep, istilah-istila, telah secara baku digunakan dalam tektbook lama yang telahberjalan setelah sekiam abad. dalam sejarah oemkiran Barat, ketika pihak gereja tidak dapat menyamoaikan kritik internal karena otoritas gerajayang begitu kuat, maka mncullah pemikiran-peikiran individual yang mengkritik secara tajam pola pikir bangunan pemikiran dan otoritas gereja yang sangat mendominasi segala aspek kehidupan saat itu.
b.      Anomalis dalam Kalam dan Filsafat Islam (Klasik)
                             Semua ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam textbook adalah termasuk dalam wilayah “normal science”. Anomalis tidak dapat dipecahkan secara tuntas dalam wilayah normal science. Jika anomalis menjadi merasa begitu akut sehingga pada saatnya ditemukan pemecahan yang lebih memuaskan oleh ilmuan lain, maka terjadi proses pergeseran paradigm (shifting paradigm) dari keadaan scince ke wilayah revolutionary science.
                        Pemikiran keagamaan islamhampir-hampir tidak mengenal apa yang disebut-sebut anomalies, terjadinya proses “taqdis al-afkar al-diniy” yang secara tidak sengaja dibawa serta oleh gerakan pemikiran ortodoksi keagamaan. Oleh katenanya terasa sangatsulit mengembangkan pemikiran Kalam atau Falsafah Islam (Klasik). Al-Ghazali tidak secara serta merta menolak Ilmu Kalamia menggarisbawahi keterbatasan-keterbatasan ilmu kalam sehingga berkesimpulan bahwa kalam tidak dapat mengantarkan manusia mendekati Tuhan, teteapi hanya kehidupan Sufilah yang dapat mengantarkan seseorang dekat dengan Tuhannya. M. Iqbal melihat adanya anomalies yang melekat dalam literatur Kalam Klasik Teologi Asy’ariyah menggunakan pola dan cara berpikir Yunani untuk mempertahankan dan mendefinisikan pemahaman ortodoksi Islam.  Muktazilah sebaliknya, terlalu jauh bersandar pada akal, yang akibatnya mereka tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama, pemisahan antara pemikiran antara pemikirsn keagamaan dari pengalaman konkret adalah merupakam kesalahan besar. Pemikiran Kalam Asy’ariyah, yang kemudian dikokohkan oleh Al-Ghazali, tentang kualitas tidak cocok dengan realitas keilmuan yang berkembang dewasa ini. Pemikiran kualitasKalam Asy’ariya tidak kondusif untuk menumbuhkan etos kerjs keilmuan baik dalam wilayah ilmu-ilmu kealaman maupun humaniora.
Dengan meninjau ulangepistemologadanya anomali-anomli yng melekat pada rancang bangun epistemologi Ilmu Kalam dapatlah disimpulkam secara tetatif bahwa Ilmu Kalam perlu dikembanglan dan diperbaharui sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman yang dilalui oleh sejarah kehidupan manusia. Menurut M. Arkoun, Hassan Hanafi, kerangka dassar pemiiran filsafat Islam (klasik) hanya terdiri dari al-mantiq, al-Tabi’iyyat dan al-ilahiyyat. Kerangka dasar ini tidak mencantumkan sama sekali “insaniyyat” dan ”tarikhiyyat”. Anomalis yang melekat dalam falsafah islam klasik maupun kalam, yang belum men cabtumkan nuansa pendekatan histori dan humaniora mulai dicoba untuk diangat baik oleh M.Arkan Kontemporer seperti sayyed Hossein Nasr tidak dapat dimasukkan dalam kategori prototip pemikiran islam yang menekankan perlunya pendekatan kesejarahan, lantaran aksentuasi pemikiran keislamannya lebih terfokus kepada dimensi metafisika dan spiritualias Islam.
c.       Hubungan Antara Budaya Lokal Dengan Kalam Dan Falsafah Islam
Falsafah Islam dan kalam yang dihadapkan langsung dengan berbagai persoalan dan tantangan historisitas kemanusiaan yang konkret. Era pembangunan jangka panjang II adalah era industrialisasi dan informasi yang jelas-jelas tidak dihadapi oleh era kajian Kalam dan Falsafah Islam Klasik. Tantangan historis perlu dijawab secara “historis” tanpa menapikan aspek normativitas dalam moralitas Al-Qur’an . untuk era sekarang, Kalam dan Falsafah Islam kontemorer bersentuhan tidak bisa tidak harus bersentuhan dengan psikologi modern, sosiologi, sejarah agama-agama, falsafah Kontemporer, sehingga wilayah diskursusnya akan menarik dan bermanfaat pada era Pembangunan Jangka Panjang II.
d.             Prospek Masa Depan
Apakah Al-Qur’an memang Cuma bermuatan aspek normal tanpa menyentuh aspek historisitas kekhalifahan manusia jika ditelaah secara sungguh-sungguh, vocabulary-vocabulary Al-Qur’an adalah benar-benar bersifat Zamkan, yakni selalu melibatkan “zama” dan “makan” atau rusng dan waktu. Maka Al-Qur’an sebenarnya sarat dengan muatan history sebanyak muatan normativitasnya. Jika era sekarang adalah tidak lagi era Yunani, maka diskursus Kalam dan Falsafah Isla harus mengikiti alur pemikiran kontemporer yang sedang berjala sekarang. Teologi tidak lagi terbatas pada ilmu-ilmu ketuhanan secara sempit eksklusif, tetapi lebih merupakan paduan dari sekian banyak nuansa pemikiran keagamaan Islam yang sudah barang tentu juga berlaku dalam pemikiran keagamaan Protestan, katholik, Himdu, Budha dalam merespon tantangan zaman. Tantangan budaya lokal historis adalah salsah satu omponen yang menentukan berkembang tidaknya serta perlu tidaknya shifting paradigm dalam struktur khazanahintelektual terdahulu.
                                                Dengan menghadapkan universalitas ajaran Al-Qur’an dengan situasi historis yang bersifat lokal dapat memunculkan gagasan-gagasan dan pemikirn yang orisinal, dan dengan cara itu pula kita dapat mengapresiasikam perkembangan dan pergumulan pemikiran keagamaan dan pemikiran keislaman di tanah air. Kalam dan Falsafah Islam akan sangat bermanfaat bagi Pembangunan Jagka Panjang II, kaena keduanya dapat  menarik titik singung dan relevansi dikursus keagamaan terhadap berbagai tantangan serta memberikan problem solving terhadap persoalan-pesoalan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia secara riil. Pemikiran Islam di Indonesia akan menemukan orisinalitasnya dan sekaligus dapat menyumbangkan pengalaman pergumulan sejarahnya terhadap dunia internasional pada umumya, dan dunia Islam pada Khususnya.

B.     Dialog Peradaban Menghadapi Era Postmodernisme: Sebuah Tinjauan Filosofis Religius
Inti pokok alur pemikiran postmodernisme adalah menentang segala hal yang berbau kemutlakan dan baku, menolak dan menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan persoalan yangb sederhana dan skematis, serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari berbagai aneka ragam sumber. Kuhy berkeyakinan bahwa faktor historis yakni faktor non matematis positivistik juga  sangat penting untuk dipertimbangkan, ketika manusia ingin melihat bangunan paradigma keilmuan secar utuh. Penulis melihat 3 fenomena dasar yabg menjadi tulangbpunggng arus pemikiran postmodernisme. Penulis tidak beranggapan bahwa hany ketiga ciri yang akan diuraikan berikut ini yang akan secara serta merta dapat menerangkan fenomena alur pemikiran postmodernisme. Adapun ketiga ciri dasar atau yang penulis istilahjkan dengan struktur fundamental npemikiran postmodernisme adalah :
Pertama, Decontructionism
Teori-teori ilmu soaial modern mengandaikan adanya atruktur dan kontruksi baku, yang bisa dibangun secara kokoh dan dapat berlaku secara universal. Banyaknsastrawan yang tidak sepakat bahwa sastra yang baik adalah sastra “gedongan” atau sastra “kraton”. Pemikiran  postmodernism dalam bidang sastra tidak setuju adannya cara pandang yang berstandar “tunggal”. Menmurut hemat penulis, budaya “pelesetan” adalah juga contoh budaya postmodernism dalam wilayah kesenian dan seni panggung khususnya.


Kedua, Relativism
                                                Thomas S. Kuhn sebagai prototip pemikir yang mendobrak keyakinan para ilmuan yang bersifat positivistik. Pemikiran positivisme lebih menggarisbawahi validitas hukum-hukum alam dan hukum-hukum sosial yang bersifat universal, yang dapat dibangun oleh rasio. Immanuel Kant adalah orang filosof yang paling vokal memepertahankan nilai-nilai universal yang ada dalam wilayah moralitas. Menurut hemat penulis, pemikiran Hegel banyak diperhatikan dan dicermati oleh para pemikir pada parohan kedua abad ke-20. Faktor sosial budaya mempengaruhi tata nilai yang berkembang dalam era dan dalam wilayah tertentu.  Secara formal intelektual, pengertian “crime” memiliki benang merah yang sama antara satu budaya dan budaya lain. Namun dalam aspek historisitas atau kesejarahan , bentuk material dari suatu “crime” (kejahatan), antara yang satu dan yang lain sangat berbeda.
Ketiga, Pluralisme
Era pluralisme sebenarnya sudah diketahui banyak bangsa sejak dahulu kala, namun gambaran era pluralisme saat itu yakni “tem;po doeloe”, belum jelas seperti era sekarang. Hasil teknologi modern dalam bidang transportasi dan komunikasi menjadikan era pluralisme  budaya dan agama semakin dihayati dan dipahami oleh banyak dimanapun mereka berada. Khususnya, dalam hubungan agama, maka dalam masyarakatintern umat beragama pun terjai fenomena pluralisme setidaknya dalam nuansa aspirasi.
b.      Implkasi Postmodernisme Terhadap Pemikiran Keagamaan
Dalam hubungan ini, munculnya gerakan-gerakan sempalan diberbagai tempat di dunia adalah mirip-mirip dengan gerakan postmodernisme yang ingin mengubah, memperbaiki, membongkar, serta membangun kembali terhadap anangan perkembangan dan perubahan sejarah yang sedang berlangsung. Pemikiran postmodernisme akan segera mencatat segi kemanduaan atau standar ganda budaya modern barat. Negara-negara maju mosern menuntut diberlakukannya HAM dinegara-negara berkembang.
c.       Dialog Agama Dan Kebudayaan, Bukan Clash Of Civillzation
                                                Bagi peradaban, budaya atau bangsa yang gterkena arus pemikiran postmodernism, maka bentuk dan njenis reaksi yang dionjolkan kedepan akan menampakkan sejauh mana penharuuhegatif yang kan ditimbulkanya. Istilah ‘clash of civilazation’, new crusade, fudamentalism, fanaicism dan terorism, adalah bentuk-bentuk reaksi yang bernada pejortive terhadap arus perubahan sejarah yang sebenarnya berjalan secara alami. Dialog antaragama-agama, budaya dan peradaban, untuk menghadapi berbagai kemungkinan perubahan yang lebih dahsyat dimasa mendatang perlu lebih dikedepankan daripada hanyabaekedar mengklaim kebenaran “tunggal” agama-agama yang ada dengan implikasi ketertuutpsn dan eksklusivitas.
HUBUNGAN FILSAFAT DAN STUDI ISLAM
Filsafat Peripatetik Dan Filsafat Kontemporer
Bergulirnya paradigma kosmologi mengakibatkan bergulirnya cara berpikir manusia. Berkembang suburnya pemikiran-pemikiran  empiris historis dalam mengkaji alam dan manusia sama sekali tidak membawa pengaruh terhadap literatur filsafat islam. Ketika posisi pemikiran Muslim mengambilsikap “bertahan” dalam genggaman ortodoksi pemikiran keagamaan yang lebih bwersifat legalistik formalistik , ;pada saat yang sama pandangan manusia terhadap alam telah berubah secara pelam tetapipasti, berkat keberhasilan revolusi ilmu pengetahuan. Tanpa mengalami, memahami dan bergumul, dengan proses perubahan pola pikr yang diakibatkan oleh temuan-temuan ilmu pengetahuanb dan teknologi modern serta mencermati munculnya strktur bangunan pemikiran keagaman yang baru dalam merespon perubahan tersebut maka akan berakibat pada semakin jauhnya antara ‘doktrin’ dan realitas’.
Bagaimana Memahami Filsafat Kontemporer
            Dalam memahami filsafat kontemporer menurut hemat penulis, filsafat kontemporer  yang sudah tentu meskipun disebut kontemporer  tetapi memiliki akar kesejarahan yang kuat sejak berabad-abad yang lalu merupakan hasil kontruksi kreativitas akal pikiran manusia dalam bergumul dengan situasi “historisitas” kemanusiaan yang melingkarinya. Dalam dunia filsafat, “rumusan”, “kontruksi” tau “metodologi”, yang disusun secara sistematis jauh lebih dipentingkan daripada suatu jenis pengalaman atau pola pikir manusia yang tidak memerlukan “kontruksi” rumusan apapun. pengulangan ulangan rumusan kesan juga sedapat mungkin dihindari, maka kreativitas dan orisinalitas sangat dipentingkan disini. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi serta penjumpaan dengan berbagai budaya dunia akan mendorong munculnya berbagai rumusan pemikiran yang lebih bersifat pluralistik.
Hubungan Filsafat Kontemporer Dan Studi Islam
            Perkembangan kontemporer erat kaitannya dengan zaman yang disebabkan oleh terus berkembangnya ilmu pengetahuan sejak abad ke-16 serta pengayaan muatan pengalaman manusia. Menurut berbagai pengamat, baik Fazlur Rahman Hassan Hanafi maupun M. Arkoun, studi islam jika istilah islam diberi makna yang luas, yakni suatu bentuk respon filosofis terhadap perkembangan ilmu dan budaya maka rumusan-rumusan yang dimunculkan masih terlalu jauh dari apa yang diharapkan.



PEMIKIRAN AL-GHAZALI RELEVASINYA ENGAN PERKEMBANGAN PEMIKIRN DAN ETIS KERJA UMAT ISLAM DI INDONESIA
Pokok-pokok pemikiran Al-Ghazalli
1.      Tahfut al-falasifah
Karya Al-Ghazali yang satu ini, setelah melewati rentangan waktu selama 850 tahun diterjemahkan keddalam  bahasa indonesia, mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam membentuk opini dan visi umat islam. Menurut penelitian beberapa penulis, dari 20 masalah yang dikupas Al-Ghazali dalam Tasafut al-Falasifah, masalah 17 yang banyak diragukan keakuratannya. Uraian Al-Ghazali tentang hubungan sebab akibat (causality) dirasakan oleh banyk pihak tidak memuaskan terutama dalam kaitannya dengan oembentukkan etos ilmu, yang pada gilirannya juga berkaitan erat dengan etos kerja.
2.      Mi’yar al-‘ilm, al Mustasfa Ushuk dan ak Iqtisad fi sl-i’tiqad
Yang menarik dari karya-karya Al-Ghazali adalah pendapat Al-Ghazali yang menentang adanya norma-norma etika yang bersifat universal, yang bdapat dipahami oleh akal sehat manusia. Pola pikir Al-Ghazali lebih menekankan nilai-nilai lokal partikular, darimpada nilai yang bersifat universal. Struktur berpikir Al-Ghazali selalu mencari hal-hal pengecualian (exception) bukan mencari hal-hal yang bisa dipahami secara universal.
3.      Al-Ihya ‘Ulumuddin
Darim ke empat adalah jilid ke-3 yang ada kaitan langsung dengan topik bahasa kita dalam sarasenan ini. Al-Ghazali menulis secara rinci konsepsi ketika mistiknya secara lengkap. Dalam bukual-Munqidh min al-Dalal dijelaskan bahwa jalan mistik inilah yang memuaskan dan membawa ketenangan pada Al-Ghazali setelah mengarungi dunia pergumulan intelektualnya. Dalam akhir petualangannya Al-Ghazali berkesimpulan bahwa pendidikan batinlah dan bukan pendidikan intelek yang diperlukan oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan.
Menurut hemat penulis, hubungan antara murid dan shaykh atau antara patron dan klien itu baik baik saja dan tidak perlu diubah, karena itu merupakan kekayaan budaya kita. Pola bentuk hubungan yang lebih diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman, jangan hanya mengarah pada pendidikan akhlak yang lebih cenderung beraroma “normatif”.

Keutuhan pemikiran al-Ghazali
Bagi Al-Ghazali dunia ini memangtidak punya  struktur yang bisa diamati dan dirumuskan oleh akal pikiran manusia. semua penomena alam dan kehidupan manusia bisa kita lihat dan alami dalam sehari-hari disebit sebagai “sunnatullah”.  Jka Al-Ghazaki tidak begitu mengakui adanya hal-hal struktur yang bersifat “universal” dalam idang etika, maka itu berarti ia tidak mendorong manusia untuk dapat melihat jangankan untuk menemukan struktur yang kokoh dalam kehidupan etika.













BAGIAN KE TIGA
ETIKA DAN MORAL ISLAM DALAM ERA INDUSTRIALISASI GLOBALISASI
Etika dan Perubahan Kehidupan Manusia
POLA pikir yang berlaku dalam tradisi yang hidup (living tradition) mencangkup beberapa faktor yang saling terkait. Menyebut beberapa di antaranya adalah sistem pendidikan dan mengajar, pengasuhan anak dalam keluarga, pengaruh lingkungan, pemikiran keagamaan, setting sosial, pelatihan intelektual dan sebagainya.
Globalisasi dunia yang biasa disebut sebut belakangan ini adalah merupakan dampak langsung dari keberhasilan revolusi teknologi-komunikasi, setelah didahului oleh dua revolusi dalam kebudayaan manusia, yaitu revolusi pertanian dan revolusi industri. Untuk era sekarang ini, ketiga jenis revolusi tersebat telah bercampur menjadi satu menyongsong megatrend pada abad ke-21 yaitu akan lebih hebat lagi. Dalam era globalisasi hampir semua sendi sendi kehidupan manusia telah berubah. Yang tidak berubah hanyalah pengertian bahwa dunia adalah selalu berubah. Dari penemuan Biologi Molekuler, pemegang Hadiah Nobel  fisika tahun 1979, Prof. Dr. Abdus Salam melaporkan hasil penemuan penelitiannya bahwa kehidupan dibumi ini sebetulnya merupakan pindahan dari pelanet lain.
Bioteknologi juga berjhasil membuat perubahan-perubahan yang spektakuler. Tidak saja bayi tabung, dalam bidang pertanian pun cukup membuat kita terkesima. Biotknologi mampu membudidayakan tomat diatas sebuah batu bukan diatas tanah yang konvensional. Penanamannya tidak melalui biji melainkan melalaui daun. Dan hasilnya pun spektakuler.
Dalam situasi pola hubungan antara manusia, antara manusia dan alam semesta yang berubah seperti itu, kembali dipertanyakan ulang apakah etika dan moral agama tidak ikut-ikut berubah mengikuti perubahan yang terus terjadi, ataukan moral agama harus bertahan seperti sediakala seperti ketika belum terjadi arus globalisasi? Jika memang harus berubah, apanya yang perlu diubah? Subtitansinya, atu metode metode pembudayaan dan sosialisasinya?
Menurut hemat penulis, semua perubahan itu mempengaruhi  pola pikir umat beragama dalam menatap realitas kehidupan. Tidak semua orang beragama menyadari apalagi, menyetujui perlunya perubahan didalam menatap realitas kehidupan era industrialisasi-globalisasi. Kadar ketidak kepercayaan terhadap arus perubahan yang dibawa serta oleh globalisasi dapat mengambil bentuk sikap yang bermacam macam. Dari bentuk sikap adaptif, yakni suatu sikap yang menyetujui bahwa pandangan manusia terhadap realitas kehidupan memang telah berubah sehingga perlu diadakan adaptasi seperlunya, ada juga sikap yang bersikap denfensif, yakni sikap mempertahankan identitas diri dan memperkokoh konsep konsep lama. Semua sikap terhadap relitas kehidupan trsebut diatas mengandung unsur positif dan negatif tergantung kepada bagaimana membawakannya.
Moral dan Etika Adalah Persoalan Filsafat
Ahmad Mahmud Subhi  mencatat bahwa filsafat moral merupakan cabang filsafat yang paling sedikit mendapatkan perhatian dari para peneliti kebudayaan islam, baik dulu meupun sekarang. Bahkan ibnu khaldun sendiri ketika membuat klasifikasi ilmu pengetahuan tidak menunjukan perhatian khusus terhadap filsafat moral. Moral adalah aturan aturan normatif yang berlaku dalam masyarakat tertentu yang terbatas ruang dan waktu. Sedangkan etika adalah bidang garap filsafat. Berbeda dari etika, yakni filsafat moral, maka akhlak lebih dimaksud kan sebagai suatu paket yang bersifat mengikat, yang harus diterapkan dikehidupan sehari hari seorang muslim. Akhlak atau moralitas yaitu merupakan seperangkat tata nilai yang sudah jadi tanpa dibarengi, bahkan berkesan menghindari studi kritis,


Klasifikasi Hubungan Antara Akal dan Wahyu dalam Etika Ialam
George F. Hourani, seorang pemerhati etika islam membuat lima klasifikasi pemahaman yang menyangkut hubungan antara aql dan naql dalam etika islam.
Pertama, wahyu dan akal bebas (independent reason)
Hubungan antara keduannya dapat dibedakan menjadi dua bagian tekanan yang berbeda.
a)              Wahyu dilengkapi dengan akal pikiran
Pada masa permulaan islam para ahli hukum bersandar kepada al qur’an dan al sunnah jika mereka ingin memberikan pedoman hidup yang jela, kalau keduanya tidak diperoleh pedoman yang jelas mereka bebas menggunakan akal pikuiran. Pendapat ini dipelopori oleh abuhanifah dan sebagian juga imam malik
b)             Akal pikiran dilengkapi dengan wahyu
Ahli ahli teologi (kalam) mu’tazilah melihat wilayah keputusan moral yang umat luas dan berkesimpulan bahwa manusia yang sehat mengatahui dengan akalnya bahwasannya jahat atau buruk untuk menyakiti orang lain (kecuali hal itu diperbuat sebagai hukuman).
Kedua, wahyu dilengkapi oleh akal yang tidak otonom (dependent reason)
Pendapat ini dipengaruhi kalangan mayoritas sunni. Mereka menamakan diri sebagai ahli sunnah. Shifi’i menentang pendapat yang menyatakan bahwa akal pikiran manusia dapat mengambill keputusan hukum, lantaran sifat dasar akal pikiran manusia adalah arbitrer dan selalu gagal untuk membuat hukum benar benar bersifat islamic.
Ketiga, etika hanya berdasar pada wahyu saja
Pendapat ini adalah pendapat etika yang paling klonserfatif yang diajarkan oleh ahmad hambali(wafat 855). Dan juga oleh pengikut aliran zahiri, yakni orang orang yang mempercayai bahwa makna lahiriyah daripada al qur’an-lah yang dapat dipedomani secara konkret.
Keempat, wahyu yang diperluas dengan peran imam
Ini adalah radisi syari’ah. Ada tujuh atau dua belas imam keturunan ali yang dianggap tidak bisa berbuat salah dan mengembangkan tata hukum yang bersifat suci mirip seperti yang ada dalam lingkunganm katolik. Pola pikir ini berlaku di iran. Para pengikutnya memiliki kekuatan emosional yang tinggi, yang dapat dilacak pada peristiwa kematian husein bin ali, imam ke tiga. Revolusi iran beberapa tahun yang lalu juga didorong oleh kekuatan emosi yang tinggi ini.
Kelima, akal adalah lebih dulu daripada wahyu
Pendapat ini di kemukakan oleh para filasuf muslim yang berpengaruh. Al farabi (870-950) adalah filusuf yang paling vokal menyuarakan ini. Arti penggunaan akal  pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama, baik ditinjau dari sudut waktu(temporal)maupun sudut logika.
Etika islam Bersifat Pluralistik-Dialogik
Semangat dialog intern umat islam jauh lebih tampak dari dominasi satu aliran, meskipun dalam praktek kesejarahnnya ada saja kekuasaan politik yang ingin menyeret wilayah dialog tersebut ke tengah arena pertentangan ideologi-politik.
Pemikiran etika ibnu rusdh adalah corak pemikiran etika  menjelang munculnya budaya renaissance di Eropa. Pemikiran ini lebih dikenal dengan istila averroinsme ,cukup banyak mengilhami kebudayaan baru di eropa. Pemikiran ini kurang menarik minat orang muslim ditimur. Campur tangan politik dalam kancah pemikiran keagamaan seperti yang tersimbolkan dalam jargon ideologi politik “al islam: Din wa Daulah” lebih mewarnai kegumulan pemikiran keislaman pada setiap lintasan waktu yang di laluinya.
Menurut hemat penulis, era globalisasi ilmu dan budaya berpengaruh besar dalam sikap keberagamaan manusia kontemporer. Sikap keberagamaan era sekarang tidak dapat menyalin dengan begitu saja sikap dan keberagamaan abad tengah yang notebene pre-scientific.
Bukan subtansi keberagamaan yang peru diperbaharui dan dimodifikasi, tetapi mentodologi pembudayaan subtansi ajaran etika keberagamaanla yang perlu ditinjau ulang.
Untuk itu kesadaran akan historisitas atau kesejahteraan kemanusiaan seorang muslim perlu digaris bawahi agar dimungkinkan perlunya perubahan dan adaptasi adaptasi seperlunya dengan kecepatan arus gelombang industrialisasi dan globaloisasi yang melanda dunia tanpa pandng bulu. Dengan demikian, usaha usaha untuik menjadiQur’anic Etical ideas hidup dalam masyarakat secara luwes dan lapang dada dapat direalisasikan.
ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB PROFESI
ETIKA sebagai objek studi sebenarnya sudah lama sekali diajarkan diberbagai universitas pada jurusan filsafat. Kesadaran akan perlunya etika dalam kaitannya dengan tanggung jawab profesi. Muncul pada abad ke 20 ini, ketika orang semakin sadar bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa berjalan sendiri. Etika disini lebih banyak aspek praxis nya bukan pada aspek teorinya.
Profesi sebagaiu yang tercantum dalam tulisan ini berkaitan erat dengan ilmu pengetahuan. Mengikuti perkembangan yang ada, tanggung jawab profesi yang berdampak sosial-ekonomi dan alam lingkungan memang tidak begitu populer dikalangan ilmua, birokrat, pejabat pembuat kebijaksanaan, bahkan juga sebagian para tokoh masyarakat termasuk sebagian tokoh masyarakat.
Etika agaknya dalam kaitannya dengan tanggung jawab profesi memang jarang atau alah tidak pernah dikuliahkan. Disadari atau tidak dalam paket ilmu yang ada itu, kita digiring untuk Memahami teori. Teori-teori yang bersifat abstrak, esensial, fundamental, objektoif, yang tanpa disadari mengikis kesadaran kita akan pentingnya sejarah, sosial, lingkungan.
Semua nya juga atas dasar landasan untuk menjaga kestabilan politik. Ketika orang miskin menmebangi hutan di india untuk membawa bencana untuk bang ladesh. Bahwa lingkungan yang tercemar disana juga akan mengakibatklan tercemarnya lingkungan disini, juga jauh dari jangkauan pemikiran mereka. Kegagalan demi kegagalan menyadarkan orang bahwa memang ada kesenjangan yang menganga antara teori yang selalu dikejar kejar diperguruan tinggi dan praxis dalam kehidupankeseharian masyarakat luas. Bahkan yang lebih menyedihkan disinyalir oleh sementara pengamat, bahwa ilmu pengetahuan yang objektif dan positif cenderung untuk mempertahankan status-quo dan bukan untuk mengubah nasib sosial dan lingkungan secara global.
Ilmu pengetahuan yang memerlukan berbagai “profesi” itu adalah merupakan anak kandung metode positivisme yang disinyalir untuk mengndahkan “etika”. Dalam gerak dinamika ilmu pengetahuan sampai ilmu pengetahuan sampai sekarang ini orang mulai mempertanyakan efektifitas dan efensiensi metode positivisme baik dalam lingkungan ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu ilmu kemanusiaan.
Hermeneutik adalah pendekatan yang lebih menekankan keterlibatanseorang ilmuan terhadap objek yang di teliti. Understanding dan involvement merupakan ciri khas pendekatan hermeneutik, lebih dipentingkan daripada sikap mengambil jarak dari objek untuk mendapatkan tingkat objektifitas yang semurni murninya.
Kesadaran etika bukanlah miracle yang dapat muncul dengan sendirinya, seperti yang di harapkanoleh para ilmuan sendiri. Penanaman etika, penanaman nilai nilai yang baik, yang memihak kepada kepentingan silemah, yang bernuansa pelestarian lingkungan tidak dapat tergalang kooh dengan semdirinya. Itu adalah tugas budaya manusia yang membentuk dan mengkondisikan.
Ada bebrapa hal yang perlu kita pertimbangkan untuk mengantisipasi perlunya pendekatan pelekatan etika dan ytanggung jawab profesi dalam struktur terpadu ilmu pengetahuan:
1.              Aspek pemihakan sangat menyolok dalam hidup beragama.
2.              Etika dan tanggung jawab profesi agaknya sulit untuk dikawinkan jika pertautan antara teori dan praktik.
3.              Jika point 2 tersebut adalah dalam aspek institusional, maka perlu juga dibarengi dalam aspek ideal. Bentuk kesatuan atau ketidakterpisahan antara teori dan praktik hanya bisa dilestarikan lewat etika agama, yang sejak semula memang mengajarkan para pemeluknya untuk bersikap memihak kepada kaum dhuafa dan alam semesta sebagai rahmat ciptaan Allah.
4.              Hubungan antara metafisik dan etika memang slalu bergoyang terus menerus. Jika berhenti disatu sisi maka, aspek dinamika akan tercerabut dari jantung kehidupan manusia sebagai pribadi maupun sosial.
MORAL DAN ETIKA DALAM BERKEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
Masalah moral dan etika sebenarnya menyangkut persoalan filsafat, sedang filsafat sebagai objek studi kurang begitu populer di tanah air kecuali lingkungan yang terbatas. Kita teringat pidato presiden soeharto beberapa tahun yang silam di universitas gajah mada yang menghimbau sekaligus menugasi fakultas filsafat UGM untuk memberikan masukan masukan berharga dalam upaya mematangkan konsep moral pancasila.
Moral adalah aturan aturan normative yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Aplikasi nilai nilai moral dalam kehidupan sehari hari masyarakat tertentu menjadi bidang kajian antropologi. sedangkan etika adalah bidang garap filsafat. Realitas moral dalam kehidupan masyarakat yang telah terjernihkan lewat studi kritis itulah yang dibidangi oleh etika. Maka moral tidak lain adalah objek material daripada etika. Gejala umum yang tampak sebagai dampak negatif pembangunan antara lain adanya indikasi gaya hidup konsumtif dan ingin cepat kaya, etos kerja yang belom memadai kesetiakawanan sosial dan disiplin nasional yang belom mantap dan lain lain, mncerminkan sikap kepedulian dan sikap mental yang berkaitan erat dengan moral dan etika kelompok masyarakat tertentu, aparat, cendekiawan, yang belum mantab dalam berkehidupan masyarakat berbangsa dan berniaga.
Mengapa Moral dan Etika?
Titik tekan moral adalah aturan aturan normative yang perlu ditanamkan dan dilestarikan secara sengaja baik oleh keluarga , lembaga pendidikan, lembaga lembaga pengajian. Dengan begitu moral adalah suatu aturan atau tata cara hidup yang bersifat normative yang sudah ikut serta bersama kita sering dengan umur yang kita jalani. Seperti kita ketahui bersama bahwa target PJPT I adalah pembangunan manusia seutuhnya. Di sana pengajaran moral sangatdi tentukan, hampir setiap orang berbicara , baik dalam kapasitasnya sebagai intelektual, pejabat pemerintah maupun tokoh tokoh masyarakat selalu terselip muatan pengajaran moral.
Titik Jenuh Pengajaran Moral:
Upaya memperbaiki Metodologi
Pengajaran dan penanaman moral baik dilakukan oleh lembaga lembaga negara atau oleh lembaga lembaga keagamaan yang berjalan secara monoton memang dapat mengantarkan kita pada titik jenuh. Belom lagi ajaran moral itu teraplikasi dalam kehidupan nyata bermasyarakat. Orang sudah merasa jenuh denga ungkapan ungkapan klise baik baik dari orang tua tokoh masyarakat maupun aparat pemerintah. Ada kesan bahwa pengajaran moral yang ada sekarang ini sangat bersifat doktriner, sehingga tidak ,memberi kesempatan dan ruang gerak yang cukup bagi sipenerima untuk mengunyah ajaran ajaran moral tersebut terlebih dahulu secara kritis.
Pengajaran moral seperti yang berjalan seperti sekarang ini bisa dengan mudah berubah menjadi sebuah karikatur. Dalam masyarakat yang sudah semakin kritis seperti sekaranmg ini dan akan bertambah kritis dimasa yang akan datang, sangat boleh jadi pengajaran moral dapat berubah menjadi karikatur. Dalam bahasa agama karikatur bisa disebut dengan istila munafiq, munafiq tidak lain adalah sebuah karikatur masyarakat yang erat kaitannya dengan pengajara moral.
Etika : Upaya Mengurangi Gambar Karikatur
Karikatur adalah sejenis ganbar atau lukisan wajah seseorang yang sengaja dibuat tidak sempurna oleh pencetus sehimgga menimbulkan rasa geli dan secara spontan menimbulkan tertawa bagi penontonnya.
Semua norma norma tidak dapat luput darikajian kritis agar dapat terinternalisasi dalam jiwa sesorang seta mematangkan dan menmdewasakan wawasan berpikir seseorang. Dalam hubungan ini, menurut Alasdair Macyntire bahwa norma dan etika adalah juga sebagai cermin tatacara dan pola pikir suatu masyarakat pendukung nilai nilai dan norma norma tertentu.
Namun patut disayangkan bahwa kajian kritis sering di hindari oleh siapa saja, termasuk diri kita sendiri, karena adanya pra-anggapan yang sudah terlanjur tertanam kuat dalam masyarakat bahwa :
Pertama, kajian kritis akan menipiskan kadar moralitas seseorang
Kedua, kajian kritis terhadap moralitas yang berlaku dalam masyarakat akan mengganggu stabilitas kehidupan bermasyarakat , bernegara dan berbangsa. Dalam kajiamn moral yang kritis, yakni kajian etika, tidak ada kesan mengurungi  disitu, karena ada proses take and give. Hal ini diperkuat kenyataan bahwa dalam hal moralitas masyarakat manapun sudah paham mana yang ma’ruf dan mana yang munkar .
Dengan model pendektan manusiawi setidaknya kesan karikaturis diatas akan terkurangi, meskipun tidak dapat sepenuhnya hilang lantaran masyarakat sudah begitu cepat berkembang , lebih proses asimilasi dan akulturasi budaya, sentuhan arus informasi dan globalisasi dunia yang begitu cepat.
Aspek Theory dan Praxis dalam Moralitas
untuk membangun sistem moral bangsa dan disiplin nasional yang tangguh, rasanya memang tidak ada resep mujarab yang bersifat instan. Penegakan disiplin nasional yang kuat berdasarkan nilai nilai pancasila membutuhkan waktu yang cukup lama, lantaran banyak faktor yang terkait. Tapi tidak ada alasan untuk tidak memulainya.
Ada dua upaya yang tidak dapat terpisahkan dalam membina persatuan dan kesatuan bangsa indonesia dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara secara sistematik, komprehensif dan integralistik lewat jalur moral etika yaitu perpaduan antara aspek kajian theory dan aspek aksi (praxis)
Aspek pertama yakni aspek kajian meliputi dua sisi yaitu:
a)              Sisi metodologi
Disini kita perlu mengaji ulamh norma norma yang ada, memperbaiki sistem dan metode penyampaian nya yang dulunya hanya bersifat doktriner sehingga membentuk manusia bertipe yes-man menjadi bersifat dialog-terbuka.
b)             Sisi subtansi
Kejian etika yang bersifat kritis terhadap pendangan pandangan moral dan nilai nilai yang diugemi oleh masyarakat.
Aspek kedua adalah praxis atau contoh perilaku dan tindakan nyata.  Aspek keteladanan (uswatun hasanah) juga sangat berarti dalam memperkokoh ketahanan mental suatu bangsa.
Tijauan kritis etika (aspek teori) memang harus berujunga pada aspej praxis (aksi nyata) yang tercermin dalam bentuk tanggung jawab hidup baik dan bersih.


DIMENSI ETIS-TEOLOGIS DAN ETIS-ANTROPOLOGIS DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
Para pemimpin politik dunia berkembang merugikan kemauan baik negara maju ketika baru baru ini dunia maju mengajukan persyaratan perlunya pengkaitan dana bantuan luar negeri dengan isu lingkungan hidup dan pelstarian lingkungan.
Ironisnya pada saat dunia telah menikmati hasil revolusi industri dan sudah pula merasakan pahit getirnya dampak negatif era industrialisasi tehadap lngkungan hidup , maka mereka menghimbau perlunya pembangunan berwawasan lingkungan.
Masalah limgkungan hidup adalah masalah global dunia. Namun anehnya begitu isu lingkungan hidup ditarik ke permukaan, laju tingkat pencemaran udara dan air bukannya berkurang melainkan malah bertambah tambah seperti kebakaran hutan semakin merajalela.
Dimensi etis hampi slalu ditempatkan pada sisi yang kurang menguntungkan karena dianggap sebagai faktor penghambat saja. Dalam kerangka itu kita perlu menghargai upaya seminar lingkungan hidup yang menempatkan dimensi etis dalam salah satu topik bahasanya.
Dimensi Etis-Theologis: Pengalaman Islam
Jika kita membaca kitab suci Al-Qur’an dengan teliti, kita akan mendapatkan pandangan dasar yang sangat mencolok bahwa al-qur an tidak semata mata berbicara tentang hal hal yang bersifat metafisis-eskatologis, tetapi dia juga berbicara tentang alam semesta yang dihuni oleh manusia serta makhluk-makhluk lain sekarang ini. Jika kitab injilmementingkan aspek tuhan sebagai sebagai redeemer (penebus dosa). Al-qur’an menekankan tuhan sebagai khaliq atau pencipta alam semesta.
Dalam teologi islam, perdebatan tentang hakekat penciptaan alam semesta inilah yang lebih mewarnai pergumulan pemikiran saat itu bukan pada persoalan persoalan metafisis-eskatologis karena sudah dianggap mapan sejak permulaan kenabian Nabi Muhammad.
Suatu hal yang jelas bahwa Al-qur’an secara eksplisit memberi porsi yang lebih dari cukup pada persoalan alam semesta, para pakar menyebut dengan lingkungan alam hidup. Salah satu yang meneliti tentang hal tersebut adalah Dr. Maurice Bucaille. Kekuatan al quran sebagai  mukjizat lebih terletak pada aspek makna kandungan futurologinya. Dapat dibayangkan bahwa ketika al qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad 14 abad yang lalu, dia sudah berbicara tentang daur ulang lingkungan hidup yang sehat lewat angin, gumapalan awan, air, hewan, tumbuh tumbuhan, proses penyerbukan bunga, buah buahan yang saling terkait dalam satu kesatuan ekosistem.
dalam kehidupan seorang muslim, Al-qur’an memang sebagai sumber inspirasi utama serta pedoman hidup. Ini tergambar dengan jelas, setidaknya dalam forum forum mimbar agama islam. Ketika prof. Dr. Emil Salim, menteri lingkungan hidup. Beliau hampir tidak pernah menyebut pendapat teologi muslim. Beliau selalu ayat ayat al qur’an yang memang secara eksplisit menjelaskan betapa perlunya perlunya menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Kita kutip beberapa ayat al-qur’an yang berkaitan dengan advokasi pelestarian lingkungan hidup:
Pertama, Alam sementara di ciptakan bukannya tanpa tujuan:
“sesungguhnya dalam perciptaan langit dan bumi, dan silih bergantiannya malam dan siang terdapat tanda tanda bagi orang orang berakal, yaitu orang orang yang mengingat allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya) mereka berkata: ya tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan ini dengan sia sia mahasuci engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.”(3:100-101).
Kedua, menghindari pengrusakan dibumi dan menjaga keseimbangan alam.
“ dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan allah kepadamu dan jangan lah kamu berbust kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang orang yang berbuat kerusakan.”(Al-Qashash:77)
Menurut teologi islam, begitu juga menurut kepercayaan agama agama lain pembangunan yang dilakukan oleh manusia sebenarnya tidak melulu pembangunan material-ekonomi. Pembangunan perlu benrmuatan nilai (value loaded), dimana salah satunya adalah nilai kesadaran yang memihak perlunya menjaga islam lingkungan. Jika kita memasuki dataran pembicaraan ini, sebenarnya kita telah beralih pada persoalan antara idea dan realita . menurut hemat penulis disinki kita telah memasuki wilayah eti-antropologis. Secara idiil, dimensi etispologi qur’anis telah memberikan  bekal yang cukup berharga kepada umat manusia tentang  bagaimana aturannya mereka berperilaku santun terhadap alam lingkungan untuk mencapai pembangunan yang berwawasan lingkungan. Adapun persoalan yang mencangkut dimensi etis-antropologis masih banyak kendala yang bersifat manusiawi, yang terhambat terealisasinya ide ide dasar al qur’an.
Dimensi Etis-Antropologis:Upaya mengurangi Jurang Pemisah
Ibarat sebuah deklarasi undang undang kemerdekaan suatu bangsa maka untuk mengamankan kelangsungan hidup dan kedaulatannya diperlukan seperangkat alat penunjang untuk mencapai cita cita yang termuat dalam deklarasi tersebut. Para ahli etika sepakat bahwa mempertarukan antara ideadan realita yang biasa lebih dikenal dengan hubungan antara ought dan is tidaklah semudah yang kita kira.ilmuan, industriawan, pengusaha, politikus, dan rakyat awam sebenarnya tidak dapat menghindarkan diri dari keterlibatannya dengan persoalan etika. Etika sebanarnya bukan hanya sekedar larangan laragangan normative, tapi lebih mengutamakan puncak akumulasi kemampuan operasional intelegensia seseorang. Di sinilah peran intelegensia sesorang perlu berperan penting.oleh karena masalah lingkungan hidup adalah masih sangat baru, maka pengetahuan dan kesadaran akan lingkungan perlu dibudayakan lewat berbagai media cetak, visual dan media media yang lain.
EKONOMI DAN EKOLOGI DALAM PERSPEKTIF SEORANG MUSLIM
“Vicious circle”Antara Ekonomi dan Ekologi
Dalam hal keterkaitan antara ekonomidan ekologi, setidaknya ada dua bentuk tekanan kuat yang dirasakan menghimpit masyarakat dunia sedang berkembang. Pertama, bersifat eksternal, yakni himpitan yang datang dari negara negara industri maju yang hendak mempertahankan dominasi dan supermasi kekuatan ekonomi dan tingkat standar hidup yang selama ini telah mereka nukmati. Kedua, bersifat internal, yakni himpitan yang datang dari dalam negeri sendiri.
Negara-negara industri maju yang telah merasakan pengalaman pahit yang ditimbulkan dari era industrialisasi juga mengambil langkah barudengan memasyarakatkan adanya serrifikat bersih lingkungan untuk dapat menerima produk dari negara negara berkembang. Selain itu, pola atau standar hidup konsumtif di negara negara maju ternyata dampak negatifnya tidak dapat dilokalisir dalam wilayah negara negara industri maju saja. Tetapi juga membawa dampak lingkungan di negara negara berkembang sehingga kini hanya dianggap sebagai pemasokan bahan baku atau bahan mentah untuk negara negara industri maju.
Belom lagi vicious circle (lingkaran sebab akibat) ini terselesaikan dengan baik. Saat ini negara negara berkembang pun mulai disibukan dengan membanjirnya kiriman “limbah industri beracun” uang dimuntahkan dari industri negara negara maju. Pengiriman limbah beracun adalah merupaka pelanggaran etika hubungan internasional, sekaligus mencerminkan kekuatan hukum rimba “survival for the fittest”.
Hukum Ekonomi yang Pnatang Menyerah
Pola ketergantungan dunia berkembang terhadap dunia industri majuagaknya sulit dikembangkan menjadi pola “interdependence” dalam arti yang sesungguhnya. Lemahnya bergaining position (posisi tawar menawar) dan lemah nya SDM di negara negara berkembang belum memungkinkan mereka memasuki era baru, yang biasa disebut sebut dengan era “interdependence”.mekanisme pasar danpasar bebas adalah hukum ekonomi yang tidak boleh diubah ubah. Hukum itu begitu saklarnya sehingga menjadi mitos yang didewa dewakan oleh hampir semua yang berkepentingan. Jika hukum ekonomi macam ini yang dipertahankan agaknya sulit dibayangkan kemungkinan munculnya shitting paradigm dalam wilayah keterkaitan antara ekonomi dan ekologi. Dalam diskursus filsafatilmu era pospositivesme slalu dipertanyakan adakah hukum alam atau hukum sosial dapat di modifikasikan dan direkayasa sedemikian rupa hingga hukum alam atau hukum sosial bisa lebih diarahkan kepada hal yang bersifat lebih positif dan lebih manusiawi.
Mempertimbangkan Kembali Peran dan Sumbangan Agama
Untuk mengurangi krisis global seperti tergambar diatas, beberapa budayawan dan pengamat sosial menaruh harapan untuk bangkitnya peran agama agama. Paling tidak seorang cendekiawan indonesia Dr. Soedjatmoko, mantan rektor Universitas PBB di teradap  tokyo, Jepang. Pernah menaruh harapn adanya peran yang dapat dimainkan oleh agama agama. Berbeda dari warna dan corak kritik terhadapmodernitas yang akhir akhir ini banyak dilontarkan oleh berbagai kelompok studi, yang seringkali hanya terbatas atau terhenti pada aspek kognitif konseptual. Upaya untuk menyatukan pemikiran dan perbuatan adalah merupakan problem yang begitu mendasar dalam diskursus filsafat kontomporer. Namun demikian bersama sama munculnya optimisme dan harapan yang kuat terhadap peran yang dapat diperankan oleh penganut agama agama dalam era modernitas, manusia beragama pada umumnya juga tidak dapat menutp mata adanya musibah yang selalu menimpa pengikut agama agama, terutama dalam hubungannya dengan persoalan kelembagaan agama yang terkait langsung dengan kepentingan politik, ekonomi dan sosial budaya.
Mematahkan dominasi hukum ekonomi dan mekanisme pasar yang tidak sehat dan represif bukanlah tuigas yang mudah. Diperlukan kerja dan usaha kolektif antar berbagai penganut agama agama untuk mengarahkan gerak laju mekanisme pasar yang semula destreuktif-repressif ke araeh tujuan yang lebih konstruktif usaha usaha perbaikan taraf hidup rakyat miskin dan terhadap usaha usaha pelestarian a;lam lingkungan.
Sumbngan Teologi Islam :
Mengambil Jarak dari Rutinitas Hukum Ekonomi
Hampir seluruh dunia muslin mengalami era penjajahan selama lebih dari 100, 200 bahklan 300 tahun . tradisi islam masih tetap terpelihara utuh,  seperti belum terpengaruhi oleh kolonialisme maupun imperialisme yang begitu memilukan. Keberagamandan keimanan islam hampir hampir tidak terpengaruh oleh arus modernitas. Ibadah formal atau ibadah mahdlah , baik yang disebut salat,  zakat maupun puasa dan lasin lain, sebenarnya terkandung makna yang amat mendasar yakni pengambilanm jarak dari proses berlakunya hukum alam (proses sakralisi). Sebuah rutinitas jadwal ke hidupan yang permanen, standar, mapan, status quo, tanpa altrnatif. Bentuk jadwal kehidupan yang bersifat membelenggu demikianlah yang hendak dilihat kembali secara kritis oleh keberagamaan islam. Sustainable development, menurut sudut pandangan ajaran agama islam, tidak bisa tidak perlu dibarengi muatan spiritualitas keberagamaan seperti itu, agaknya sustainable development akan segera terdominasi dan terkooptasi oleh kekuatan hukum alam dan hukum ekonomi yang mempunyai logika kepentingan sendiri. Semboyan sustainable development yang semata mata bersifat historis empiris tanpa dimuati arus yang berkekuatan transendental profetik sufistik, akan hanya menjadi simbol atau jargon yang miskin motivasi untuk melangkah diluar kaidah hukum ekonomi yang biasa berlaku.

Islam Outentik
Sikap dan pandangan hidup keberagamaanyang outentik, bersifat profetis transformatif, justru harus mengambil bentuk tindakan praktis dalam wujud pengendalian dan pengontrolan perjalanan dan lika liku hukum alam dan hukum ekonom itu sendiri. Manusialah yang aturannya mengkooptasi hukum ekonomi untuk kepentingan “sustainable development” maupun untuk kesejahteraan masyarakat secara lebih adil. Umat islam dengan tradisi keberagamaannya yang masih kokoh, telah terlatih untuk selalu mengambil kjarak dari belenggu rutinitas perjalanan kehidupan material sehari hari. Jika keberagamaan tidak mampu mengambil jarak dan mencari alternatif dan hanya tunduk menyerah pada mekanisme hukum alam, huikum sejarah atau hukum ekonomi, maka sulit diharapkan akan muncul sumbangan yang cukup berbobot yang dapat diberikan dari para cendekiawan agama.
ASPEK AGAMA ISLAM DALAM ANALISIS  MENGENAI DAMPAK LINGKUNGA
AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ), sebenarnya ,  tidak hanya terkait dan terbatas pada analisis lingkungan yang bersifat geofisika-kimiawi. Adapun aspek AMDAL yang terkait dengan aspek internal-batiniah, dan tata nilai belum cukup tercover oleh analisis yang hanya menekankan aspek eksternal-lahiriah. Di sini AMDAL ,sesungguhnya sangat membutuhkan dan , berkepentingan dengan hasil-hasil telah sosial-budaya dan hasil-hasil penelitian keagamaan tentang sikap hidup manusia beragama dalam era perubahan sosial yang begitu cepat, yang di akibatkan oleh era industri modern.
LIMBAH INDUSTRI: Sebuah Pengalaman Baru
Limbah B3 tersebut di impor dari negara-negara industri maju yang telah kewalahan menyimpan dan menampung limbah industri  di negri  mereka sendiri. Dari kasus ini dapat dipahami betapa jauhnya jarak antara impact atau dampak yang diakibatkan oleh produk yang dihasilkan dari science dan teknologi , yang sebagiannya bekunjung pada penghancuran dan perusakan alam lingkungan , dan analisis sosial-budaya yang berfokus pada pembahasan “ kesadaran ” manusia secara individual di satu pihak , dan betapa jauhnya jarak antara “kesadaran“ akan perlunya pelestarian alam lingkungan antara masyarakat dunia industri maju dan dunia berkembang, di lain pihak. Selama ini , jika dicermati secara seksama, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL ), biasahnya memang baru terbatas dan berfokus pada perhitungan-perhitungan jelimet-rinci—untuk orang awam khususnya—dari sudut analisis geofisika kimiawi. Ada anggapan bahwa AMDAL adalah urusan orang gedean , urusan pengusaha besar, industriawan, konglomrat , pemerintahan, c.q. KLH, mungkin juga sabagai LMS-LMS. Analisis-analisis dampak  lingkunga yang terkait dengan rumus-rumus geofisika kimiawi, pada kenyataannya memang sangat membantu manusia untuk membangkitkan rasa keingintauan manusia tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di planet bumi ini. Ekolebeling mungkin sekali berkali berlaku bagi produk-produk untuk kepentingan ekspor ke luar negri, supaya dapat diterima oleh negara-negara industri maju.
Life Style dan standar Hidup sebagai Ancaman Lingkungan
Persoalan sosial-budaya yang erat berkait dengan era teknologi industri adalah pergeseran pola konsumsi , gaya hidup (life style)  , standar hidup umat manusia di muka bumi. Budaya  konsumerisme dan materialisme adalah salah satu fenomena budaya “ baru” yang berkait langsung dengan era industrialisasi dan globalisasi ekonomi. Manusia era “ pembangunan ” sering mengkaitkan life style dan standar hidup dengan pakaian , kendaraan,perumahan , makan , minuman , energi, perabotan rumah tangga , reklasi dan status sosial. Selain itu , perlu juga segera di teliti dan ditelah sejauh mana budaya konsumsi-materialisasi tersebut terkait dengan industri periklanan baik lewat media elektronik maupun media massa.Faktor kedua ini juga merupakan mata rintai yang seharusnya tidak terpisahkan antara AMDAL lewat telah geofisika kimiawi dan AMDAL lewat telah aspek sosio-kultum.Sikap hidup , cara berfikir ,dan tingkah laku ,dan perilaku manusia era pra-industri , yakin mentalitas agraris , yang lebih menekankan kesederhanaan , ketulusan , sak madya,keiklasan,gotong royong,kelembutan,kehangatan,telahberubah wajah seluruhnya.Ketiadaan dan kefakuman analisis sosial-budaya yang mendalam dalam bangunan utuh AMDAL , menurut hemat penulis, justru akan menambah porak porandanya tatanan kehidupan sosial dan alam lingkungan.Memang para ilmuan sosial-budaya seringkali terlalu setia pada tugasnya yang hanya terbatas pada upaya menjelaskan fenomena sosial kemasyarakatan yang terjadi, tanpa harus berpihak.Bermula dan berangkat dari keprihatinan yang mendalam terhadap alam lingkungan dalam kaitannya dengan analisasi sosial-budaya , penulis akan melangkah untuk memasuki analisis dampak lingkungan dari aspek agama. Dalam level analisis, pelaksanaan dan implementasi ajaran-ajaran agama yang fundamental dalam masyarakat luas tidak lain dan tidak bukan adalah juga merupakan sistem kebudayaan.Namun aplikasi dan implementasi ajaran-ajaran agama yang bersifat normatif , baik dalam dataran psikologi dan sosiologi, tidak lain dan tidak bukan adalah juga kebungan dengan itu , penulis sengaja berbicara panjang lebar terlebih dahulu tentang aspek sosial budaya dalam AMDAL sebelum memasuki aspek keagamaan itu sendiri.
Mencoba Mengarpesisi Aspek Keagamaan dalam AMDAL
Menurut penulis, upaya mensosialisasikan dan memblow upnilai-nilai baru dan pemupukan sikap “pengambilan jarak” dari dominasi rutinitas perjalanan hukum pasar erat terkalit dengan nilai-nilai etika agama sangat fundalmental.Pemikiran keagamaan yang ada ,sebenarnya ,juga tidak begitu trasparan dalam hal yang terkait dengan lingkungan hidup.terdapat beberapa dimensi keberagamaan yang sering kali tidak kita sadari.Ada aspek fikih(hukum,syari’at), ada aspek Aqiqah(Kalam , Teologi)dan aspek Tasawuf(Dimensi batiniah dan nilai-nilai fundamental). Idealnya , ketiga dimensi keagamaan islam tersebut ada dan menyatu pada dalam kepribadian seorang Muslim.Munurut telah penulis, yang masih perlu diuji lebih lanjut dalam forum”community of researchers ”, dari tiga aspek atau dimensi keberagamaan islam hanya aspek TASAWUF yang lebih kondutif dan mempunyai banyak peluang untuk di kembangkan dan diapresiasi kembali untuk dapat disikronkan dengan tatanan zaman era indrustrialilasi yang sangat berbelenggu oleh pola hidup konsumtif-meterialitis.Perilaku manusia beragama yang berwawasan ketasawufan, yakni nilai-nilai menggerakan manusia untuk dapat mengambil jarak dan meyeleksi pola hidup konsumsif eraindustri modern inilah yang sebenarnya ingin penulis garisbahahi untuk dikaji ulang.
BAGIAN KE EMPAT
AL-QUR’AN DAN TANTANGAN MODERNITAS Tinjauan pergeseranparadigma pemahaman Al-Qur’an
Pemahaman Al-Qur’an
Setidaknya ada dua perhatian dan keprihatinan umat islam dewasa ini tentang bagaimana memahami Al-Qur’an. Pertama, bagaimana kita dapat memehami ajaran al-qur’an yang bersifat universal .kedua, bahgaiamana sebenarnya konsepsi dasar al quran dalam menanggulangi ekses ekses negative dari deru roda perubahan sosial pada era modernitas seperti pada saat ini.
Secara psikologis istilahtantangan sebenarnya juga kurang tepat. Istilah itu mengandung konotasi seolah olah Al-Qur’an sudah kehilangan pamor dalam mengantisipasi dan memberi terapi terhadap persoalan persoalan modernitas. Mengkaji pemahaman orang terhadap Al-Qur’an adalah termasuk pada level pertama diatas.kajian empiris dengan nuansa historisitas manusia akan memperlihatkan bangunan pola pikit manusia dalam memahami al qur’an pada kurun waktu tertetu. Prinsip dasar dan misi utma al-qur’an sebenarnya tetep sama seperti sediakala, seperti ketika ia diturunkan kepada nabi Muhammad SAW.
Mengingat bahwa peran muslim dalam ilmu pengatahuan dan teknologi , kehidupan ekonomi dan sosial yang lain pada abad modern pra modern bahkan sejak dari abad tengah selalu merosot dan tidak kompetetif dengan umat lain, maka agaknya pembicaraan pada level kedua adalah penting, tanpa meniadakan perlunya pembahasan pada level yang pertama diatas. Pola kajian tingkat dua bersifat empiris.
Pendekatan kontekstual bukannya akan mengurangi kewibawaan al qur’an tetapi malah akan memperkokoh misi dakwah islamiyah, mempermudah mencermati kandungan makna spiritual dan etika al qur’an dengan pendekatan empiris kontekstual, kita akan dapat memperoleh masukan pada sisi mana pola pikir manusia manusia muslim yang kurang seirama dengan nuansa al qur’an karena tuntutan sejarah yang selalu menggitarinya.
Al-Qur’an dan Patologi sosial Era Modern
Perubahan tata nilai yang lama ke tata nilai yang baru bukannya perkara yang mudah. Dengan berbagai cara Nabi Muhammad menawarkan dan menanamkan tata nilai baru tersebut dengan penuh simpati, penuh santun tanpa kekerasan. Berlandas grand theory al qur an seperti itu secara pelan pelan tetapi pasti, terjadilah pergeseran tatnilai yang mendasyat saat itu. Tata nilai dan pedoman al quran begitu perspektif, imoerative dan fungsional dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.
Patologi sosial dan tata nilai yang tidak fitri akan saja selalu terjadi kapan dan di mana saja. Masalah tata nilai adalah masalah kehidupan umat manusia yang bersifat perennial dalam arti tidak pernah kunjung selesai.
Dalam dunia modern seperti yang kita alami sekarang ini, apa yang disebut patologi sosial dan individual sudah sedemikian merambahnya. Dengan munculnya media cetak, elektronik dan peralatan komunikasi yang canggih maka nyaris batas batas tradisional antarnegara dan kebudayaan tidak berlaku lagi. Dengan adanya perubahan sosial yang begitu cepat maka cara berbikir orang sekarang juga ikut berubah dengan cepat. Perlu dipikirkan bagaimana sarana dan media dakwah yang cukup representatif untuk tawar menawar budaya untuk era sekarang ini. Jika generasi muda muslim dan lembaga dakwah kampus tidak ikut memeikirkan ini dan hanyut puas dengan media tradisional maka jangan jangan gap anatara norma dan realitas semakin jauh.

Kajian Empiris Terhadap Alam dan Realitas Sosial
Dalam menanggapi kemunduran umat islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, dikatakan bahwa umat islam belum beramal sesuai dengan sunnatullah. Sunnatullah yang tidak diwahyukan tidak melibatkan manusia didalam proses berlakunya. Artinya kemerdekaan manusia tidak bisa mempengaruhi berlakunya hukun itu.
Mengingat bahwa cakupan Al-qur’an adalah multidimensional dalam arti bahwa al-qur’an adalah hudan li an-nas maka kita tidak dapat hanyamembatasi al-qur’an pada dimensi teologinya saja. Hanya dengan penggabungan anatar pendekatan normatif dan pendekatan empiris maka gerbang pintu masuk ke arah pemahaman kontekstual dapat mulai terbuka. Menurut hemat penulis, ijtihat intelektual untuk menggabungkan pendekatan yang normatif dan empiris adalah merupakan salah satu tantangan al-qur’an terhadap dunia modernitas.
ALUMNI PONDOK MODERN GONTOR SEBAGAI PEREKAT UMAT: PERANAN DAN TANTANGAN
“BERDIRI DI ATAS DAN UNTUK SEMUA GOLONGAN” merupakan salah satu nilai ajaran pokok pesantren Gontor yang agaknya, memang tidak boleh terlupakan begitu saja oleh para alumninya. Di lingkungan pesantren Gontor sendiri, nilai tersebut telah di praktik kan dalam kehidupan sehari hari di lingkungan pesantren dan telah pula didukung oleh sistem pengajaran ilmu fiqih kepada santri santri dengN MENGGUNAKAN KITAB BIDAYAH AL-Mujtahid karya ibn rushd sebagai acuan pokoknya.
Ketika para santri keluar meninggalkan kompleks pesantren dan bergabung kembali dengan masyarakat luas ternyata mereka harus dihadapkan pada beberapa pilihan yang sulit untuk dihindarkan sama sekali. Diantara pilihan yang dimaksud antara lain : (a) para alumni tetap berpegang teguh pada prinsip prinsip nilai ajaran pendidikan Gontor dengan cara mengambil sikap netral, (b)melupakan begitu saja nilai nilai yang pernah mereka kenal di Gontor. Dengan begitu setelah meninggalkan kampus Gontor dan berkecimbung dalam masyarakat menjadi aktivis organisasi islam yang masing masing telah tersekat sekat oleh AD dan ART nya sendiri sendiri. Para alumni tetap saja membawa misi yang lebih mencerminkan ‘berdiri diatas dan untuk semua golongan’, dalam fungsinya sebagai perekat umat.
Kenyataan Sisio-Historis Masyarakat Islam Indonesia: tantangan para alumni
Dalam kesadaran intern umat islamn label islam agaknya masih dilihat secara umum, sehingga belum memberi makna sosiologi dalam kehidupan bermasyarkat secar luas. Meskipun kenyataan demikian  tidak selalu diharapkan  oleh semua pihak namun demikianlah kenyataan sosiologi ditanah air . dalam era pre-kemerdekaan organisasi islam justru ikut memberikan andil yang begitu besar dalam menyulut obor nasionalisme yang berakhir dengan tercapainya kemerdekaan indonesia dari belenggu penjajah. Organisasi islam yang muncul sebelum kemerdekaan dan masih hidup berkembang hingga saat ini adalah serikat islam (1911), muhammadiyah (1912), sumatra tawalib (1918), persis(persatuan islam)(1920), nahdatul ulama(1926), Al-irsyad dan lain lain.
Setelah era kemerdekaan jumlah organisasi islam tersebut bukannya semakin menyusut tetapi justru semakin bertambah dan berkembang baik.
Memahami Esensi Organisasi : peluang para alumni
Secara empiris kita semua maklum adanya plus minus sikap yang terbentuk oleh kegiatan berorganisasi. Salah satu tujuan terbentuknya suatu organisasi adalah untuk menghimpun kekuatan  yang dulunya berserakan tak terarah untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam proses terhimpunnya suatu cita cita dan aspirasi maka proses meniadakan terhadap golongan lain yang tidak secita ccita dan seaspirasi adalah tidah bisa terhindarkan eksklusivitas”merupakan ciri yang tidak terhindarkan dari sikap para aktivis organisasi tertentu. Kristalisasi ide, cita cita serta program yang berujung pada pembentukan sikap eksklusif adalah suatu proses melekat dalam setiap organisasi lebih lebih organisasi keagamaan yang sering kali ditopang oleh berbagai argumen dalil dalil keagamaan, baik yang menyangkut teologi, fiqih, tasawuf, hadits dan lain segalanya.para aktifis yang baik memang harus bersifat fanatik terhadap organisasi yang dipimpinnya, dia harus terikat secara utuh dalam organissi yang dipimpinnya.
Makna “Berdiri di Atas dan untuk Semua Golongan”
Tulisan di atas encoba menggambarkan sisi positif dan sisi negtif dari sikap orang yang memasuki sebuah organisasi.yang jelas dan tampak ada ketegangan antara keduanya. Tention yang sama sekali tidak dapat dihindari,namun bagaimana mengubah ketegangan tersebut menjadi ketegangan yang bersifat kreatif adalah merupakan seni tersendiri.
Semboyan berdiri diatas dan untuk semua golongan yang bersifat normatif, hanya dapat dinikmati setelah teruji secara empiris sosiologis jika para alumni berbuat sesuatu dalam tubuh organisasi tertentu demi kepentingan kemanusiaan universal.
Bebeara Usulan ke Arah Sosialisasi Ide Kepekatan Umat
Dengan mempertimbangan dasar pemikiran tersebut diatas, maka untuk merealisasikan tugas keperekatan umat, maka perlu dipertimbangkan sebagai upaya kerja sama antar lintas organisasi tertentu, sebagai berikut:
Pertama, membudayakan dan membudidayakan kerja sama antarberbagai organisasi sosial kemasyarakatan islam
Kedua, pendekatan keilmuan
Ketiga, terobosan terobosan dalam bidang ekonomi-bisnis.
Keempat, terobosan terobosan lain yang lebih spesifik, sesuai dengan tuntutan dan tantangan berbagai daerah yang beraneka ragam ditanah air.
Kelima, mengusulkan kepada IKPM pusat untuk menerbitkan himpunan catatan dan tulisan yang berharga dari para cerdik cendekiawan dan para praktisi dilapangan yang mempunyai ciri ciri dan fungsi keperekatan umat untuk dapat dikaji bersama secara luas dimasyarakat.
MUHAMMADIYAH DAN NU:
REORIENTASI PEMIKIRAN KEISLAMAN
MENURUT pengamatan Prof.Mukti Ali, salah satu ciri masyarakat islam modern di indonesia adalah berdirinya organisasi organisasi islam seperti serekat dagang islam (1909), muhammadiyah(1912), NU (1926), tawalib(1918). Organisasi islam mempunyai dua proyek besar yaitu pertama, pembentukan dan penyempurnaan tauhid,kedua mencapai kemerdekaan.
Pergeseran Nuansa Pemikiran Keagamaan
Dalam era globalisasi ilmu dan budaya hampir semua sendi-sendi kehidupan manusia mengalami perubahan yang sangat dahsyat. Institusi sosial-kemsyarakatan instuti kenegaraan, instuti keluarga, bahkan tak terkecuali instuti keagamaan tidak luput dari arus globalisasi ilmu dan budaya. Pada saat yang sama pengetahuan manusia tentang realitas dunia jagat raya baik yang menyangkut dunia fisik, kosmologi juga berkembang pesat sesuai dengan tingkah laku pertumbuhan dan perkembangan laboratorium ilmu pengetahuan baik dalam bidang astronomi, biologi, bioteknologi, dll. Perubahan tingkat pertumbuhan perekonomian suatu bangsa juga ikut merubah cara pandang terhadap realitas dunia. Dalam pada itu, mustahil rasanya jika corak dan nuansa pemikiran keagamaan dan keislaman tidak ikut ikut berubah seirama dengan arus perubahan yang terjadi.
Dimensi Keberagamaan Manusia: Amalan dan Pemikiran
Mengingat perubahan pola pikir manusia era industrialisasi dan semakin transparan sekat sekat agama budaya, menurut hemat penulis, sudah tiba saat nya umat beragama mengembangkan dan memekarkan dua bentuk pendekatan dan pemahaman terhadap keberagaan manusia, yaitu pendekatan historian. Untuk era globalisasi budaya seperti sekarang ini pendekatan keagaam yang hanya terbatas pada dimensi keimanan tanpa melibatkan dalog dialog pemikiran yang bersifat historis, terbuka, egaliter, dan dmokratis agaknya memang tidak bisa tidak akan kecuali akan membentuk pola pikir yang bersifat eksklusif yang hanya berlaku dalam wilayah lingkungan intern yang amat terbatas.
Hubungan Antara “Bahasa-Pemikiran-Sejarah”
Hubungan antara ketiganya yaitu bahasa-pemikiran-sejarah adalah bentuk circural dan bukannya linear, dalam arti bahwa bahasa yang digunakan manusia mencerminkan pola pikir sekaligus historisitas yang melingkarinya. Demikian pula halnya pola pikir yang biasa digunakan oleh suatu kelompok masyarakat, sekaligus mencerminkan tingkat pengalaman historisitas dan sofistikasi pemikiran yang dimiliknya.
Reorientasi Pemikiran Lewat Pendekatan Kilmuan dan Keagamaan
Tanpa harus ditutup tutup i, pengaruh ilmu dan teknologi abad modern adalah sangat menghunjam dalam wilayah pemikiran islam. Terdesak oleh tuntutan ilmu dan teknologi modern, muhammadiyah dalam sejarah perjuangannya bahkan pernak mengambil langkah yang sangat berani untuk ukuran saat itu dengan cara mengambil alih metode pendidikan sekolah ala barat. Tapi, dilihat dari kacamata sekarang, apa yang diambil alih oleh muhammadiyah hanyalah aspek ilmu dan teknologinya, yakni terbatas pada appliedscience saja. Padahal dibalik ilmu danteknologi rersebut terdapat bangunan falsafah yang melatarbelakangi bangunan teknologi tersebut.
Reorientasi pemikiran keislaman, menurut hemat penulis baru akan tercapai dan hanya bisa terbentuk jika dilakukan lewat kritik epistemologi pemikiran keislaman klasik-skolastik melalui studi empiris terhadap fenomena keberagamaan manusia secara universal dan studi filosofis terhadap arus pemikiran filsafah kontemporer. Hanya lewat keduanya rancang bangun epistemologi keislaman kontemporer yang termuati baik dengan ajaran keagamaan yang qur’anis maupun oleh budaya ilmu dan teknologi kontemporer.
PANGGILAN NABI IBRAHIM AJARAN TAUHID YANG BERWAWASAN SOSIAL
Dedikasi dan pengorbanan seorang nabi yang dijadikan teladan oleh umat yahudi, nasrani dan lebih lebih umat islam, yaitu nabi Ibrahim As dan puteranya Ismail AS. Nabi Ibrahim berjuang untuk menjadikan agama tauhid agam,a yang hanif agama yang lurus-autentik, sebagai pedoman hidupbagi kehidupan manusia dimuka bumi. Suatu perjuangan yang maha berat di tengah tengah masyarakat polytheist yang materialist.
Perspektif sejarah
Idul qurban dalam hubungannya dengan jaran tauhid yang diajarkan oleh nabi ibrahim dakutnya. Seperti n diteruskan oleh nabi-nabi berikutnya. Seperti diungkapkan diatas, baik agama yahudi , kristen maupun agama islam semuanya mengklaim bahwa ibrahim adalah tokoh panutan mereka, baik taurat mapun injil dan kitab suci mereka juga menyebut nyebut nabi ibrahim.
Dua dimensi keberagaan manusia muslim tidak bisa dipisahkan tersebut. Kita tinjau lebih dahulu, permukaan pertama ajaran yang dibawa oleh islam lewat nabi nabi utusan Allah SWT yaitu ajaran tauhid.
Dalam abad teknologi seperti yang kita alami sekarang ini, metode empiris ini masih cukup relavan untuk menerangkan kemahabesaran dan kemahakuasaan tuhan. Contoh konkret adalah bahwa kita berkesempatan untuk menyaksikan planetarium, dimana tergambar jelas disitu bahwa bumi yang kita huni ini, ternyata hanyalah merupakan sebutir debu ditengah kabut galaksi dan sistem tata surya dan alam jagat raya yang luas tak bertepi. Untuk menghayati dan meresapi kemahakuasaan Allah SWT kita perlu meneladani nabi ibrahim, dalam hal penggunaan metode empiris lewat audio visual dan peralatan high technologi yang lain.
Marilah kita melihat sisi laoin yang tidak terpisahkan dari ajaran tauhid. Ajaran nabi ibrahim yang mengajak kepada inti tauhid tidak hanya terhenti sampaio disitu saja.ajaran tauhid islam tidak terhenti pada aspek yang bersifat transdental-kontemplatif.ajaran tauhid islam mempunyai sisi lain yang bermuatan kependulian sosial.
Nabi ibrahim AS, Nabi Muhammad SAW, nabi nabi yang lain memang menjadi tokoh idola dan prototip yang diinginkan oleh umat manusia, khusunya dalam mengantisipasi perubahan sosial yang sangat deras sekarang ini, baik dalam kaitannya dengan kepedulian sosial dan perikehidupan yang bermuatan moralitas keagamaan terhadap mereka yang tidak membedakan wilayah dunia dan akhirat. Mereka dapat memdukan antara tuntutan ibadah yang bersifat transdental-normatif dan tuntutan ibadah yang bersifat sosial. Semoga kita dapat meneladaninya.

0 komentar: