Tuesday, March 13, 2018

ALIRAN PERENIALISME DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN

Di zaman modern ini, banyak bermunculan krisis di berbagai bidang kehidupan manusia, terutama di bidang pendidikan. Dan sebagai manusia yang mempunyai akal pikiran kita dituntut untuk mampu memecahkan berbagai problematika kehidupan ini, baik problematika yang berupa krisis seperti saat ini ataupun problematika untuk menjawab tantangan di masa yang akan datang.
Dan berbagai teoripun bermunculan, sebagai jawaban dari manusia dalam memecahkan berbagai problem atau krisis yang kompleks ini terlebih krisis dalam dunia pendidikan. Seperti teori yang diungkapkan oleh para penganut aliran filsafat perenialisme, yang mana menurut mereka perenialisme memberikan jalan keluar dan dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya.
Lantas apa sebenarnya perenialisme itu sendiri? Apa yang melatar belakangi munculnya aliran ini? Bagaimana pandangan ontologi, epistimologi, dan aksiologi perenialisme? Serta bagaimana pandangan perenialisme sendiri terhadap pendidikan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan kami coba bahas dalam makalah kami yang berjudul “Aliran Perenialisme Dalam Filsafat Pendidikan” ini. semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian.


A.     Aliran Perenialisme
Menurut Ali Saifullah, aliran perenialisme termasuk dalam kategori filsafat pendidikan akademis-skolastik. Kategori ini meliputi dua kelompok yakni aliran perenialisme sendiri, essensialisme, idealisme dan realisme, dan kelompok progressif meliputi progresivisme, rekonstruksionisme dan eksistensialisme.
Perenialisme diambil dari kata perennial, yang diartikan sebagai continuing throughout the whole year atau lasting for a very long time, yang bermakna abadi atau kekal. Dari makna tersebut mempunyai maksud bahwa Perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal dan abadi.[1]
Aliran perenialisme menurut Zuhairini sebagaimana dikutip Abdul Khobir dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menganggap bahwa zaman modern adalah zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan sehingga banyak menimbulkan krisis di segala bidang kehidupan manusia. Untuk menghadapi situasi krisis itu, perenialisme memberikan pemecahan dengan jalan regressive road to culture, yaitu jalan kembali atau mundur kepada kebudayaan lama (masa lampau), kebudayaan yang dianggap ideal dan telah teruji ketangguhannya. Disinilah pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam rangka mengembalikan keadaan manusia modern kepada kebudayaan masa lampau yang ideal tersebut.

B.      Latar Belakang Munculnya Aliran Perenialisme
Teori kependidikan kalangan perenialis mencuat sebagai sebuah pemikiran formal (resmi) pada dekade 1930-an sebagai bentuk reaksi terhadap kalangan progresif. Perenialisme modern secara umum menampilkan sebuah penolakan besar-besaran terhadap cara pandang progresif. Bagi kalangan perenealis, permanensi (keajegan), meskipun pergolakan-pergolakan politik dan sosial yang sangat menonjol, adalah lebih riil (nyata) dari pada konsep perubahan kalangan pragmatis. Dengan demikian kalangan perenialis mempelopori gerakan kembali pada hal-hal absolut dan memfokuskan pada ide-gagasan yang luhur (menyejarah dari budaya manusia), ide-gagasan ini telah terbukti keabsahan dan kegunaannya karena mampu bertahan dari ujian waktu. Perenialisme menekankan arti penting akal budi, nalar, dan karya-karya besar pemikir masa lalu.[2]
Oleh karena itu perenialisme memandang pendidikan adalah sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal dimaksud, “education as cultural regression.” Perenialisme tak melihat jalan yang meyakinkan selain kembali kepada prinsip-prinsip yang telah sedemikian membentuk sikap kebiasaan, bahkan kepribadian manusia selain kebudayaan dulu dan kebudayaan abad pertengahan.[3]

C.     Pandangan Ontologi Perenialisme
Ontologi perenialisme terdiri dari pengertian-pengertian seperti benda individual, esensi, aksiden dan substansi. Secara ontologis, perenialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya. Benda individual di sini adalah benda sebagaimana yang tampak di hadapan manusia dan yang ditangkap dengan panca indra seperti batu, lembu, rumput, orang dalam bentuk, ukuran, warna, dan aktivitas tertentu. Esensi dari suatu kualitas menjadikan suatu benda itu lebih intrinsik daripada fisiknya, seperti manusia yang ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Sedangkan aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan esensial.[4]
Dengan demikian, segala yang ada di alam semesta ini, seperti manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, merupakan hal yang logis dalam karakternya. Setiap sesuatu yang ada tidak hanya merupakan kombinasi antara zat atau benda, tapi juga merupakan unsur potensialitas dengan bentuk yang merupakan unsur aktualitas, sebagaimana yang diutarakan oleh Aristoteles.
Sejalan dengan apa yang dikatakan Poedjawijatna, bahwa esensi dari kenyataan itu adalah menuju ke arah aktualitas, sehingga makin lama makin jauh dari potensialitasnya. Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap waktu adalah potensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas. Dengan peningkatan suasana hidup spiritual ini, manusia dapat makin mendekatkan diri menuju tujuan (teleologis) untuk mendekatkan diri pada supernatural (Tuhan) yang merupakan pencipta dan tujuan akhir.[5]  

D.     Pandangan Epistemologis Perenialisme
Perenialisme berpangkal pada tiga istilah yang menjadi asas di dalam epistemologi yaitu truth, self evidence, dan reasoning. Bagi perenialisme truth adalah prasyarat asas tahu untuk mengerti atau memahami arti realita semesta raya. Sedangkan , self evidence adalah suatu bukti yang ada pada diri (realita, eksistensi) itu sendiri, jadi bukti itu tidak pada materi atau realita yang lain. Dan pengertian kita tentang kebenaran hanya mungkin di atas hukum berpikir (reasoning), sebab pengertian logis misalnya berasal dari hukum-hukum berpikir.
Dalam pandangan Perenialisme ada hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat, seraya menyadari adanya perbedaan antara kedua bidang tersebut. Hubungan filsafat dan pengetahuan tetap diakui urgensinya, sebab analisa-empiris dan analisa ontologis keduanya dianggap Perenialisme dapat komplementatif. Dan meskipun ilmu dan filsafat berkembang ke tingkat yang makin sempurna, namun tetap diakui bahwa fisafat lebih tinggi kedudukannya daripada ilmu pengetahuan.[6]


E.      Pandangan Aksiologi Perenialisme
Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam Perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas-asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi, hakikat manusia itu yang pertama-tama adalah jiwanya. Oleh karena itu, hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan spiritual. Dalam aksiologi, prinsip pikiran demikian bertahan dan tetap berlaku. Secara etika, tindakan itulah yang bersesuaian dengan sifat rasional manusia, karena manusia itu secara alamiah condong pada kebaikan.
Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki tiga potensi: nafsu, kemauan, dan pikiran. Maka pendidikan hendaknya berorientasi pada ketiga potensi tersebut dan pada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Dengan demikian, hendaknya pendidikan disesuaikan dengan keadaan manusia yang mempunyai nafsu, kemauan, dan pikiran. Dengan memperhatikan hal ini, maka pendidikan yang berorientasi pada potensi dan masyarakat akan dapat terpenuhi.[7]

F.      Pandangan Perenialisme Tentang Belajar
Tuntutan tertinggi dalam belajar menurut Perenialisme, adalah latihan dan disiplin mental. Maka, teori dan praktik pendidikan haruslah mengarah kepada tuntutan tersebut.[8] Teori dasar dalam belajar menurut Perenialisme terutama:
a.       Mental dicipline sebagai teori dasar.
Menurut Perenialisme latihan dan pembinaan berfikir (mental dicipline) adalah salah satu kewajiban tertinggi dalam belajar. Karena program yang diadakan dalam lembaga pendidikan adalah untuk pembinaan berpikir.[9]
b.      Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan.
Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan, otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Kemerdekaan pendidikan hendaknya membantu manusia untuk menjadi dirinya sendiri (essential self)yang membedakannya dari makhluk yang lain.
c.       Learning to Reasson (Belajar untuk berpikir).
Perlu adanya penanaman pembiasaan pada diri anak sejak dini dengan kecakapan membaca, menulis, dan berhitung. Dari sini, belajar untuk berpikir menjadi tujuan pokok sekolah menengah dan universitas.
Learning to Reasson (Belajar untuk berpikir)Sekolah bukanlah merupakan situasi kehidupan yang nyata. Sekolah bagi anak merupakan peraturan-peraturan dimana ia bersentuhan dengan hasil yang terbaik dari warisan sosial budaya.
d.      Learning through teaching (Belajar melalui pengajaran).
Fungsi guru menurut Perenialisme berbeda dengan essensialisme. Menurut essensialisme guru sebagai perantara antara bahan dengan anak yang melakukan proses penyerapan. Dalam pandangan Perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses belajar sementara mengajar.[10]

G.    Pandangan Perenialisme Mengenai Pendidikan
Pendidikan menurut  filsafat ini mesti membangun sejumlah mata pelajaran yang umum, bukan spesialis, liberal bukan vokasionalis, yang humanistik bukan teknikal. Dengan cara inilah pendidikan akan memenuhi fungsi humanistiknya, yakni pembelajaran secara umum yang mesti dimiliki oleh manusia.[11]
Dan sebagai filsafat pendidikan umumnya, filsafat pendidikan Perenialisme juga mempengaruhi sekolah-sekolah modern sekarang, dimana pandangan-pandangan kurikulumnya mempengaruhi praktik pendidikan.
a.    Pendidikan Dasar dan (Sekolah) Menengah
1.      Pendidikan sebagai persiapan
Perbedaan Progresivisme dengan Perenialisme terutama pada sikapnya tentang “education as preparation”. Perenialisme berpendapat bahwa pendidikan adalah persiapan bagi kehidupan di masyarakat. Dasar pandangan ini berpangkal pada ontologi, bahwa anak ada dalam fase potensialitas menuju aktualitas, menuju kematangan.
2.      Kurikulum Sekolah Menengah
Prinsip kurikulum pendidikan dasar, bahwa pendidikan sebagai persiapan, berlaku pula bagi pendidikan menengah. Perenialisme membedakan kurikulum pendidikan menengah antara program, “general education” dan pendidikan kejuruan, yang terbuka bagi anak 12-20 tahun.[12]
b.    Pendidikan Tinggi dan Adult Education
1.      Kurikulum Universitas
Program “General Education” dipersiapkan untuk pendidikaan tinggi dan adult education. Pendidikan tinggi sebagai lanjutan pendidikan menengah dengan program general education yang telah selesai disiapkan, bagi umur 21 tahun sebab dianggap telah cukup mempunyai kemampuan melaksanakan program pendidikan tinggi
2.      Kurikulum Pendidikan Orang Dewasa (Adult Education)
Tujuan pendidikan orang dewasa adalah meningkatkan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam pendidikan lama sebelum itu, menetralisir pengaruh-pengaruh jelek yang ada. Nilai utama pendidikan orang dewasa secara filosofis ialah mengembangkan sikap bijaksana guna mereorganisasi pendidikan anak-anaknya, dan membina kebudayaannya.[13]

III.   KESIMPULAN

                 Dari pembahasan di atas maka dapat kami simpulkan bahwa aliran Perenialisme adalah merupakan aliran dalam filsafat pendidikan yang memandang bahwa kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar pendidikan sekarang.
 Dan pandangan aliran ini tentang pendidikan adalah belajar untuk berpikir. Oleh sebab itu, peserta didik harus dibiasakan untuk berlatih berpikir sejak dini.
Perenialisme juga memiliki formula mengenai jenjang pendidikan beserta kurikulum, yaitu pendidikan dasar dan (sekolah) menengah, pendidikan tinggi dan adult education.



















DAFTAR PUSTAKA

Abdul Khobir.  2009.  Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN Press.
Alwasilah, Chaedar. 2008. Filsafat: Bahasa Dan Pendidikan. Bandung: Rosda Karya.
Barnadib, Imam. 1997. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: ANDI OFFSET.

George R. Knight. 2007. Issues and Alternatives in Educational Philosophy, Mahmud Arif (Penj.). Yogyakarta: Gama Media.
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2007.  Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.



[1] Abdul Khobir, M. Ag. Filsafat Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Press 2009), hal. 62.
[2] George R. Knight, Issues and Alternatives in Educational Philosophy, Mahmud Arif (Penj.), (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal.165.
[3]Opcit. hal. 63.
[4] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media), hal. 112.
[5] Ibid, hal. 113
[6] Abdul Khobir, M. Ag. Filsafat Pendidikan Islam, hal.65.
[7] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media), hal. 117.
[8] Prof. Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, (Yogyakarta: ANDI OFFSET), hal. 76
[9] Abdul Khobir, M. Ag. Filsafat Pendidikan Islam, hal. 66
[10]Ibid, hal. 67.
[11] Prof. Chaedar Alwasilah, Filsafat: Bahasa Dan Pendidikan, (Bandung: Rosda Karya) hal. 104
[12] Abdul Khobir, M. Ag. Filsafat Pendidikan Islam, hal.68
[13] Ibid, hal. 69

0 komentar: