Dan berbagai teoripun bermunculan,
sebagai jawaban dari manusia dalam memecahkan berbagai problem atau krisis yang
kompleks ini terlebih krisis dalam dunia pendidikan. Seperti teori yang
diungkapkan oleh para penganut aliran filsafat perenialisme, yang mana menurut
mereka perenialisme memberikan jalan keluar dan dianggap cukup ideal dan teruji
ketangguhannya.
Lantas apa sebenarnya perenialisme itu
sendiri? Apa yang melatar belakangi munculnya aliran ini? Bagaimana pandangan
ontologi, epistimologi, dan aksiologi perenialisme? Serta bagaimana pandangan
perenialisme sendiri terhadap pendidikan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan kami coba
bahas dalam makalah kami yang berjudul “Aliran Perenialisme Dalam Filsafat
Pendidikan” ini. semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian.
A. Aliran Perenialisme
Menurut Ali Saifullah, aliran perenialisme
termasuk dalam kategori filsafat pendidikan akademis-skolastik. Kategori ini
meliputi dua kelompok yakni aliran perenialisme sendiri, essensialisme,
idealisme dan realisme, dan kelompok progressif meliputi progresivisme,
rekonstruksionisme dan eksistensialisme.
Perenialisme diambil dari kata
perennial, yang diartikan sebagai continuing throughout the whole year
atau lasting for a very long time, yang bermakna abadi atau kekal. Dari
makna tersebut mempunyai maksud bahwa Perenialisme mengandung kepercayaan
filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal
dan abadi.[1]
Aliran perenialisme menurut Zuhairini
sebagaimana dikutip Abdul Khobir dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam,
menganggap bahwa zaman modern adalah zaman yang mempunyai kebudayaan yang
terganggu oleh kekacauan, kebingungan sehingga banyak menimbulkan krisis di
segala bidang kehidupan manusia. Untuk menghadapi situasi krisis itu,
perenialisme memberikan pemecahan dengan jalan regressive road to culture,
yaitu jalan kembali atau mundur kepada kebudayaan lama (masa lampau),
kebudayaan yang dianggap ideal dan telah teruji ketangguhannya. Disinilah
pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam rangka mengembalikan keadaan
manusia modern kepada kebudayaan masa lampau yang ideal tersebut.
B. Latar Belakang Munculnya Aliran Perenialisme
Teori kependidikan kalangan
perenialis mencuat sebagai sebuah pemikiran formal (resmi) pada dekade 1930-an
sebagai bentuk reaksi terhadap kalangan progresif. Perenialisme modern secara
umum menampilkan sebuah penolakan besar-besaran terhadap cara pandang
progresif. Bagi kalangan perenealis, permanensi (keajegan), meskipun
pergolakan-pergolakan politik dan sosial yang sangat menonjol, adalah lebih
riil (nyata) dari pada konsep perubahan kalangan pragmatis. Dengan demikian
kalangan perenialis mempelopori gerakan kembali pada hal-hal absolut dan
memfokuskan pada ide-gagasan yang luhur (menyejarah dari budaya manusia),
ide-gagasan ini telah terbukti keabsahan dan kegunaannya karena mampu bertahan
dari ujian waktu. Perenialisme menekankan arti penting akal budi, nalar, dan
karya-karya besar pemikir masa lalu.[2]
Oleh karena itu perenialisme
memandang pendidikan adalah sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan
keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal dimaksud, “education as
cultural regression.” Perenialisme tak melihat jalan yang meyakinkan selain
kembali kepada prinsip-prinsip yang telah sedemikian membentuk sikap kebiasaan,
bahkan kepribadian manusia selain kebudayaan dulu dan kebudayaan abad
pertengahan.[3]
C. Pandangan Ontologi Perenialisme
Ontologi perenialisme terdiri dari
pengertian-pengertian seperti benda individual, esensi, aksiden dan substansi.
Secara ontologis, perenialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya.
Benda individual di sini adalah benda sebagaimana yang tampak di hadapan
manusia dan yang ditangkap dengan panca indra seperti batu, lembu, rumput,
orang dalam bentuk, ukuran, warna, dan aktivitas tertentu. Esensi dari suatu
kualitas menjadikan suatu benda itu lebih intrinsik daripada fisiknya, seperti
manusia yang ditinjau dari esensinya adalah makhluk berpikir. Sedangkan aksiden
adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya kurang
penting dibandingkan dengan esensial.[4]
Dengan demikian, segala yang ada di
alam semesta ini, seperti manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, merupakan hal
yang logis dalam karakternya. Setiap sesuatu yang ada tidak hanya merupakan
kombinasi antara zat atau benda, tapi juga merupakan unsur potensialitas dengan
bentuk yang merupakan unsur aktualitas, sebagaimana yang diutarakan oleh
Aristoteles.
Sejalan dengan apa yang dikatakan
Poedjawijatna, bahwa esensi dari kenyataan itu adalah menuju ke arah
aktualitas, sehingga makin lama makin jauh dari potensialitasnya. Bila
dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap waktu adalah potensialitas
yang sedang berubah menjadi aktualitas. Dengan peningkatan suasana hidup
spiritual ini, manusia dapat makin mendekatkan diri menuju tujuan (teleologis)
untuk mendekatkan diri pada supernatural (Tuhan) yang merupakan pencipta dan
tujuan akhir.[5]
D. Pandangan Epistemologis Perenialisme
Perenialisme berpangkal pada tiga
istilah yang menjadi asas di dalam epistemologi yaitu truth, self evidence,
dan reasoning. Bagi perenialisme truth adalah prasyarat asas tahu untuk
mengerti atau memahami arti realita semesta raya. Sedangkan , self evidence adalah
suatu bukti yang ada pada diri (realita, eksistensi) itu sendiri, jadi bukti
itu tidak pada materi atau realita yang lain. Dan pengertian kita tentang
kebenaran hanya mungkin di atas hukum berpikir (reasoning), sebab pengertian
logis misalnya berasal dari hukum-hukum berpikir.
Dalam pandangan Perenialisme ada
hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat, seraya menyadari adanya
perbedaan antara kedua bidang tersebut. Hubungan filsafat dan pengetahuan tetap
diakui urgensinya, sebab analisa-empiris dan analisa ontologis keduanya
dianggap Perenialisme dapat komplementatif. Dan meskipun ilmu dan filsafat
berkembang ke tingkat yang makin sempurna, namun tetap diakui bahwa fisafat
lebih tinggi kedudukannya daripada ilmu pengetahuan.[6]
E. Pandangan Aksiologi Perenialisme
Masalah nilai merupakan hal yang utama
dalam Perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas-asas supernatural yaitu
menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi, hakikat
manusia itu yang pertama-tama adalah jiwanya. Oleh karena itu, hakikat manusia
itu juga menentukan hakikat perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan
spiritual. Dalam aksiologi, prinsip pikiran demikian bertahan dan tetap
berlaku. Secara etika, tindakan itulah yang bersesuaian dengan sifat rasional
manusia, karena manusia itu secara alamiah condong pada kebaikan.
Menurut Plato, manusia secara kodrat
memiliki tiga potensi: nafsu, kemauan, dan pikiran. Maka pendidikan hendaknya
berorientasi pada ketiga potensi tersebut dan pada masyarakat, agar kebutuhan
yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Dengan demikian,
hendaknya pendidikan disesuaikan dengan keadaan manusia yang mempunyai nafsu,
kemauan, dan pikiran. Dengan memperhatikan hal ini, maka pendidikan yang
berorientasi pada potensi dan masyarakat akan dapat terpenuhi.[7]
F. Pandangan Perenialisme Tentang Belajar
Tuntutan tertinggi dalam belajar
menurut Perenialisme, adalah latihan dan disiplin mental. Maka, teori dan
praktik pendidikan haruslah mengarah kepada tuntutan tersebut.[8]
Teori dasar dalam belajar menurut Perenialisme terutama:
a. Mental
dicipline sebagai teori dasar.
Menurut Perenialisme latihan dan pembinaan
berfikir (mental dicipline) adalah salah satu kewajiban tertinggi dalam
belajar. Karena program yang diadakan dalam lembaga pendidikan adalah untuk pembinaan
berpikir.[9]
b. Rasionalitas
dan Asas Kemerdekaan.
Asas berpikir dan kemerdekaan harus
menjadi tujuan utama pendidikan, otoritas berpikir harus disempurnakan
sesempurna mungkin. Kemerdekaan pendidikan hendaknya membantu manusia untuk
menjadi dirinya sendiri (essential self)yang membedakannya dari makhluk yang
lain.
c. Learning
to Reasson (Belajar untuk berpikir).
Perlu adanya penanaman pembiasaan pada
diri anak sejak dini dengan kecakapan membaca, menulis, dan berhitung. Dari
sini, belajar untuk berpikir menjadi tujuan pokok sekolah menengah dan
universitas.
Learning to Reasson (Belajar
untuk berpikir)Sekolah bukanlah merupakan situasi kehidupan yang nyata. Sekolah
bagi anak merupakan peraturan-peraturan dimana ia bersentuhan dengan hasil yang
terbaik dari warisan sosial budaya.
d. Learning
through teaching (Belajar melalui pengajaran).
Fungsi guru menurut Perenialisme berbeda
dengan essensialisme. Menurut essensialisme guru sebagai perantara antara bahan
dengan anak yang melakukan proses penyerapan. Dalam pandangan Perenialisme,
tugas guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga
sebagai murid yang mengalami proses belajar sementara mengajar.[10]
G. Pandangan
Perenialisme Mengenai Pendidikan
Pendidikan menurut filsafat ini mesti membangun sejumlah mata
pelajaran yang umum, bukan spesialis, liberal bukan vokasionalis, yang
humanistik bukan teknikal. Dengan cara inilah pendidikan akan memenuhi fungsi
humanistiknya, yakni pembelajaran secara umum yang mesti dimiliki oleh manusia.[11]
Dan sebagai filsafat pendidikan
umumnya, filsafat pendidikan Perenialisme juga mempengaruhi sekolah-sekolah modern
sekarang, dimana pandangan-pandangan kurikulumnya mempengaruhi praktik
pendidikan.
a. Pendidikan
Dasar dan (Sekolah) Menengah
1. Pendidikan
sebagai persiapan
Perbedaan Progresivisme dengan
Perenialisme terutama pada sikapnya tentang “education as preparation”. Perenialisme
berpendapat bahwa pendidikan adalah persiapan bagi kehidupan di masyarakat.
Dasar pandangan ini berpangkal pada ontologi, bahwa anak ada dalam fase
potensialitas menuju aktualitas, menuju kematangan.
2. Kurikulum
Sekolah Menengah
Prinsip
kurikulum pendidikan dasar, bahwa pendidikan sebagai persiapan, berlaku pula
bagi pendidikan menengah. Perenialisme membedakan kurikulum pendidikan menengah
antara program, “general education” dan pendidikan kejuruan, yang
terbuka bagi anak 12-20 tahun.[12]
b. Pendidikan
Tinggi dan Adult Education
1. Kurikulum
Universitas
Program
“General Education” dipersiapkan untuk pendidikaan tinggi dan adult education.
Pendidikan tinggi sebagai lanjutan pendidikan menengah dengan program general
education yang telah selesai disiapkan, bagi umur 21 tahun sebab dianggap telah
cukup mempunyai kemampuan melaksanakan program pendidikan tinggi
2. Kurikulum
Pendidikan Orang Dewasa (Adult Education)
Tujuan
pendidikan orang dewasa adalah meningkatkan pengetahuan yang telah dimilikinya
dalam pendidikan lama sebelum itu, menetralisir pengaruh-pengaruh jelek yang
ada. Nilai utama pendidikan orang dewasa secara filosofis ialah mengembangkan
sikap bijaksana guna mereorganisasi pendidikan anak-anaknya, dan membina
kebudayaannya.[13]
III. KESIMPULAN
Dari
pembahasan di atas maka dapat kami simpulkan bahwa aliran Perenialisme adalah
merupakan aliran dalam filsafat pendidikan yang memandang bahwa kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan
abad pertengahan perlu dijadikan dasar pendidikan sekarang.
Dan pandangan aliran ini tentang pendidikan adalah “belajar untuk berpikir”. Oleh sebab itu, peserta didik harus dibiasakan untuk
berlatih berpikir sejak dini.
Perenialisme juga memiliki formula
mengenai jenjang pendidikan beserta kurikulum, yaitu pendidikan dasar dan
(sekolah) menengah, pendidikan tinggi dan adult education.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Khobir. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Pekalongan:
STAIN Press.
Alwasilah, Chaedar. 2008. Filsafat: Bahasa Dan
Pendidikan. Bandung: Rosda Karya.
Barnadib,
Imam. 1997. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: ANDI
OFFSET.
George
R. Knight. 2007. Issues and Alternatives in Educational Philosophy,
Mahmud Arif (Penj.). Yogyakarta: Gama Media.
Jalaluddin
dan Abdullah Idi. 2007. Filsafat
Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
[1] Abdul Khobir, M. Ag. Filsafat
Pendidikan Islam, (Pekalongan: STAIN Press 2009), hal. 62.
[2] George R. Knight, Issues and
Alternatives in Educational Philosophy, Mahmud Arif (Penj.), (Yogyakarta:
Gama Media, 2007), hal.165.
[4] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat
Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media), hal. 112.
[5] Ibid, hal. 113
[6] Abdul Khobir, M. Ag. Filsafat Pendidikan Islam,
hal.65.
[7]
Jalaluddin dan Abdullah
Idi, Filsafat Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media), hal. 117.
[8] Prof. Imam Barnadib, Filsafat
Pendidikan: Sistem dan Metode, (Yogyakarta: ANDI OFFSET), hal. 76
[9]
Abdul Khobir, M. Ag. Filsafat
Pendidikan Islam, hal. 66
[11] Prof. Chaedar Alwasilah, Filsafat:
Bahasa Dan Pendidikan, (Bandung: Rosda Karya) hal. 104
[12] Abdul Khobir, M. Ag. Filsafat Pendidikan Islam,
hal.68
[13] Ibid, hal. 69
0 komentar:
Post a Comment