Thursday, April 5, 2018

HAK WARIS ANAK DAN ORANG TUA ANGKAT

Dalam perbandingan pelaksanaan hukum kewarisan Islam dengan kewarisan menurut kitab undang-undang hukum perdata ( BW ) disebutkan bahwa harta warisan atau harta peninggalan ialah harta yang merupakan harta peninggalan yang dapat dibagi secara individual kepada ahli waris ialah harta peninggalan keseluruhannya sesudah dikurangi dengan harta bawaan suami-istri, harta bawaan dari dan atau suku, dikurangi lagi dengan hutang-hutang si mati dan wasiat.
Sedang ahli waris ialah sekumpulan orang atau seorang atau individu atau kerabat-kerabat atau keluarga yang ada hubungan keluarga dengan si meninggal dunia dan berhak mewarisi atau menerima harta peninggalan orang yang ditinggal mati oleh seseorang ( pewaris ).
Dalam pengertian umum, anak pungut atau anak angkat biasanya didefinisikan sebagai anak yang dipungut atau diangkat secara resmi oleh orang lain dan disamakan dengan anak kandungnya sendiri baik dalam hak maupun kewajiban. Selanjutnya untuk mengetahui berapa bagian waris bagi anak angkat dan orang tua angkat. Selanjutnya akan dibahas dalam makalah ini.

1.      Pengertian Anak Angkat dan Orang Tua Angkat
Anak angkat disebut juga anak pungut adalah anak yang dipungut atau diangkat secara resmi oleh orang lain dan disamakan dengan anak kandungnya sendiri baik dalam hak maupun kewajiban, implikasinya, pewarisan dan perwalian juga termasuk dalam hubungan pengangkatan itu.[1]
Sedangkan orang tua angkat adalah seseorang ( suami-istri ) yang mengangkat seorang anak secara resmi dan memperlakukan sebagaimana anaknya sendiri.
Sementara itu, tujuan pemungutan atau pengangkatan anak bermacam-macam. Bagi pihak yang mengangkat, anak itu dijadikan penerusnya, jika ia tidak dikaruniai keturunan atau demi menolong sang anak yang diangkatnya jika sang anak tersebut dalam posisi yang kurang atau tidak menguntungkan. Kesimpulannya, tujuan pengangkatan anak adalah positif dan tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Tetapi, permasalahan yang dikandung dalam mekanisme pemungutan anak, seperti dalam defisini ini, beberapa diantaranya bertentangan dengan Islam, khususnya yang menyangkut soal nasab, perwalian anak, dan hukum pewarisan. Karena itu, perlu ada penegasan dan kejelasan khusus tentang hal ini.

2.      Dasar Hukum
Pengangkatan anak dengan menyamakan status anak seluruhnya dengan anak kandung dilarang oleh Islam, meskipun tujuan tersebut amat mulia. Hal seperti itu pernah terjadi dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW, yakni ketika beliau mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak kandungnya. Allah menegur Nabi SAW dengan menurunkan ayatnya :[2]



 



 






Artinya :
“Panggillah mereka dengan memakai nama bapak mereka, itu lebih adil disisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama”. ( Al-Ahzab : 5 ).[3]
Para fuqoha menjadikan ayat tersebut sebagai dalil haramnya mengangkat anak dan menganggap dia sebagai anak kandung dalam segala hal. Tetapi, jika pengangkatan anak itu dipahami sebagai tujuan menolong dan menyantuni kehidupan sang anak, Islam mempunyai hukum tersendiri tentang itu.
Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) pernah memberikan keputusannya tentang hukum anak pungut, keputusan yang dikeluarkan pada tahun 1982 itu berbunyi “pemungutan atau pengangkatan anak dengan tujuan pemeliharaan, pemberian bantuan yang sifatnya untuk kepentingan anak angkat yang dimaksud adalah boleh”. Disini, tujuan pengangkatan bukan lagi demi penyamaan status anak, tetapi karena asas tolong-menolong dan hukumnya jatuh pada hukum tolong-menolong, yaitu boleh atau diharuskan.
Kesimpulannya, pengangkatan anak menurut hukum Islam boleh                 ( mubah ) sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dari sini, soal penggunaan istilah “anak angkat” boleh-boleh saja selama yang dimaksud dengan istilah itu tidak mengandung kriteria yang dilarang Islam.[4]


3.      Hak Waris Anak Dan Orang Tua Angkat
Didalam Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) pasal 209 dinyatakan bahwa :
(1)   Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima waisat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
(2)   Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.[5]
Mengenai hak waris anak angkat, Mahkamah Agung daerah Kobanjahe di Karo-Batak dalam putusan kasasi tanggal 1 Nopember 1961, yang memberi hak kepada seorang anak perempuan untuk turut mewarisi harta pencaharian yang ditinggalkan oleh almarhum ayahnya.
Pengadilan Negeri Purworejo dalam putusannya tanggal 25 Agustus 1937, bagian 148 halaman 299 menerapkan bahwa barang pencaharian dan barang gono-gini jatuh pada janda dan anak angkat, sedang barang asal kembali kepada saudara-saudara si peninggal warisan, jikalau yang wafat itu tidak mempunyai anak keturunannya sendiri.
Justru berhubung dengan disamakan atau hampir disamakan anak angkat dengan anak kandung ini, maka para hakim harus hati-hati dalam menentukan, apakah betul-betul ada terjadi suatu pengankatan anak atau hanya pemeliharaan belaka dari seorang anak orang lain.
Pada hakekatnya seorang baru dapat dianggap anak angkat, apabila orang yang mengangkat itu memandang dalam lahir dan batin anak itu sebagai anak keturunannya sendiri.






KESIMPULAN


Anak angkat disebut juga anak pungut adalah anak yang dipungut atau diangkat secara resmi oleh orang lain dan disamakan dengan anak kandungnya sendiri baik dalam hak maupun kewajiban. Sedangkan orang tua angkat adalah seseorang ( suami-istri ) yang mengangkat seorang anak secara resmi dan memperlakukan sebagaimana anaknya sendiri.
Para fuqoha menjadikan QS. Al-Ahzab : 5 sebagai dalil haramnya mengangkat anak dan menganggap dia sebagai anak kandung dalam segala hal. Namun menurut Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) jika  pengangkatan anak tersebut dengan tujuan pemeliharaan, pemberian bantuan yang sifatnya untuk kepentingan anak angkat yang dimaksud, bukan lagi demi penyamaan status anak, tetapi karena asas tolong-menolong maka hukumnya boleh, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Mengenai hak waris anak dan orang tua angkat diatur dalam Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) pasal 209.
Demikain makalah dari kami semoga dapat menambah khasanh ilmu pengetahuan kita. Tak lupa kami mohonkan ma’af jikalau ada kekurangan atau kesalahan dalam penulisan makalah ini. Kritik dan saran yang konstruktif senantiasa kami terima demi sempurnanya makalah ini. Wassalam.











DAFTAR  PUSTAKA


v  Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH., Hukum Warisan Di Indonesia, Sumur Bandung, 1991.
v  Luthfi Assyautanie, Politik, HAM dan Isu-Isu Teknologi Dalam Fiqih Kontemporer, Pustaka Hidayah, Bandung, 1998.
v  Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemah.
v  M. Idris Ramulyo, SH, MH, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut KUHP ( BW ), Sinar Grafika, Bandung, 1998.
v  Depag RI, KHI Di Indonesia, Jakarta, 2000.




















MAKALAH HAK WARIS ANAK
DAN ORANG TUA ANGKAT



Disusun guna memenuhi Tugas :
Dosen Pengampu         : Bpk. Faryani fajar






Disusun Oleh :
Falkhia rahmawati
23206261





SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2010




[1] Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH., Hukum Warisan Di Indonesia, Sumur Bandung, 1991.
[2] Luthfi Assyautanie, Politik, HAM dan Isu-Isu Teknologi Dalam Fiqih Kontemporer, Pustaka Hidayah, Bandung, 1998.
[3] Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemah.
[4] M. Idris Ramulyo, SH, MH, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut KUHP ( BW ), Sinar Grafika, Bandung, 1998.
[5] Depag RI, KHI Di Indonesia, Jakarta, 2000.

0 komentar: