Tuesday, April 24, 2018

TRANSPLANTASI ORGAN MENURUT HUKUM ISLAM

Sejauh mengenai transplantasi organ, kita harus selalu ingat bahwa baik al Quran maupun sunah tidak mendukung maupun mengutuknya. Fukaha kontemporer telah mempertimbangkan permasalahan ini dan memberikan pedoman fiqhiyyah tertentu yang didasarkan pada deduksi ajaran-ajaran dasar dua sumber hokum syariat, yaitu al Quran dan sunah. Sebagaimana lazimnya terjadi pada semua masalah yang tidak dibahas dalam kedua sumber hokum tersebut, perbedaan pendapat selalu terjadi di kalangaan fukaha seperti yang akan di bahas dalam makalah ini.

1.      Pengertian Transplantasi Organ
Pencangkokan (transplantasi) ialah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.[1]
Ada tiga tipe donor organ tubuh dan setiap tipe mempunyai permasalahannya sendiri, yaitu:
1)      Donor dalam keadaan hidup sehat. Tipe ini memerlukan seleksi yang cermat dan general check up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap), baik terhadap donor maupun terhadap si penerima (resipien), demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan oleh karena penolakan tubuh resipien, dan sekaligus untuk mencegah risiko bagi donor.
2)      Donor dalam keadaan hidup koma atau diduga kuat akan meninggal segera. Untuk tipe ini, pengambilan organ tubuh donor  memerlukan alat kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernafasan khusus.
3)      Donor dalam keadaan mati. Tipe ini merupakan tipe yang ideal, sebab secara medis tinggal menunggu penentuan kapan donor dianggap meninggal secara medis dan yuridis dan harus diperhatikan pula daya tahan organ tubuh yang mau diambil untuk transplantasi.
Sampai saat ini, transplantasi organ tubuh yang dibicarakan dikalangan ilmuwan dan agamawan/ rohaniawan adalah mengenai tiga macam organ tubuh, yaitu mata, ginjal dan jantung. Hal ini dapat di maklumi, karena dari segi struktur anatomis manusia, ketiga organ tubuh tersebut sangatlah vital bagi kehidupan manusia.[2] Namun, sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan modern dan tekhnologi yang makin canggih, dimasa yang akan datang, transplantasi mungkin juga berhasil dilakukan untuk organ-organ tubuh lainnya., milai dari kaki dan telapaknya sampai kepalanya, termasuk pula organ tubuh bagian dalam, seperti rahim wanita.
2.  Pandangan- pandangan yang menentang
Dua ulama terkemuka yang menulis penolakan terhadap transplantasi organ manusia adalah almaarhum Mufti Muhammad Syafi’ dari Pakistan dan Dr. Abd al salam al syukri dari mesir.
Mufti Syafi’ berpendapat bahwa transplantasi organ tidaj diperbolehkan berdasarkan atas tiga prinsip:
a)      Kesucian Hidup/ Tubuh Manusia
Dari ajaran-ajaran yang tedapat dalam al Quran, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia diperintahkan untuk melindungi dan melestarikan kerhidupannya sendiri serta kehidupan orang lain. Sebagai contoh, manusia dilarang melakukan bunuh diri.
………… Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ
“Janganlah kamu membunuh (atau membinasakan) dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang Kepadamu. “(Q.S. al-Nisa: 4 : 29)
b)      Tubuh Manusia Sebagai Amanah
al Quran (al isra : 70) menyatakan bahwa Allah SWT memuliakan manusia, yakni menjadikan berguna baginya segala yang ada dilangit dan dibumi sebagai anugerah dan kemurahan-Nya.
Disebutkan pula dalan al Quran surat al Balad ayat 8-9
óOs9r& @yèøgwU ¼ã&©! Èû÷üuZøŠtã ÇÑÈ $ZR$|¡Ï9ur Éú÷ütGxÿx©ur ÇÒÈ
“Bukankah kami telah memberikan kepadanya dua buah mata. Lidah dan dua buah bibir”.(Q.S. al-Balad 8-9 )
Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah telah melengkapi manusia dengan segala apa yang dibutuhkannya berkenaan dengan organ-organ tubuh.[3] Pemahaman ini akan menuntun seseorang pada kesimpulan bahwa manusia tidak memiliki hak untuk mendinorkan satu bagian pun dari tubuhnya karena organ-organ tersebut pada dasarnya bukan miliknya, melainkan amanah yang dititipkan kepadanya.

c)      Memperlakukan tubuh manusia sebagai benda material
Ketidakbolehan memperlakukan tubuh manusia sebagai benda material semata dapat dideduksikan dari contoh berikut:
Pertama, dalam fatwa Alamgariyyah, dinyatakan bahwa jika seseorang berada dimbang maut  akibat kelaparan, dan ia tidak dapat menemukan bahkan daging bangkai binatang sekalipun untuk dimakan, dan yang ada didekatnya hanyalah daging manusia, maka ia tetap tidak bileh memakannya.[4]
3.  Dalil-dalil syari’ yang memperbolehkan transplantsi organ
Adapun dalil-dalil syari’ yang dapat dijadikan dasar untuk membolehkan pencangkokan, antara lain:
a.       Al Quran Surat Al Baqarah ayat 195
(#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# Ÿwur (#qà)ù=è? ö/ä3ƒÏ÷ƒr'Î/ n<Î) Ïps3è=ök­J9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) dijalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan, daqn berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”(Q.S  al Baqarah 195).
Ayat tersebut secara analogis dapat dipahami, bahwa islam tidak membenarkan  pula orang yang membiarkan dirinya dalam keadaan bahaya maut atau tidak berfungsinya organ tubuh, yang secara medis member harapan kepada yang bersangkutan untuk bisa bertahyan hidup dengan baik.
b.      Al Quran Surat Al Maidah ayat 32
ô`ÏB È@ô_r& y7Ï9ºsŒ $oYö;tFŸ2 4n?tã ûÓÍ_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) ¼çm¯Rr& `tB Ÿ@tFs% $G¡øÿtR ÎŽötóÎ/ C§øÿtR ÷rr& 7Š$|¡sù Îû ÇÚöF{$# $yJ¯Rr'x6sù Ÿ@tFs% }¨$¨Z9$# $YèÏJy_ ô`tBur $yd$uŠômr& !$uK¯Rr'x6sù $uŠômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4 ôs)s9ur óOßgø?uä!$y_ $uZè=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ¢OèO ¨bÎ) #ZŽÏWx. Oßg÷YÏiB y÷èt/ šÏ9ºsŒ Îû ÇÚöF{$# šcqèùÎŽô£ßJs9 ÇÌËÈ
“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Ayat ini menunjukkan bahwa islam sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat menyelamatkan jiwa manusia. Seorang yang menemukan bayi yang tidak berdosa yang dibuang disampah, wajib mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya.[5] Demikian pula seorang yang dengan ikhlas hati mau menyumbangkan organ tubuhny setelah nmeninggal, maka islam membolehkan, bahkan memandangkan sebagai amal perbuatan kemanusiaan yang tinggi nilainya, karena menolong jiwa sesama manusia atau mebantu berfungsinya kembali organ tubuh sesamanya yang tidak berfungsi.
c.       Kaidah hukum Islam
ا لضر ر يز ا ل                              
"Bahaya itu dilenyapkan/ dihilangkan"
Seorang yang menderita penyakit jantung atau ginjal kang sudah mencapai stadium yang gawat, maka ia menghadapi bahaya maut sewaktu-waktu.Maka mnurut kaidah hukum diatas, bahaya maut itu harus ditanggukangi dengan usaha pengobatan. Dan jika usaha pengobatan secara medis biasa tidak bisa menolong, maka demi menyelamatkan jiwanya, pencangkokan jantung atau ginjal diperbolehkan dalam keadaan darurat.Dan ini berarti, kalu penyembuhan penyakitnya bisa dilakukan tanpa pencangkokan, maka pencangkokan tubuh tidak dikenakan. 
Para ulama yang mendukung pembolehan transplantasi organ tidak memberikan persetujuan  mereka dengan tanpa syarat. Mereka memandang kebolehan transplantasi organ harus dibatasi dengan ketantuan- ketentuan berikut:
v  Transplantasi organ tersebut adalah satu-satunya bentuk (cara) penyembuhan yang bisa ditempuh
v  Derajat keberhasila dari prosedur ini  diperkirakan tinggi
v  Ada persetujuan dari pemilik organ yang akan ditransplantasikan atau dari ahli warisnya
v  Kematian orang yang organnya akan diambil itu telah benar-benar diakui oleh dokter yang reputasinya terjamin, sebelum diadakan operasi pengambilan organ
v  Resipien organ tersebut sudah diberitahu tentang operasi transplantasi berikut implikasinya.[6]






                         III.            KESIMPULAN
Dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa diperbolehkan mentransplantasikan organ dari satu bagian ke bagian lain dari tubuh yang sama asalkan dapat dipastikan bahwa keuntungan yang diperboleh dari prosedur ini lebih besar dari pada efek buruk yang ditimbulkannya. Selain itu ditetapkan pula bahwa prosedur ini boleh dilaksanakan untuk tujuan mengganti salah satu organ yang hilang, atau memperbaiki bentuknya, atau mengembalikan fungsinya, atau memperbaiki yang rusak atau menghilangkan bentuk yang cacat yang merupakan sumber penderitaan batin maupun sakit fisik.














DAFTAR PUSTAKA


Mahsin, Abu al fadl. Telaah fikih dan Biotika Islam. 2004. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Yasin, Nu’aim, Fiqih kedokteran. 2001. Jakarta: Pustaka al Kautsar.
Zuhdi, Masfuk. Masail Fiqhiyyah. 1997. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.


























[1] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah ( Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997) hlm. 86
[2] Ibid.  hlm. 87
[3] Abu al fadl Muhsin, Telaah fiqh dan Biotika Islam, ( Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2004) hlm. 84
[4] Ibid. hlm.85
[5] Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah ( Jakarta: PT Toko Gungung Agung, 1997) hlm. 90
[6] Dr. M. Nu’aim Yasin, Fikih Kedokteran ( Jakarta: Pustaka Alkautsar, 2001) hlm. 162

0 komentar: