Thursday, April 12, 2018

EUTANASIA (SUNTIK MATI) DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Pembicaraan tentang euthanasia boleh jadi tidak pernah tuntas. selalu saja ada masalah dan pertanyaan, karena euthanasia menyangkut masalah hidup dan mati. Meskipun demikian, euthanasia telah banyak dilakukan sejak zaman dahulu kala dan memperoleh dukungan beberapa tokoh besar dalam sejarah, seperti plato yang mendukung tindakan bunuh diri untuk mengakhiri penderitaan akibat penyakit yang dialaminya. Di beberapa negara barat, euthanasia sudah tidak dianggap sebagai suatu pembunuhan lagi.
Bagaimana pandangan Islam tentang euthanasia? Dalam pertanyaan tersebut akan dijawab dalam makalah ini. Di sini kami mencoba memaparkan mengenai euthanasia, macam-macam euthanasia, dan bagaimana euthanasia dalam perspekif Islam.


A.   Pengertian Euthanasia
Euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang yang sengaja tanpa merasakan sakit, karean kaish sayang dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit.[1]
Dalam kode etik kedoktera Indonesia, kata euthanasia diperguanakn dalam 3 arti:[2]
1.      Berpindah ke alam baka dengan dan aman tanpa penderitaan dan gaji mereka yang beriman mengucapkan nama Allah.
2.      Waktu hidup akan berakhir dengan diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang.
3.      Mengakhiri penderitaan si sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri atau permintaan keluarga .
Dari beberapa definisi mengenai euthanasia tersebut, terdapat tiga unsur yang terkandung disana:[3]
1.      Bahwa euthanasia tersebut ialah suat perbuatan yang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang.
2.      Bahwa perbuatan tersebut terdorong oleh keinginan untuk membebaskan orang lain dari suatu penderitaan yang berlarut-larut.
3.      Bahwa perbuatan tersebut dilakukan karena permintaan yang sangat dari korban

B.   Pembagian Euthanasia
Euthanasia dibagi menjadi dua :[4]
1.      Euthanasia positif
Ialah tindakan memudahkan kematian si sakit karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Contoh:
Seseorang menderita kangker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. dalam hal ini dokter yakin  bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. kemudian yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya. tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2.      Euthanasia Negatif
Pada Euthanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.
Contoh:
Penderita kangker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.

C.   Euthanasia dalam Perspektif Islam
Menghilangkan nyawa orang lain, dengan disengaja, baik dengan motif dibebaskan orang lain dari suatu penderitaan yang berlarut-larut, ataupun motif-motif yang tidak di benarkan oleh agama, adalah suatu pembunuhan, yang paling mudah dilakukan oleh seorang dokter, baik dengan suntikan maupun tablet atau jenis bahan kimia lainya, di indonesia orang yang menghilangka nyawa orang lain, diancam oleh KUHP pasal 338 dan pasal 34. memang ada sebagian sarjana yang membolehkan euthanasia yang melihat manusia dari segi the self righ of self determination menentukan hidupnya sendiri.[5]
Seseorang mempunyai hak untuk hidup. Namun untuk apa dia hidup? oleh karena itu  kebebasanpun mesti dilindungi undang-undang. Apabila kebebasan, menetukan hidup umpama telah dibatasi oleh Undang-undang, hal-hal yang berada diluar undang-undang bukan lagi bernama hak. Allah telah mengatur Undang-undang bagi manusia. dan Dia-lah yang menjadikan kita hidup dan Dia pulalah yang menentukan kematian kita. [6]              
هُوَ يُحْيِ وَيُمِيْتُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
Artinya:
“Dialah Allah yang menghidupkan dan mematikan dan kepada-Nya lah  kamu semua akan kembali.”(Qs Yunus: 56)

 Didalam Al-Qur’an surat Al-muluk ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan mati adalah ditangan Tuhan yang ia ciptakan untuk menguji iman, amalan, dan ketaatan manusia terhadap Tuhan, penciptanya.karena itu, islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehidupan manusia itu, islam menetapkan berbagai norma hukum perdata dan pidana beserta saksi-saksi hukumanya. baik didunia berupa hukuman had dan qisas termasuk hukuman mati, diyad (denda), ta’zir ialah hukuman yang ditetapkan oleh ulil amri atau lembaga peradilan, maupun hukuman diakhirat berupa siksaan Tuhan di neraka kelak.[7]
Karena hidup dan mati itu itu ada di tangan Tuhan dan merupakan karunia dan wewenang Tuhan, maka Islam melarang orang melakukan pembunuhan, baik terhadap orang lain (kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh agama) mapun terhadap dirinya sendiri (bunuh diri) dengan alasan apapun.[8]
Firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 29-30:

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ `tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ $ZRºurôãã $VJù=àßur t$öq|¡sù ÏmŠÎ=óÁçR #Y$tR 4 tb%Ÿ2ur šÏ9ºsŒ n?tã «!$# #·ŽÅ¡o ÇÌÉÈ




Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Memudahkan proses kematian secara aktif (euthanasia posistif) seperti pada contoh tidak diperkenankan oleh syara’, sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara over dosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara seperti tersebut dalam contoh, dengan pemberian racun yang keras, dengan penyengatan listrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.[9]
Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si dakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidak lebih pengasih dan penyayang dari pada Dzat yang menciptakannya. Karena itu, serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta’ala. Karena Dialah yang memberi kehidupan kepada manusia dan mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.[10]
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif (euthanasia negatif) sebagaimana dikemukakan dalam contoh, maka hal itu berkisar pada “menghentikan pengobatan” atau tidak memberikan pengibatan. Ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab akibat.[11]
Mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur Fuqoha dan imam-imam madzhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat imam Syafi’i dan imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).[12]
Pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhanyya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya –yaitu para dokter– maka tidak ada seorangpun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.[13]
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan –dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernafasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern– dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya), itulah yang wajib atau mustahab.[14]
Maka memudahkan proses kematian semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan istilah membunuh karena kasih sayang karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi.[15]
Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaz dan dibenarkan syara’ –bila keluarga penderita mengizinkannya– dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya. Insya Allah.[16]


BAB III
KESIMPULAN

Islam menunjukkan bahwa bunuh diri itu dilarang keras dengan alasan apapun. Misalnya, seseorang menderita penyakit yang sudah tidak ada harapan sembuh secara medis, Islam tetap tidak membolehkan si penderita menghabisi nyawanya, baik dengan tangannya sendiri maupun dengan bantuan orang lain, sekalipun dokter dengan cara memberi suntikan atau obat yang dapat mempercepat kematiannya (euthanasia positif) atau dengan cara menghentikan segala pertolongan terhadap si penderita termasuk pengobatannya (euthanasia negatif), sebab penderita yang menghabisi nyawanya dengan tangannya sendiri atau dengan bantuan orang lain itu berarti ia mendahului atau melanggar kehendak dan wewenang Tuhan.


DAFTAR PUSTAKA

Qadhawi, Yusuf dan As’ad Yasin. 1995. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press
Thaha, Ahmadie. 1983. Kedokteran dalam Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu
Zuhdi, Masjfuk. Drs. 1997. Masailul Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam. Jakarta: PT. Joko Gunung Agung


[1] Yusuf Qardhawi dan ‘As’ad asin, Fatwa-fatwa Kontemporere, (Jakarta: Gema Insani     Press, 1995), h. 749.
[2] Ahmadie Thaha, Kedokteran Dalam Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983), h. 131.
[3] Ibid.
[4] Yusuf  Qardhawi dan As’ad yasin, opcit, h. 749-750
[5] Ahmadie Thaha, Op.Cit, h.132
[6] Ibid
[7] Drs. Masifuk Zuhdi, Masailul Fihiyah, Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: PT. Joko Gunung Agung, 1997), h. 161
[8] Ibid
[9] Yusuf Qardhawi dan As’ad Yasin, Op.Cit. h. 751
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid, h. 752
[13] Ibid,h. 753
[14] Ibid
[15] Ibid, h. 754
[16] Ibid

0 komentar: