Friday, April 6, 2018

Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam

Asuransi pada umumnya termasuk asuransi jiwa menurut pandangan Islam adalah termasuk ijtihadiyah. Artinya masalah yang perlu dikaji hukum agamanya berhubung tidak ada penjelasan hukumnya di dalam Al-Quran dan Hadits secara eksplisit. Para imam mazhab seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ahmad serta ulama mujtahidin lainnya yang semasa dengan mereka (abad II dan III H/VIII dan IX M) tidak memberi fatwa hukum terhadap masalah asuransi, karena dunia Timur baru dikenal pada XIX Masehi, sedangkan di dunia Barat sekitar abad XIV M.

Mengkaji hukum asuransi menurut syariat Islam sudah tentu dilakukan dengan menggunakan metode ijtihad (reasoning/exercise of judgement) yang lazim dipakai oleh ulama mujtahidin dahulu. Dan diantara metoda ijtihad yang mempunyai banyak peranan di dalam mengistinbat-kan masalah baru yang tidak ada nashnya di dalam Al Quran dan Hadits adalah masalah mursalah atau isthislah (public good) dan qiyas (analogical reasoning)[1]

                 
Pengertian Asuransi

Dalam ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa asuransi ialah jaminan atau pertanggungan yang di berikan oleh penanggung (biasanya kantor asuransi) kepada yang tertanggung untuk resiko kerugian sebagai yang ditetapkan dalam surat perjanjian (polis) bila terjadi kebakaran, kecurian, kerusakan dan sebagainya atau mengenai kehilangan jiwa (kematian) atau kecelakaan lainnya, dengan yang tertanggung membayar premi sebanyak yang ditentukan kepada penanggung tiap-tiap bulan.
Abbas Salim memberi pengertian, bahwa asuransi ialah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai (substitusi) kerugian-kerugian besar yang belum pasti.
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa orang yang bersedia membayar kerugian yang sedikit pada masa sekarang agar dapat menghadapi kerugian-kerugian besar yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang.[2]
Kalau kita perhatikan tujuan dari semua macam asuransi itu, maka pada prinsipnya pihak perusahaan asuransi memperhatikan tentang masa depan kehidupan keluarga, pendidikannya dan termasuk jaminan hari tua. Demikian juga perusahaan asuransi turut memikirkan dan berusaha untuk memperkecil kerugian yang mungkin timbul akibat resiko dalam melaksanakan kegiatan usaha baik terhadap kepentingan pribadi atau perusahaan.

Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam

Mengingat masalah asuransi ini sudah memasyarakat di Indonesia ini dan di perkirakan ummat Islam banyak terlibat didalamnya maka perlu juga dilihat dari sudut pandang agama Islam.
Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yg melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari rahmat Allah.
Allah-lah yg menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada makhluk-Nya sebagaimana firman Allah SWT:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
 Yang artinya “Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS Hud: 6)
Firman Allah:
أَمَّنْ يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَمَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ
Yang Artinya“…dan siapa yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan ??” (QS an-Naml: 64)
Firman Allah:
وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ وَمَنْ لَسْتُمْ لَهُ بِرَازِقِينَ
Yang Artinya “Dan kami telah menjadikan untukmu dibumi keperluan-keperluan hidup dan makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.’’
(QS al-Hijr: 20)

Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya untuk keperluan semua makhluk-Nya termasuk manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah bukan bahan matang. Manusia masih perlu mengolahnya mencarinya dan mengikhtiarkannya. Orang yang melibatkan diri kedalam asuransi ini adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk mengahadapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak ada dijelaskan secara tegas dalam nash maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi yaitu masalah perbedaan pendapat dan sukar dihindari dan perbedaan pendapat tersebut juga mesti dihargai.[3]
Perbedaan Pendapat para Fuqoha Mengenai Asuransi
1.     Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, termasuk asuransi jiwa.
Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii, Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth’i .
Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
a.      Asuransi sama dengan judi
b.     Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti
c.      Asuransi mengandung unsur riba/renten
d.     Asurnsi mengandung unsur pemerasan karena pemegang polis apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi
e.      Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba
f.       Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai
g.      Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah

2.     Asuransi di perbolehkan dalam praktek seperti sekarang.
Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa dan Abd. Rakhman Isa .
Mereka beralasan:
a.      Tidak ada nash yang melarang asuransi.
b.     Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
c.      Saling menguntungkan kedua belah pihak.
d.     Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
e.      Asuransi termasuk akad mudhrabah
f.       Asuransi termasuk koperasi .
g.      Asuransi di analogikan dengan sistem pensiun seperti taspen.

3.     Asuransi yg bersifat sosial di perbolehkan dan yg bersifat komersial diharamkan.
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah.
Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial dan sama pula dengan alasan kelompok kedua dalam asuransi yang bersifat sosial . Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu.[4]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan sehingga sukar untuk menentukan yang mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang benar. Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh tentu jalan itulah yang pantas dilalui. Jalan alternatif  baru yang ditawarkan adalah asuransi menurut ketentuan agama Islam.
Dalam keadaan begini sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW:

“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu kepada hal-hal yang tidak meragukan kamu.”
Asuransi menurut ajaran agama Islam yang sudah mulai digalakkan dalam masyarakat kita di Indonesia ini sama seperti asuransi yang sudah ada selama ini pada PT. Asuransi Bumi Putera Asuransi Jiwasraya dan asuransi lainnya.


DAFTAR RUJUKAN


·        Hasan, Ali.M, Masail Fiqhiyah ‘’ Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan’’, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

·        Rahmat Blog 2005 – 2009 ‘’ sumber file al_islam.chm’’

·        WWW.Kispa.Org, ‘’Pandangan Ulama Terhadap Asuransi’’


[1] WWW.Kispa. Org, ‘’Pandangan Ulama Terhadap Asuransi’’
[2] M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah ‘’ zakat pajak, asuransi & lembaga keuangan’’ (Jakarta: Grafindo Persada, 2003) hal.95
[3] Rahmat Blog 2005 – 2009 ‘’ sumber file al_islam.chm’’

[4] Op.cit, M. Ali Hasan.hal. 99-101

0 komentar: