Wednesday, April 11, 2018

TRAFFICKING DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


Dewasa ini, trafficking merupakan isu yang paling aktual dan fenomenal, bukan sekadar di Indonesia, melainkan juga di dunia. Trafficking telah dipandang sebagai kejahatan lintas negara (transnasional) yang terorganisir. Laporan PBB menyebutkan ada 150 juta perempuan dan anak diperdagangkan setiap tahunnya untuk berbagai keperluan kejahatan, termasuk prostitusi. Surya Chandra Surapati, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI periode yang lalu, seperti dikutip Majalah Tempo, 10 Juli 2003, mengemukakan saat ini di Indonesia rata-rata 750 ribu sampai 1 juta perempuan dan anak diperdagangkan per tahun. Dalam hitungan jumlah, angka ini meningkat secara cepat dibandingkan dengan jumlah pada tahun 1998. Data pasti tentang trafficking sesungguhnya sulit diketahui. Namun sangatlah pasti, ini fenomena gunung es. Sebagai bentuk perdagangan gelap (tersembunyi), data trafficking hanya terbaca pada kasus-kasus yang dilaporkan saja, sementara realitas sebenarnya yang sulit diungkap pasti lebih besar dari jumlah yang dilaporkan. Kenyataan ini tentu saja sangat mencemaskan kehidupan kita dan membahayakan generasi manusia di masa yang akan datang.
Kasus-kasus tersebut menggambarkan bahwa babak baru sistem perbudakan mulai terlihat dengan wajah baru. Hal ini sangat sulit sekali ditanggulangi atau dicegah, karena jaringannya yang cukup luas dan rapih, meskipun dalam semua ajaran agama, termasuk Islam dan kesepakatan internasional sistem perbudakan telah dihapuskan. Oleh karena itu, untuk mengatasinya membutuhkan kerja ekstra dari berbagai komponen dan lapisan masyarakat.

Definisi Trafficking
Kata “trafficking” sebenarnya adalah pengindonesiaan dari istilah dalam bahasa Inggris “trafficking in human” atau “trafficking in person” yang diperpendek menjadi “trafficking” saja. Secara sederhana, trafficking dipahami sebagai perdagangan manusia, lebih khusus lagi perdagangan perempuan dan anak, karena perempuan dan anak dalam kenyataannya adalah kelompok yang paling rentan dari tindak kejahatan ini. Oleh banyak orang, trafficking disebut sebagai cara baru sistem perbudakan atau perbudakan moderen.
Definisi di atas memperlihatkan kepada kita bahwa trafficking merupakan suatu bentuk kejahatan kemanusiaan yang sangat kompleks dan mengerikan. Trafficking tidak lagi sekadar praktik perbudakan manusia oleh manusia sebagaimana telah terjadi pada masa lalu, melainkan prosesnya dilakukan dengan tindakan kekerasan, penindasan, kekerasan fisik, mental, seksual, sosial, dan ekonomi, dengan modus yang sangat beragam, mulai dengan cara yang halus seperti bujukan dan penipuan sampai dengan cara yang kasar seperti paksaan dan perampasan. Trafficking dengan begitu juga merupakan tindak pelanggaran hak asasi manusia.
Faktor-Faktor Terjadinya Trafficking
Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia seharusnya memberikan penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi manusia dan melindungi warganya dari segala tindak trafficking, karena Islam yang dianut mayoritas penduduknya menjunjung tinggi hak asasi manusia dan dengan demikian menentang tindak trafficking. Namun, dalam kenyataannya sangat ironis. Negara Pancasila ini masuk dalam katagori tier ke-III bersama 18 negara lainnya atau disebut bagian dari negara-negara terburuk dalam penanganan trafficking.
Ada sejumlah faktor mengapa trafficking marak terjadi di Indonesia. Faktor pendorong utama adalah kemiskinan. Diperkirakan 40 dari 210 juta penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Kantong-kantong kemiskinan dari 40 juta penduduk Indonesia berada di daerah pedesaan. Faktor penyebab lainnya adalah tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, khususnya perempuan, usia perkawinan di bawah umur (<18 akibat="" bertambahnya="" dalam="" dan="" desa="" di="" jumlah="" kekerabatan="" kekerasan="" kemiskinan.="" laki-laki="" lapangan="" longgarnya="" munculnya="" pekerjaan="" penganggur="" perceraian="" polarisasi="" rumah="" sempitnya="" sistem="" span="" tahun="" tangga="" tinggi="" tingkat="" yang="">
Di lain pihak, globalisasi, perkembangan mode, serta kemajuan teknologi transportasi dan informasi telah membuat dunia terbuka hampir tanpa batas. Setiap saat manusia bisa bergerak dalam wilayah edar yang luas dan terbuka. Seorang perempuan lugu, seperti Lisa Bonet yang lahir tumbuh dan besar nun jauh di pedalaman wilayah timur Indonesia, ditemukan menjadi korban kekerasan pembantu rumah tangga di Malaysia. Casingkem, seorang perempuan dari Indramayu, menjadi korban penculikan di daerah konflik Irak.
Tampaklah, faktor-faktor di atas telah mendorong dan menggerakkan banyak perempuan, terutama remaja perempuan yang berharap keluar dari kemiskinannya dan tergoda dengan moleknya keindahan dunia, menyerah dan tidak berdaya kepada siapa saja yang "menawarkan jasa" menyelamatkan hidup mereka dengan pekerjaan dan iming-iming upah yang besar.
Di samping alasan-alasan di atas, terdapat alasan lain yang mendasar, yakni ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan. Fenomena perdagangan perempuan tak dapat dipisahkan dari fenomena kekerasan terhadap perempuan yang semakin hari semakin besar jumlahnya. Kekerasan terjadi pada umumnya ketika relasi sosial dan relasi kuasa berlangsung timpang akibat kuatnya budaya patriarkhi—menempatkan perempuan sebagai subordinat dan makhluk kelas dua. Perempuan dalam relasi yang tidak setara ini dikondisikan menjadi manusia tak berdaya, penuh ketergantungan kepada laki-laki, dan pada gilirannya “dimanfaatkan”, dieksploitasi, dan diperdagangkan secara tidak manusiawi.
Pertanyaan mendasar adalah bagaimanakah penghilangan kemanusiaan kaum perempuan ini bisa terjadi tanpa henti di hadapan seluruh ajaran agama, tuntunan moral, hukum perundang-undangan, dan tata kesusilaan yang semuanya mengajarkan dan mengajak kepada kebaikan, kemuliaan, dan kehidupan yang bermartabat?
Trafficking dalam Pandangan Islam
Merujuk pada definisi dan fakta trafficking di atas tampak bahwa dimensi kejahatan trafficking demikian kompleks, meliputi berbagai bentuk pelanggaran hukum dan kejahatan kemanusiaan: mulai dari tindakan bujuk rayu, menawarkan iming-iming, janji palsu, sampai pemaksaan, kekerasan, eksploitasi, penyerangan fisik, psikis, dan seksual, pengambilan organ tubuh, serta bentuk-bentuk pelanggaran lain yang sangat merendahkan martabat kemanusiaan. Bisa dikatakan bahwa trafficking adalah kejahatan yang menghimpun sejumlah pelanggaran kemanusiaan dan moral yang berlapis-lapis, terpenggal-penggal, tetapi berangkai, berkait kelindan, dan melibatkan banyak pihak.
Meskipun beberapa organisasi keagamaan telah mulai mempedulikan situasi ini, tetapi kejahatan kemanusiaan ini belum dipersoalkan sebagai bahaya yang wajib diwaspadai oleh semua pihak. Dalam amatan kami, belum seorang pun dari tokoh agama, organisasi keagamaan, atau departemen agama yang menyerukan keharaman dan kemungkaran tindak trafficking. Dalam kaitan dengan korban trafficking, alih-alih mendampingi, memberikan konseling keagamaan yang menentramkan dan membebaskan korban dari persoalan, atau mengadvokasi korban, malah tokoh-tokoh agama mengeluarkan fatwa larangan perempuan keluar tanpa mahram dan larangan perempuan bekerja ke luar negeri, suatu fatwa yang jauh dari konteks dan akar persoalan.
Patut diapresiasi, pada Musyawarah Nasional Alim-Ulama organisasi Nahdlatul Ulama di Surabaya pada 28-31 Juli 2006 telah mengagendakan pembahasan trafficking sebagai salah satu dari sepuluh agenda utama. Sayangnya, isu trafficking hanya dibicarakan secara umum dan belum menjadi keputusan resmi Munas-NU tersebut. Pembahasan dilanjutkan pada Selasa, 15 Agustus 2006, di kantor PBNU Jalan Kramat Raya Jakarta. Dalam pembahasan lanjutan ini, NU telah melahirkan fatwa yang sangat tegas terhadap pengharaman segala tindak kejahatan trafficking.
Ada dua isi fatwa penting yang dikeluarkan NU. Pertama, mengharamkan eksploitasi selama proses perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang itu, baik yang dilakukan dalam negara maupun antarnegara. Kedua, mewajibkan semua pihak, pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat mencegah trafficking dan melindungi korban. Selain itu, fatwa NU juga merekomendasikan agar PBNU beserta seluruh badan otonom dan lembaganya dari pusat hingga daerah untuk melakukan gerakan bersama menolak trafficking.
Mencermati semua kondisi ini, tetap dipandang perlu adanya wacana keislaman yang dikaitkan dengan segala upaya untuk meminimalisasikan tindak kejahatan trafficking; mulai dari pencegahan, perlindungan, dan upaya-upaya advokasi, serta rehabilitasi korban. Di samping itu, wacana keislaman ini diharapkan bisa dijadikan sebagai landasan moral-teologis untuk menindak para pelaku dengan hukum positif yang berlaku. Inilah yang dimaksud dengan fikih anti-trafficking, yakni sebuah pemahaman keagamaan yang didasarkan pada semangat kemanusiaan yang ditegaskan ayat-ayat al-Qur'dn dan teks-teks al-Hadits untuk menumbuhkan kesadaran kolektif tentang bahaya dan keharaman tindak kejahatan trafficking.
Kesadaran keagamaan dipandang sangat efektif untuk menumbuhkan social warning system di kalangan masyarakat agar semakin peka dan waspada atas segala bentuk tindakan trafficking. Karena, tindakan-tindakan yang mengarah pada kejahatan trafficking seringkali tampak sebagai sesuatu yang legal, bahkan terkesan manusiawi, meskipun yang terjadi sebaliknya. Keadaan ini tentu saja bisa menyulitkan banyak pihak. Jelaslah, penanganan trafficking tidak bisa instant dan pasti membutuhkan banyak elemen, banyak strategi, dan perlu melibatkan banyak pihak. Fikih Anti-Trafficking sekaligus dimaksudkan untuk menggugah kesadaran Islami setiap anggota masyarakat Muslim agar terlibat memberikan kontribusi nyata dalam mengentaskan problem kemanusiaan abad modern ini. Karena secara prinsip, Islam adalah agama pembebasan manusia dari segala bentuk kezaliman dan risalah perlindungan agar tidak terjadi dehumanisasi.
Peranan Fikih dalam Mengatasi Trafficking
Fikih sejak awal dirumuskan, terutama, untuk menjawab tantangan-tantangan sosial yang secara eksplisit tidak disebutkan dalam teks-teks otoritatif al-Qur`an dan al-Hadits. Realitas sosial selalu berkembang dan sifatnya lebih kompleks dibanding dengan realitas sebelumnya. Oleh karena itu, ketika al-Qur`an selesai diturunkan dan teks-teks Hadits juga selesai diucapkan, lahirlah kebutuhan besar untuk melakukan pemahaman dan penafsiran teks-teks tersebut atas realitas baru yang lahir belakangan. Atas dasar inilah, para ulama melakukan ijtihad. Dari iitihad ini, khazanah fikih sepanjang peradaban Islam dan sampai sekarang terus berkembang.
Kasus-kasus yang terkait dengan tindak kejahatan trafficking adalah salah satu contoh dari kompleksnya permasalahan sosial yang memerlukan ketegasan ijtihad baru yang berpihak pada kelompok rentan trafficking, yakni perempuan dan anak.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kejahatan trafficking seringkali bermula dari kasus-kasus yang sederhana, seolah-olah legal, dan terkesan manusiawi. Misalnya, dengan cara menawarkan orang bekerja, mengajak untuk memperbaiki nasib, membantu agar dapat mencapai kesempatan kerja meski dengan memalsu dokumen, menolong menyeberangkan orang ke negara lain demi suatu penghidupan yang lebih baik, memberikan pinjaman hutang, mempertemukan orang yang perlu menikah untuk di bawa ke luar negeri, dan Iain-lain. Ini adalah bentuk-bentuk kejadian yang biasa dijadikan proses awal dari sindikat kejahatan trafficking. Membaca kenyataan semacam ini, tentu saja ijtihad fikih terkait kasus trafficking harus menyentuh aras kebijakan birokrasi administratif dan politik, tidak semata-mata berkutat pada persoalan sosial ekonomi dan budaya.
Dengan menggunakan sadd adz-dzarâi’ sebagai metode istinbâth al-ahkam, banyak hal yang harus dipikirkan ulang meski sudah menjadi kebiasaan masyarakat sehari-hari. Ijtihad Imam ‘Atho, seorang ulama besar pada masa tabi’in, bisa menjadi contoh. Dia melarang seorang suami memukul istrinya meski dengan dalih mendidik. Sebagai pendidikan, cukup diingatkan saja atas kesalahannya, tidak dengan memukulnya. Ijtihad ini muncul karena banyak orang yang menyalahgunakan wewenang pemukulan suami atas istri sebagaimana tertulis dalam ayat al-Qur`an Surat al-Nisa` [4] ayat 34.
Persoalan lain yang menjadi perhatian Fikih Anti-Trafficking adalah relasi sosial yang terjadi dan tumbuh di dalam kehidupan masyarakat. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan, yang bisa diindikasikan sebagai tindak trafficking, adalah adanya ketimpangan relasi, baik antara buruh dengan majikan, orang tua dengan anak, suami dengan istri, orang kaya dengan orang miskin, maupun antara negara dengan rakyat. Fikih Anti-Trafficking membahas isu ini dengan mendasarkan pada prinsip keadilan dan kesetaraan relasi-kuasa dan relasi gender, dengan penegasan pemihakan kepada kelompok rentan, yakni perempuan dan anak.
Sebagai aturan keagamaan, fikih tentu diarahkan dan ditetapkan untuk merealisasikan tujuan-tujuan agama. Secara eksplisit, ditemukan sejumlah teks al-Qur`an maupun hadits Nabi yang mengharuskan manusia untuk berbuat dan menegakkan keadilan. Beberapa ayat al-Qur`an di antaranya adalah QS. Al-Nisa` (4): 58:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia hendaknya menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Dalam ayat lain, Q.S. al-Nahl (16): 90, Allah Swt berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang kamu dari berbuat keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Pandangan Ibnu al-Qayyim ini menunjukkan kepada kita bahwa setiap perumusan dan keputusan hukum haruslah didasarkan kepada prinsip keadilan, dari mana dan dengan cara apapun diperoleh, meskipun tidak ditemukan dalam teks-teks keagamaan. Ini ditetapkan karena “mewujudkan keadilan” adalah tujuan utama hukum Islam.
Jauh sebelumya, Imam al-Ghazali telah merumuskan tujuan syari'at (maqâshid al-syarî'ah) dengan lima prinsip perlindungan, yaitu perlindungan terhadap keyakinan agama (hifzh al-dîn), perlindungan terhadap jiwa (hifzh al-nafs), perlindungan terhadap akal pikiran (hifzh al-'aql), perlindungan terhadap keturunan (hifzh al-nasl), dan perlindungan terhadap harta benda {hifzh al-mâl). Setiap keputusan hukum yang mengandung perlindungan terhadap lima hal ini adalah kemaslahatan (mashlahah) dan setiap yang mengabaikannya adalah kerusakan (mafsadah). Menolak kerusakan adalah kemaslahatan.
Dari tujuan pokok syari’at Islam ini, para ulama fikih kemudian mengembangkannya dalam bentuk kaedah-kaedah fikih. Beberapa di antaranya adalah al-dharar yuzâl (semua hal yang merugikan atau menderitakan orang haruslah dihilangkan), al-dharar la yuzalu bi al-dharar (menghilangkan hal-hal yang menderitakan orang tidak boleh dilakukan dengan cara menderitakan), al-dharûrah tubîh al-mahdhûrât (dalam kondisi darurat, hal-hal yang dilarang boleh dilakukan), dar' al-rnafâdsîd muqaddam 'alâ jalb al-mashâlih (mencegah kerusakan/bahaya didahulukan daripada mengambil kemaslahatan), al-'âdah muhâkamah (adat bisa dijadikan dasar hukum), dan Iain-lain. Lebih dari semuanya, ketentuan-ketentuan fikih harus ditujukan untuk mewujudkan kerahmatan (kasih sayang) bagi semua makhluk Tuhan di muka bumi. Hal ini karena agama sejatinya diturunkan Tuhan untuk memberikan rahmat bagi semesta (rahmatan li al-‘âlamîn).
Ketentuan hukum yang kita baca dalam buku-buku fikih klasik memperlihatkan adanya pandangan yang berbeda antara satu ahli fikih dengan ahli fikih yang lain, meskipun merujuk pada sumber hukum yang sama. Jika diteliti lebih mendalam, akan ditemukan bahwa perbedaan pandangan di antara mereka lebih disebabkan oleh konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya mereka yang berbeda. Imam Syafi’i sendiri dikenal mempunyai dua pandangan yang berbeda, yaitu mazhab atau qawl qadîm dan qawl jadîd. Qawl qadîm adalah pendapat Imam Syafi’i ketika berada di Baghdad, sedangkan qawl jadîd adalah pendapatnya selama hidup di Mesir. Kenyataan ini juga menunjukkan keterikatan fikih dengan ruang, waktu, dan konteks fikih dibentuk.
Jelaslah, pasal itu dibuat dalam rangka melindungi kepentingan perempuan. Perubahan ini tentu saja tidak bisa diartikan menentang ketentuan al-Qur`an maupun Hadits Nabi. Pasal ini justru menegakkan prinsip dan tujuan agama, yakni kemaslahatan dan keadilan. Ketentuan “talak harus diucapkan suami di depan sidang pengadilan” dewasa ini juga diikuti oleh sejumlah negara Islam, antara lain Maroko. Pasal 78 dan 79 Undang-Undang Perkawinan di Maroko yang dikenal dengan al-Mudawwanah menyebutkan bahwa “Perceraian harus berada dalam pengawasan pengadilan dan wajib bagi pihak-pihak yang hendak bercerai untuk mendapat izin dari pengadilan.”
III. Penutup
Trafficking sebagai suatu kejahatan memang cukup mengkhawatirkan bagi masyarakat kita, khususnya bagi kaum perempuan dan anak yang dijadikan target. Usaha penanggulangannya tidak bisa dilakukan setengah-setangah atau secara parsial dan tidak tersistematis. Islam sebagai agama sudah sejak dini telah mengantisipasi berbagai kemadharatan dengan berbagai macam prinsip yang tertuang dalam teks al-Qur’an dan al-Hadits, maupun melalui para mujtahid-mujtahidnya. Hal itu dapat dijadikan legitimasi bahwa perbuatan apa pun yang dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan manusia harus diharamkan atau dihindari dan bahkan harus dihilangkan. Beberapa contoh penalaran telah dilakukan oleh para ahli fikih generasi awal, sebagaimana disebutkan di atas. Oleh karena itu, meskipun teks-teks sumber fikih sangatlah terbatas, tetapi selalu ada jalan dan cara untuk menjawab problem sosial dan kemanusiaan yang demikian kompleks, beragam, dan berkembang sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi. Kerangka pandang fikih model ini tentu saja seharusnya bisa digunakan untuk menjawab problem trafficking yang kini menjadi fenomena kemanusiaan krusial dan membutuhkan jawaban dari fikih.
DAFTAR PUSTAKA
I0M.0IM, Pedoman untuk Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Trafficking dan Pertindungan terhadap Korban selama Proses Penegakan Hukum, 2005. .
Qadir, Faqihuddin Abdul, dkk, Fiqh Anti Trafficking, Cirebon, Fahmina Institute, 2006.
Rofiah, Nur "NU Menyikapi "Trafficking", KOMPAS, 4 September 2006.



0 komentar: