Monday, April 9, 2018

BEDAH MAYAT (autopsi) dalam pandangan Islam

Bedah mayat adalah usaha team dokter dalam pemeriksaan mayat dengan cara pembedahan, yang dikarenakan oleh suatu hal tertentu. Bedah mayat juga biasa di sebut otopsi. Ada tiga macam otopsi : (1) Otopsi Anatomis, yaitu otopsi yang dilakukan mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu Anatomi. (2) Otopsi Klinis, yaitu otopsi untuk mengetahui beberapa halyang terkait dengan penyakit (misal jenis penyakit) sebelum mayat meninggal. (3) Otopsi Forensik,yaitu otopsi yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap korban pembunuhan atau kematian yang mencurigakan, untuk mengetahui sebab kematian, menentukan identitasnya, dan sebagainya.

Perkataan bedah mayat, di maksudkan oleh  Dokter Arab dengan istilah,
تشريح جثث الموتى selanjutnya dapat dirumuskan definisinya sebagai berikut : Bedah mayat adalah suatu upaya team dokter ahli untuk membedah mayat, karena dilandasi oleh sesuatu maksud atau kepentingan-kepentingan tertentu.

  1. Motivasi Pembedahan Mayat

Ada beberapa motivasi yang melandasi, sehingga diadakan pembedahan mayat, antara lain :
a.       Untuk menyelamatkan janinyang masih hidup dalam rahim mayat.
Untuk mengatasi suatu kesulitan yang di alami oleh manusia, harus menggunakan akal-pikiran yang di sebut ijtihad dalam Islam, yang hasilnya selalu diperuntukkan kepada kemaslahatan umat, dengan ketentuan bahwa kemaslahatan umum lebih diutamakan daripada kemaslahatan perorangan. Begitu juga halnya kemaslahatan orang hidup lebih di utamakan daripada orang mati.
Maka apabila terjadi suatu kasus, dimana team dokter membedah perut si mayat, yang di dalam rahimnya terdapat seorang bayi yang masih hidup, maka dapat dilihat ketentuan hukumnya pada uraian berikut.[2]
b.      Untuk mengeluarkan benda yang berharga dari mayat.
Beberapa kasus yang sering terjadi di masyarakat, yang dapat mempengaruhi perkembangan hukum Islam antara lain : seseorang yang menelan permata orang lain, sehingga mengakibatkan ia meninggal. Selanjutnya, pemilik barang tersebut menuntut agar permata itu dapat di kembalikan kepadanya, tetapi tidak ada cara lain kecuali dengan membedah mayat itu untuk mengeluarkan benda tersebut dari padanya.[3]

c.       Untuk keperluan penelitian Ilmu Kedokteran
Islam sangat mementingan perngembangan ilmu pengetahuan di segala bidang kehidupan. Bertepatan pada zaman kegelapan yang melanda benua Eropa pada waktu itu, maka bangkitlah pemikir-pemikir muslim yang terkemuka yang mengagumkan pecinta ilmu pengetahuan di Negara Barat, antara lain : Al-Kindy, Al-Faraby, Ibnu Sina, Ibnu Mas’udy, Al-Wafaa, Al-Biruni dan Umar Hayyan. Namun demikian, umat Islam di abad sesudahnya mengalami kemunduran, sedangkan bangsa-bangsa Barat bangkit mempelajari ilmu-ilmu yang telah dirintis oleh sarjana muslim, yang akhirnya membawa mereka kepada kemajuan di segala bidang kehidupan.[4]
Salah satu cabang ilmu pengetahuan yang ada relevansinya dengan pembedahan mayat : yaitu ilmu anatomi, yang sebenarnya dasar-dasarnya sudah ada dalam Al-Qur’an sejak 14 abad yang lalu. Dan konsepsi inilah yang di kembangkan oleh sarjana muslim di abad pertengahan dan di pelajari oleh bangsa Barat lewat penelitian ilmiah. Konsepsi tersebut berbunyi :

... يَخْلُقُكُمْ فِيْ بُطُوْنِ أُمَّهَتِكُمْ خَلْقًا مِّنْ بَعْدِ خَلْقٍ فِيْ ظُلُمَتٍ ثَلاَثٍ ...
Artinya:
“……Ia menciptakan kamu dalam perut ibumu, penciptaan-penciptaan di dalam tiga kegelapan……”

Lafadz  فِيْ ظُلُمَتِ ثَلاَثٍ   di tafsirkan oleh Mufassirin di masalalu dengan tafsiran perut, rahim dan tulang belakang. Tetapi setelah ilmu pengetahuan mengalami kemajuan, maka sebenarnya yang di maksud dengan lafadz tersebut adalah Chorion, Amnion, dan dinding uterus.
Ketiga bagian dalam tubuh tersebut, teleh di pelajari oleh ahli anatomi, yang sebenarnya konsepsinya sudah ada sejak lahirnya agama Islam di bumi ini.
Oleh karebna itu orang Islam tidak mengembangkan konsepsi tersebutkarena menganggapnya sudah cukup karena bersumber pada Tuhan, maka kemudian orang Barat yang mengembangkannya dengan mengambil pedoman hasil study mereka, melalui karya-karya sarjana muslim tersebut di muka. Berarti orang Barat tidak mempelajarinya lewat Al-Qur’an, tetapi melalui tulisan-tulisan pemikir muslim yang hidup di abad pertengahan.[5]

  1. Hukum Bedah Mayat

1.      Mengenai Perusakan Anggota Badan Mayat, terdapat hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah, dari Aisyah, Nabi SAW bersabda :

كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَعَسْرِهِ حَيَّا (رواه أ حمد)
 “ Memecahkan tulang mayat (hukumnya) seperti memecahkan tulang orang hidup”. (HR. Ahmad dari Aisyah)

Hadits riwayat Ibnu Majah dan Ummu Salamah, Nabi SAW bersbda :

كَسْرُ عَظْمِ اْلمَيِّتِ كَعَسْرِ عَظْمِ حَيِّ فِيْ اْلاِثْمِ (رواه إتن ما جه)
“ Memecahkan tulang mayat seperti memecahkan tulang orang hidup dalam dosanya”. (HR. Ibnu Majah dari Ummu Salamah)

Hadits-hadits dinyatakan berkenaan dengan adanya orang-orang yang ketika menggali kubur, mendapatkan tulang-tulang mayat, yang kemudian di pecah-pecah. Perbuatan demikian dirasakan tidak senonoh dilakukan kepada tulang-tulang manusia. Adapun otopsi itu untuk keperluan pendidikan dokter, untuk praktik anatomi, untuk keperluan kehakiman di perlukan pembedahan tubuh mayat, dapat di lakukan atas dasar kebutuhan yang mendesak, kaidah menyatakan :

اْلحَا جَةُ تُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ
“ Keperluan (yang mendesak) di dudukkan setingkat dengan darurat”.[6]

2.      Ketentuan tentang Hukum tentang Pembedahan Mayat untuk Menyelamatkan Janin.
Di bolehkan dalam Islam membedah mayat yang didalam rahimnya terdapat janin yang masih hidup untuk menyelamatkannya. Maka urusan tersebut di serahkan kepada team dokter ahli untuk melaksanakannya, sekaligus merawat janin yang sempat di selamatkan itu. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa wajib hukumnya membedah mayat jika mengandung janin yang masih hidup. Karena janin tersebut tidak berdaya untuk menyelamatkan dirinya, maka orang yang hiduplah yang berkewajiban untuk menolongnya, meskipun dengan melalui pembedahan mayat.
Tentang membedah mayat untuk menyelamatkan janin yang ada dalam rahimnya, diterangkan oleh Abu IsAsy-Syirazy dengan mengatakan :

وَإِنْ مَاتَتْ إِمْرَ أَةُ وَفِيْ جَوْفِهَا جَنِيْنٌ حَتَى شُقَّ جَوْ فُهَا ِلأَتَهُ إِسْتِبْقَاءُ حَيٍّ بِإِتُلاَ فِ جُزْءٍ مِنَ اْلمَيِّت                                  
“Dan apabila ada seorang perempuan meninggal, padahal dalam perutnya terdapat janin yang masih hidup, maka (wajib) di bedah perutnya. Karena cara mempertahankan kehidupan (janin itu), ia harus dipisahkan dari mayat (ibunya)”.

3.      Ketentuan Hukum tentang Pembedahan Mayat untuk Mengeluarkan Benda yang Berharga dari Perutnya.
            Kalau pemilik barang mengajukan tuntutannya agar barangnya yang telah di telan itu harus kembali padanya, maka mayat itu wajib di bedah oleh team dokter ahli. Karena hal itu berkaitan dengan hak milik orang lain, yang dapat mengganggu mayat di alam kubur, sebab menjadi pertanyaan yang harus di jawabnya di hadapan malaikat Munkar dan Nakir.
            Selama barang itu belum di kembalikan kepada pemiliknya, selama itu pula mayat selalu tersiksa di kubur.
            Ketentuan hukum Islam tentang pembedahan mayat yang dalam perutnya terdapat benda berharga, diterangkan oleh Abu Ishaaq dan Asy-Syiraazy dengan mengatakan :

وَإِنْ بَلَعَ اْلمَيِّتُ جَوْ هَزَةً لِغَيْرِهِ وَمَاتَ وَطَالَبُ صَاحِبُهَا شُقَّ جَوْفُهَا
وَرُدَّتِ اْلجَوْ هَرَتُ وَإِنْ كَانَتِ اْلجَوْهَرَةُ لَهُ فَضِيْهِ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا
يُشَقُّ ِلأَنَّهَا صَارَةْ لِلْوَرَثَةِفَهِيَ كَجَوْ هَرَةِ الأَجْنَبِيِّ وَالتَنِى لاَ يَجِبُ
 ِلأَنَّهُ إِسْتَهْلَعَهَافِيْ حَيَا تِهِ غَلَمْ يَتَعَلَّقْ بِهَا حَقُّ اْلوَرَ ثَةِ
            Artinya :
Dan apabila si mayat telah menelan batu permata orang lain (yang menyebabkan) kematiannya, lalu pemilik (barang itu) menuntut agar dikembalikannya, maka (wajib) membelah perutnya, lalu di kembalikan batu permata itu. Dan apabila batu permata itu miliknya sendiri, maka terjadi dua macam ketepatan hukum : (1) diwajibkan membedahnya, karena barang itu menjadi milik pewarisnya. Maka di samakan ke duanya dengan batu permata orang lain. (2) Tidak wajib karena barang itu di anggap sudah hancur (habis) di masa hidupnya, maka tidak ada hubungannya dengan hak milik pewarisnya”.[7]

4.      Ketentuan Hukum tentang Pembedahan Mayat untuk Kepentingan Penegakan Hukum.
Peralatan modern kadang-kadang sulit membuktikan sebab-sebab kematian seseorang dengan hanya penyelidikan dari luar tubuh mayat. Maka kesulitan tersebut menjadi alasan untuk membolehkan membedah mayat sebagai wahana penyelidikan, karena di anggap sangat di hajatkan dalam penegakkan hukum. Hajat inilah yang membolehkan hal-hal yang di haramkan, sebagaimana maksud kaidah fiqhiyah yang berbunyi :

لاَ حَرَامَ مَعَ الضَّرُوْرَاتِ وَلاَكَرَاهَةَ مَعَ اْلحَا جَةِ
Artinya :
Tiada haram (bila) bersama darurat, dam tiada makruh (bila) bersama dengan hajat”.[8]

اَلْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِ لَةَ الضَّرُوْرَةِ عَامَّةً كَانَتْ اَوْ خَاصَّةً
Artinya :
“Hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat umum maupun hajat perorangan.”[9]

Salah satu tujuan menjatuhkan sangsi hukum kepada si terdakwa adalah memberikan didikan kepada mereka. Dan menekut-nakuti orang lain yang masih mempunyai niat seperti si terdakwa. Karena itu, menjatuhkan sangsi hukum, tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang tidak manusiawi, bahkan dalam Al-Qur’an memerintahkan menjatuhkan hukuman potong tangan bagi pencuri, karena Islam lebih mengutamakan ketentraman orang banyak daripada perorangan.
Kalau penegak hukum tidak mau mengusut kejahatan karena yang di aniaya sudah mati, lalu takut mengadakan pengusutan dengan melalui pembedahan mayat, maka berarti ia memberi jalan kepada penjahat untuk tidak takut beraksi. Padahal firman Allah berbunyi :

...... وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تََحْكُمُوْ ابِاالْعَدْلِ ....
Artinya :
“Bermaksud menjatuhkan hukum sejauh mungkin, meskipun melalui pembedahan mayat dan pembongkaran kuburan untuk mencapai keadilan”.[10]

Untuk melaksanakan masalah tersebut diatas, maka seharusnya penegak hukum bekerjasama dengan dokter ahli bedah yang dapat di percaya kejujurannya, agar mayat tersebut mendapatkan visum et repertum, sehingga dari hasil penyelidikan itu dapat memberi keterangan kepada penegak hukum untuk mengetahui pelaku tindak pidana itu.
5.      Ketentuan Hukum tentang Pembedahan Mayat untuk Keperluan Penelitian Ilmu Kedoteran.
Wajib kifayah bagi orang Muslim mempelajari ilmu-ilmu umum, antara lain, ilmu kedokteran, biologi, dan fisika, baik dengan melalui literature, maupun dengan praktikum dan penelitian, termasuk bedah mayat sebagai sarananya.
Kalau memang di butuhkan mayat sebagai sarana penelitian untuk pengembangan ilmu kedokteran, maka dalam Islam di bolehkannya. Karena pengembangan ilmu kedokteran, bertujuan untuk mensejahterakan umat manusia, sedangkan misi Islam sejalan dengan tujuan tersebut.
Begitu juga halnya agama Islam membolehkan suntikan paru-paru atau limpa mayat yang disebut dengan istilah mitpunctie untuk mencegah terjangkitnya penyakit yang di derita mayat, karena di nyatakan darurat di tempat yang bersangkutan. Sedangkan darurat membolehkan hal-hal yang di haramkan, sebagaimana maksud kaidah fiqhiyah yang berbunyi :

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَات                                             ِ
Artinya :
“Persoalan darurat itu membolehkan sesuatu yang diharamkannya”.[11]

Kebolehan membedah mayat dalam Islam, dilandasi oleh alasan bahwa memperbaiki nasib seseorang hidup lebih di utamakan daripada kepentingan orang yang sudah mati.










BAB III
KESIMPULAN

Bedah mayat adalah suatu upaya team dokter ahli untuk membedah mayat, karena di landasi suatu maksud atau kepentingan-kepentingan tertentu.
Motivasi pembedahan mayat :
a.       Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam rahim mayat
b.      Untuk mengeluarkan benda yang berharga dari mayat
c.       Untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran
Hukum pembedahan mayat di perbolehkan dalam hukum Islam, dan apabila dalam keadaan darurat maka hukumnya waji dilakukan.























DAFTAR PUSTAKA

  • Mahyuddin, 2003. Masa’il Fiqhiyah, Jakarta : Kalam Mulia.

  • TIM PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, 2003. Tanya Jawab Agama 4 cet ke-2. suara Muhammadiyah.

  • www. Konsultasi-Islam. Com


[1] www.konsultasi-islam.com
[2] Mahyuddin, Msa’ilul Fiqhiyah, (Jakarta : Kalam Mulia, 2003). hal. 106
[3] Ibid, h. 107
[4] Ibid, h. 108
[5] Ibid, h. 109
[6] TIM PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, Tanya Jawab Agama4, Suara Muhammadiyah, 2003, cet.ke-2, h. 259.
[7] Ibid, h. 111
[8] Ibid, h. 113
[9] Ibid, h. 113
[10] Ibid, h. 114
[11] Ibid, h. 115

0 komentar: