Tuesday, February 27, 2018

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ZAKAT PADI DI DESA TERBAN KECAMATAN WARUNGASEM KABUPATEN BATANG


 Zakat  merupakan  salah  satu  dari  rukun  Islam.  Zakat maal adalah zakat harta benda meliputi: emas, perak, tumbuh-tumbuhan (buah dan biji-bijian), dan barang perniagaan, binatang ternak, barang tambang dan barang temuan (harta karun) yang telah mencapai nishab. Makna nishab di sini adalah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan oleh syar’i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang memilikinya, jika telah sampai ukuran tersebut. Orang yang memiliki harta dan telah mencapai nishab atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakat.
Ketentuan kewajiban zakat padi di Desa Terban kecamatan Warungasem kabupaten Batang mendapat perhatian khusus dari  pemuka  agama (kiai) kepada masyarakat yang sudah mencapai nishab untuk  membayar zakat. Penekanan  itu berupa kewajiban  bagi seluruh masyarakat  desa yang panen padi untuk membayar zakat padi. Semua warga yang panen padi dan sudah mencapai nishab maka wajib mengeluarkan zakat dan kemudian di salurkan kepada panitia zakat padi.
Waktu pelaksanaan pembayaran zakat padi dikeluarkan pada saat musim panen, waktu pelaksaan ditentukan oleh panitia zakat padi. Setiap panen padi tiba maka panitia akan mengumumkan kepada masyarakat tentang kegiatan zakat padi. Setelah zakat padi terkumpul dari para muzaki maka zakat di bagikan kepada penerima zakat yang ada di Desa Terban yaitu fakir, miskin, dan sabilillah.
Para ahli fikih menyatakan bahwa wajib bagi para Imam mengirim petugas untuk memungut zakat karena Nabi Muhammad SAW dan para khalifah menugaskan para pemungut zakat. Di Indonesia otoritas negara sudah di wakili oleh suatu bentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ), di mana berdasarkan UU RI No. 23 Tahun 2011 yang merupakan hasil amandemen dari UU RI No.38 Tahun 1999, tentang pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat yang dikukuhkan pemerintah.[1]
Adapun nishabnya tumbuh-tumbuhan atau makanan pokok ialah 5 wasaq, berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
“Zakat itu tidak ada yang kurang dari 5 wasaq.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dalam menentukan nishab pertanian, ada beberapa pendapat tentang kadar nishab-nya; ada yang menyebutkan 520 kg beras, 750 kg, bahkan Komite Tetap Fatwa dan Penelitian Islam Saudi Arabia menetapkan 900 kg. Akan tetapi dalam penghitungan ini, penyusun buku 125 Masalah Zakat menggunakan dasar penelitian dan penghitungan Yusuf Qardhawi dalam Fiqhuz Zakah, yang menetapkan nishab hasil pertanian adalah 5 wasaq atau setara dengan 653 kg beras.[2] Ketentuan nishab ini pula yang dijadikan acuan para petani dalam menghitung zakat mereka.
Adapun ukuran yang dikeluarkan, bila pertanian itu didapatkan dengan cara pengairan (atau menggunakan alat penyiram tanaman), maka zakatnya sebanyak 1/20 (5%). Dan jika pertanian itu diairi dengan hujan (tadah hujan), maka zakatnya sebanyak 1/10 (10%). [3]
Hal ini juga sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya Nomor: 11/Kep./MUI-SU/I/2009 yang menjelaskan bahwa hasil pertanian padi wajib dizakati jika hasil panennya melebihi modal produksinya dan sampai satu nishab,maka dikeluarkan zakatnya 10 % (sepuluh persen) dari hasil bersih (setelah dikeluarkan biaya produksi).[4]

B.  Analisis Teknik Pengelolaan Zakat Padi di Desa Terban Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang.

Praktik zakat padi di Desa Terban juga mensyaratkan muzaki untuk membayarkan sejumlah uang untuk kebutuhan administrasi, pengemasan, serta transportasi beras zakat ke rumah para mustahik. Adapun besar biaya nya adalah Rp.500,- per 1 kilogram dari beras zakat yang diserahkan muzaki kepada amil.
Besaran biaya tersebut berdasarkan musyawarah dan mufakat antara panitia zakat (amil) dengan para muzaki. Sehingga pendistribusian zakat tersebut bisa berjalan dengan lancar.
Zakat yang dikelola oleh amil seharusnya hanya diserahkan kedalam golongan yang berhak menerima zakat bukan kepada golongan yang tidak menerima zakat. Ada delapan golongan yang mendapatkan bagian zakat. Sedangkan golongan yang tidak mendapat bagian zakat ada empat golongan, yaitu: Orang kaya dengan  harta atau kaya dengan  usaha  dan penghasilan, Keturunan Rasulullah Saw, Orang dalam tanggungan  yang berzakat, Orang yang tidak beragama Islam.[5]
Pelaksanaan  zakat padi di Desa Terban seharusnya dikelola dengan baik agar tidak bertentangan dengan ketentuan dari syariat Islam. Karena pelaksanaan zakat padi memberikan hikmah kepada beberapa elemen masyarakat. Bagi muzaki dapat menyucikan diri dari sifat bakhil dan tamak serta menumbuhkan rasa kepedulian terhadap sesama terutama kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang membutuhkannya dan dapat mengurangi mengurangi kecemburuan sosial sehingga kestabilan dan ketentraman masyarakat terjamin.

C.   Analisis Teknik Pendistribusian Zakat Padi di Desa Terban Kecamatan Warungasem Kabupaten Batang.
Adapun orang-orang yang berhak menerima zakat menurut firman Allah dalam surat al-Taubah ayat 60 ada 8 golongan yang bisa menerima zakat
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ
 وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ  ٠)التوبة: ٦٠)   
Artinya:  Sesungguhnya  zakat-zakat  itu,  hanyalah  untuk  orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang  yang  berhutang,  untuk  jalan  Allah  dan  untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”  (surat al-Taubah ayat 60)[6]

Berdasarkan ayat di atas orang-orang yang termasuk dalam golongan penerima zakat adalah fakir,  miskin, amil (pengurus zakat), muallaf (yang ditundukkan hatinya), riqab (budak), gharimin (orang yang berhutang), fi sabilillah (orang yang berada dijalan Allah) dan ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan).
Di Desa Terban dari delapan asnaf ini yang ada hanya 4 golongan yaitu: fakir, miskin, amil (pengurus zakat), dan fi sabilillah (orang yang berada/berjuang di jalan Allah). Guru  ngaji,  imam  masjid/mushola, guru MI dan Madrasah Diniyah serta muadzin termasuk dalam golongan fi sabilillah. Mereka digolongkan dalam fi sabilillah karena mereka berjuang menegakkan agama Allah. Hal ini sesuai dengan pendapat yang jumhur ulama bahwa fi sabîlillâh adalah orang menolong agama melalui jihad dengan jiwa, harta dan lisan.[7]
Dalam masalah pembagian  zakat  kepada  siapa  yang  harus diprioritaskan  untuk  menerima zakat, ulama berbeda pendapat  mengenai sasaran siapa yang harus diprioritaskan, ada tiga yang masyhur:
1.  Pendapat  yang  mewajibkan   dibagikannya   pada  asnaf     yang  delapan dengan rata. Ini adalah pendapat yang masyhur dari golongan Syafii.
2.  Pendapat  yang memperkenankan  membagikannya  kepada  asnaf delapan dan  mengkhususkannya   kepada   golongan   fakir.  Ini  adalah  pendapat jumhur.
3.  Pendapat  yang  mewajibkan  mengkhususkan  kepada  orang-orang  fakir saja. Ini adalah pendapat golongan Maliki, salah satu pendapat dari imam Ahmad, diperkuat oleh Ibnu Qayyim dan gurunya, yaitu Ibnu Taimiyah. Pendapat ini dipegang pula oleh imam Hadi, Qosim dan Abu Thalib, di mana  mereka  mengatakan  bahwa  zakat itu  hanyalah  diberikan kepada  fakir  miskin  saja,  tidak  kepada  yang  lainnya  dari  asnaf  yang delapan.[8]
Pendapat-pendapat di atas cukup memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan   zakat di ruang lingkup masyarakat, untuk itu Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa tidak mencegah kemungkinan tertutupnya kepada golongan asnaf yang lain dengan adanya kemungkinan-kemungkinan yang diperlukan.[9]
Zakat boleh diberikan  kepada golongan  asnaf yang lain tetapi lebih dikhususkan kepada fakir dan miskin. Penulis  berpendapat inilah yang paling  relevan  dan  sangat  kondusif  untuk  dilaksanakan  karena  pendapat tersebut lebih melihat kepada sisi kemaslahatan bagi semua aspek yang terkait dalam pembagian zakat padi.
Implementasi zakat padi di Desa Terban tentu mempunyai dampak positif baik bagi muzaki dan mustahik, manfaat tersebut yaitu:
1.    Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam yang berdiri di atas prinsip-prinsip persatuan, persamaan derajat, dan tanggung jawab bersama.
2.    Menjadi unsur penting dalam mewujudkan keseimbangan distribusi harta dan keseimbangan tanggung jawabindividu dalam masyarakat.
3.    Zakat mempunyai dimensi fungsi sosial ekonomi atau pemerataan karunia Allah dan juga merupakan perwujudan solidaritas sosial.
4.    Mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera sehingga hubungan antara sesama menjadi rukun, damai, dan harmonis, yang akhirnya dapat menciptakan situasi yang tentram dan aman, baik lahir maupun batin. [10]
Sedangkan untuk dampak negatif dari implementasi zakat padi di Desa Terban ini hampir tidak ada sama sekali. Karena zakat merupakan hal positif yang di syari’atkan oleh agama Islam, dan tentu Allah tidak akan mensyari’atkan suatu hal yang mempunyai dampak negatif.



















[1] M. Arif Mufraini, Akuntasi dan  Manajemen  Zakat, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 132.
[2] Al-Furqon Hasbi, 125 Masalah Zakat, Tiga Serangkai, Solo, 2008, hlm. 213.
[3] Aliy As’ad, Terjemah Fathul Muin Jilid 2, Menara Kudus, Kudus, 1999, hlm. 10.
[4] https://mui-sumut.org/ Fatwa-Zakat-Pertanian.pdf-2009.pdf
[5] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1994, hlm. 215.

[6] Tim Penyusun, Alquran Al-Karim................. hlm. 196.
[7] Abdullah Manshur al-Ghufaili,  Pengertian Fi Sabilillah, https://almanhaj.or.id/pengertian-fi-sablillh.html, diunduh pada tanggal 21 Januari 2018.
[8] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Alih Bahasa: Salman Harun, Penerbit Pustaka Litera Antar Nusa, Bogor, 2006, hlm. 848.
[9] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat…………….hlm. 848.
                [10] Al-Furqon Hasbi, 125 Masalah Zakat, Tiga Serangkai, Solo, 2008, hlm. 40.

0 komentar: