1.
Pengertian
Transplantasi Organ
Pencangkokan (transplantasi) ialah
pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan
organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila
diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidupnya
tidak ada lagi.[1]
Ada tiga tipe donor organ tubuh dan
setiap tipe mempunyai permasalahannya sendiri, yaitu:
1)
Donor dalam
keadaan hidup sehat. Tipe ini memerlukan seleksi yang cermat dan general check
up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap), baik terhadap donor maupun terhadap si
penerima (resipien), demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan
oleh karena penolakan tubuh resipien, dan sekaligus untuk mencegah risiko bagi
donor.
2)
Donor dalam
keadaan hidup koma atau diduga kuat akan meninggal segera. Untuk tipe ini,
pengambilan organ tubuh donor memerlukan
alat kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernafasan
khusus.
3)
Donor dalam
keadaan mati. Tipe ini merupakan tipe yang ideal, sebab secara medis tinggal
menunggu penentuan kapan donor dianggap meninggal secara medis dan yuridis dan
harus diperhatikan pula daya tahan organ tubuh yang mau diambil untuk
transplantasi.
Sampai saat
ini, transplantasi organ tubuh yang dibicarakan dikalangan ilmuwan dan
agamawan/ rohaniawan adalah mengenai tiga macam organ tubuh, yaitu mata, ginjal
dan jantung. Hal ini dapat di maklumi, karena dari segi struktur anatomis
manusia, ketiga organ tubuh tersebut sangatlah vital bagi kehidupan manusia.[2]
Namun, sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan modern dan tekhnologi yang
makin canggih, dimasa yang akan datang, transplantasi mungkin juga berhasil
dilakukan untuk organ-organ tubuh lainnya., milai dari kaki dan telapaknya
sampai kepalanya, termasuk pula organ tubuh bagian dalam, seperti rahim wanita.
2. Pandangan- pandangan yang menentang
Dua ulama terkemuka yang menulis
penolakan terhadap transplantasi organ manusia adalah almaarhum Mufti Muhammad
Syafi’ dari Pakistan dan Dr. Abd al salam al syukri dari mesir.
Mufti Syafi’ berpendapat bahwa
transplantasi organ tidaj diperbolehkan berdasarkan atas tiga prinsip:
a)
Kesucian Hidup/
Tubuh Manusia
Dari ajaran-ajaran yang tedapat
dalam al Quran, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia diperintahkan untuk
melindungi dan melestarikan kerhidupannya sendiri serta kehidupan orang lain.
Sebagai contoh, manusia dilarang melakukan bunuh diri.
………… Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu‘ ÇËÒÈ
“Janganlah kamu membunuh (atau
membinasakan) dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang
Kepadamu. “(Q.S. al-Nisa: 4 : 29)
b)
Tubuh Manusia
Sebagai Amanah
al
Quran (al isra : 70) menyatakan bahwa Allah SWT memuliakan manusia, yakni
menjadikan berguna baginya segala yang ada dilangit dan dibumi sebagai anugerah
dan kemurahan-Nya.
Disebutkan pula dalan al Quran surat al Balad ayat 8-9
óOs9r& @yèøgwU ¼ã&©! Èû÷üuZøŠtã ÇÑÈ $ZR$|¡Ï9ur Éú÷ütGxÿx©ur ÇÒÈ
“Bukankah kami telah memberikan kepadanya dua buah mata. Lidah dan
dua buah bibir”.(Q.S. al-Balad 8-9 )
Ayat
diatas menjelaskan bahwa Allah telah melengkapi manusia dengan segala apa yang
dibutuhkannya berkenaan dengan organ-organ tubuh.[3]
Pemahaman ini akan menuntun seseorang pada kesimpulan bahwa manusia tidak
memiliki hak untuk mendinorkan satu bagian pun dari tubuhnya karena organ-organ
tersebut pada dasarnya bukan miliknya, melainkan amanah yang dititipkan
kepadanya.
c)
Memperlakukan
tubuh manusia sebagai benda material
Ketidakbolehan
memperlakukan tubuh manusia sebagai benda material semata dapat dideduksikan
dari contoh berikut:
Pertama,
dalam fatwa Alamgariyyah, dinyatakan bahwa jika seseorang berada dimbang
maut akibat kelaparan, dan ia tidak
dapat menemukan bahkan daging bangkai binatang sekalipun untuk dimakan, dan
yang ada didekatnya hanyalah daging manusia, maka ia tetap tidak bileh
memakannya.[4]
3. Dalil-dalil syari’ yang memperbolehkan
transplantsi organ
Adapun dalil-dalil syari’ yang dapat dijadikan dasar untuk
membolehkan pencangkokan, antara lain:
a.
Al Quran Surat
Al Baqarah ayat 195
(#qà)ÏÿRr&ur ’Îû È@‹Î6y™ «!$# Ÿwur (#qà)ù=è? ö/ä3ƒÏ‰÷ƒr'Î/ ’n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä† tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ
“Dan
belanjakanlah (harta bendamu) dijalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri dalam kebinasaan, daqn berbuat baiklah, karena sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”(Q.S al Baqarah 195).
Ayat
tersebut secara analogis dapat dipahami, bahwa islam tidak membenarkan pula orang yang membiarkan dirinya dalam
keadaan bahaya maut atau tidak berfungsinya organ tubuh, yang secara medis
member harapan kepada yang bersangkutan untuk bisa bertahyan hidup dengan baik.
b.
Al Quran Surat
Al Maidah ayat 32
ô`ÏB È@ô_r& y7Ï9ºsŒ $oYö;tFŸ2 4’n?tã ûÓÍ_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) ¼çm¯Rr& `tB Ÿ@tFs% $G¡øÿtR ÎŽötóÎ/ C§øÿtR ÷rr& 7Š$|¡sù ’Îû ÇÚö‘F{$# $yJ¯Rr'x6sù Ÿ@tFs% }¨$¨Z9$# $Yè‹ÏJy_ ô`tBur $yd$uŠômr& !$uK¯Rr'x6sù $uŠômr& }¨$¨Y9$# $Yè‹ÏJy_ 4 ô‰s)s9ur óOßgø?uä!$y_ $uZè=ߙ①ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ¢OèO ¨bÎ) #ZŽÏWx. Oßg÷YÏiB y‰÷èt/ šÏ9ºsŒ ’Îû ÇÚö‘F{$# šcqèùÎŽô£ßJs9 ÇÌËÈ
“Dan barang siapa yang memelihara
kehidupan seseorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia
semuanya.”
Ayat ini menunjukkan bahwa islam
sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat menyelamatkan jiwa manusia.
Seorang yang menemukan bayi yang tidak berdosa yang dibuang disampah, wajib
mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya.[5]
Demikian pula seorang yang dengan ikhlas hati mau menyumbangkan organ tubuhny
setelah nmeninggal, maka islam membolehkan, bahkan memandangkan sebagai amal
perbuatan kemanusiaan yang tinggi nilainya, karena menolong jiwa sesama manusia
atau mebantu berfungsinya kembali organ tubuh sesamanya yang tidak berfungsi.
c.
Kaidah hukum
Islam
ا
لضر ر يز ا ل
"Bahaya itu
dilenyapkan/ dihilangkan"
Seorang
yang menderita penyakit jantung atau ginjal kang sudah mencapai stadium yang
gawat, maka ia menghadapi bahaya maut sewaktu-waktu.Maka mnurut kaidah hukum
diatas, bahaya maut itu harus ditanggukangi dengan usaha pengobatan. Dan jika
usaha pengobatan secara medis biasa tidak bisa menolong, maka demi
menyelamatkan jiwanya, pencangkokan jantung atau ginjal diperbolehkan dalam
keadaan darurat.Dan ini berarti, kalu penyembuhan penyakitnya bisa dilakukan
tanpa pencangkokan, maka pencangkokan tubuh tidak dikenakan.
Para ulama yang mendukung pembolehan
transplantasi organ tidak memberikan persetujuan mereka dengan tanpa syarat. Mereka memandang
kebolehan transplantasi organ harus dibatasi dengan ketantuan- ketentuan
berikut:
v Transplantasi organ tersebut adalah satu-satunya bentuk (cara)
penyembuhan yang bisa ditempuh
v Derajat keberhasila dari prosedur ini diperkirakan tinggi
v Ada persetujuan dari pemilik organ yang akan ditransplantasikan
atau dari ahli warisnya
v Kematian orang yang organnya akan diambil itu telah benar-benar
diakui oleh dokter yang reputasinya terjamin, sebelum diadakan operasi
pengambilan organ
v Resipien organ tersebut sudah diberitahu tentang operasi
transplantasi berikut implikasinya.[6]
III.
KESIMPULAN
Dalam
makalah ini dapat disimpulkan bahwa diperbolehkan mentransplantasikan organ
dari satu bagian ke bagian lain dari tubuh yang sama asalkan dapat dipastikan
bahwa keuntungan yang diperboleh dari prosedur ini lebih besar dari pada efek
buruk yang ditimbulkannya. Selain itu ditetapkan pula bahwa prosedur ini boleh
dilaksanakan untuk tujuan mengganti salah satu organ yang hilang, atau
memperbaiki bentuknya, atau mengembalikan fungsinya, atau memperbaiki yang
rusak atau menghilangkan bentuk yang cacat yang merupakan sumber penderitaan
batin maupun sakit fisik.
DAFTAR PUSTAKA
Mahsin,
Abu al fadl. Telaah fikih dan Biotika Islam. 2004. Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta.
Yasin,
Nu’aim, Fiqih kedokteran. 2001. Jakarta: Pustaka al Kautsar.
Zuhdi,
Masfuk. Masail Fiqhiyyah. 1997. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.
[1]
Masjfuk Zuhdi,
Masail Fiqhiyyah ( Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1997) hlm. 86
[2] Ibid. hlm. 87
[3] Abu al fadl
Muhsin, Telaah fiqh dan Biotika Islam, ( Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
2004) hlm. 84
[4]
Ibid. hlm.85
[5] Masyfuk Zuhdi,
Masail Fiqhiyyah ( Jakarta: PT Toko Gungung Agung, 1997) hlm. 90
[6] Dr. M. Nu’aim
Yasin, Fikih Kedokteran ( Jakarta: Pustaka Alkautsar, 2001) hlm. 162
0 komentar:
Post a Comment