Aborsi tidak melulu karena alasan kesehatan atau
penyakit yang diderita oleh seorang perempuan. Aborsi juga identik dengan
kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan yang tidak diinginkan itu antara
lain disebabkan karena pemerkosaan dan hamil diluar nikah.
Perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak
dikehendaki mengalami berbagai emosi seperti rasa panik, rasa malu, rasa takut
yang semuanya bercampur dalam dirinya. Disini perempuan mengalami dilema.
Dilema aborsi dihadapi perempuan ketika perlu memilih dan memutuskan sesuatu
yang secara langsung merupakan bagian dari dirinya. Pilihan seseorang perempuan
dipengaruhi oleh kondisi pribadi dan keluarganya, nilai-nilai agama dan budaya.
Disamping itu pandangan tentang aborsi adalah sesuatu yang beragam dan
perdebatan pro dan kontra yang masih terus bergulir tentang aborsi adalah
sesuatu yang kongkret harus dihadapi perempuan, bahkan seringkali harus dihadapi
seorang diri.
Tidak sedikit perempuan memilih aborsi terpaksa harus
mempertaruhkan nyawanya karena melakukan aborsi tak aman, yang dilakukan bukan
oleh ahlinya dan tanpa standar operasional prosedur kesehatan, serta
menghiraukan kesehatan alat reproduksi perempuan.
Beranjak dari uraian di atas, maka dalam makalah ini
dibahas tentang aborsi menurut pandangan Islam.
PENGERTIAN ABORSI DAN JENISNYA
Aborsi diserap dari bahasa Inggris yaitu Abortion yang berasal dari bahasa latin
yang berarti pengguguran kandungan. Aborsi menurut literatur fiqih berasal dari
bahasa Arab yaitu al-ijhadh yang
merupakan mashdar dari ajhada atau
juga dalam istilah lain bisa disebut dengan sqath
al-haml, keduanya mempunyai arti
perempuan yang melahirkan secara paksa dalam keadaan belum sempurna
penciptaannya.[1]
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, aborsi adalah terpencarnya
embrio yang tidak mungkin lagi hidup sebelum habis bulan keempat dari kehamilan
atau aborsi bisa didefinisikan dengan pengguguran janin atau embrio setelah
melebihi masa dua bulan kehamilan.[2]
Aborsi dalam perspektif medis didefinisikan sebagai
penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus) sebelum masa usia janin (fetus) mencapai 20 minggu. Pengertian aborsi menurut medis tersebut
berbeda dengan ahli fiqih, karena tidak menetapkan usia maksimal, baik
pengguguran kandungan dilakukan dalam usia kehamilan nol minggu, 20 minggu
maupun lebih dari itu dianggap sama sebagai aborsi. Pengertian aborsi menurut
para ahli fiqih seperti dijelaskan oleh Ibrahim al-Nakhai yang mengatakan bahwa
aborsi adalah pengguguran janin dari rahim ibu hamil baik sudah berbentuk
sempurna atau belum.[3]
Dalam istilah medis aborsi terdiri dua macam, yaitu :
- Abrosi spontan (Abortus Spontaneus)
Aborsi yang terjadi secara alamiah baik tanpa sebab tertentu maupun
karena sebab tertentu, seperti penyakit, virus toxoplasma, anemia, demam yang
tinggi dan sebagainya, maupun karena kecelakaan.
- Aborsi yang disengaja (Aborsi Proveatus)
Aborsi yang secara sengaja mencakup dua varian, yaitu :
a)
Aborsi
artificialis therapicus, yaitu sengaja aborsi yang penggugurannya dilakukan
oleh tenaga medis yang disebabkan adanya indikasi medis;
b)
Aborsi provocatus
criminalis, yaitu sejenis aborsi yang dilakukan tanpa ada penyebab dari
tindakan medis atau dengan kata lain bukan disebabkan persoalan kesehatan,
tetapi biasanya lebih disebabkan karena permintaan dari pasien.
Dalam literatur fiqih aborsi dapat digolongkan menjadi
lima macam,
yaitu :
a.
Aborsi spontan (al-isqath
al-dzaty)
b.
Aborsi karena darurat atau pengobatan (al-isqath al-dharury / al-‘iajiy)
c.
Aborsi karena khilaf atau tidak sengaja (khata’)
d.
Aborsi yang menyerupai kesengajaan (syibh ‘amd)
e.
Aborsi sengaja dan terencana (al-‘amd)[4]
HUKUM ABORSI
1.
Pada prinsipnya Islam mengharamkan segala bentuk
pengrusakan dan pembunuhan. Firman Allah SWT dalam surat Al-Isra’ ayat 33 :
“Dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang
benar”. (Q.S al-Isra’ : 33)
Para ulama fiqih
sepakat bahwa aborsi tidak boleh dilakukan sesudah janin berusia 120 hari (4
bulan). Kandungan yang sudah berusia 4 bulan itu dalam pandangan mereka sudah
merupakan wujud manusia hidup dengan segala kelengkapannya. Dalam pandangan
ini, pengguguran kandungan pada usia janin ini sebenarnya tidak disebut sebagai
aborsi, tetapi pembunuhan.
Sementara itu aborsi sebelum usia 120 hari (4 bulan).
Dikalangan para ulama terjadi perbedaan pendapat. Pendapat yang paling longgar
dikemukakan al-Hashkafi yang bermadzhab Hanafi, yang mengatakan bahwa aborsi
dapat dilakukan sebelum usia kandugnan 120 hari, karena alasan atau tidak.
Al-Karabasi dari madzhab Syafi’i, seperti dikutip Al-Ramli hanya membenarkan
aborsi ketika berupa nutfah (zygote).
Pendapat paling ketat dikemukakan oleh al-Ghazali yang mengharamkan aborsi
sejak terjadinya pembuahan.[5]
2.
Dalam kehidupan kita serta dihadapkan pada
pilihan-pilihan yang sulit. Pada persoalan pengguguran kandungan, misalnya ada
dua pilihan yang sama-sama berat. Menggugurkan kandungan dapat berarti membunuh
jiwa yang sudah hidup, tetapi membiarkannya terus hidup dalam perut ibunya
karena alasan tertentu boleh jadi mengakibatkan penderitaan atau bahkan
kematian ibu. Ada
satu kaidah yang berbunyi :
“Bahaya yang keras harus dihilangkan (dihindari) dengan (menempuh) bahaya
yang lebih ringan.”
Aborsi dapat dilakukan sepanjang pembiaran janin di
dalam perut ibu sampai kelahirannya dipastikan akan membahayakan dan mengancam
kelangsungan hidup ibu, dan kepastian ini didasarkan atas pertimbangan medis
oleh dokter ahli. Pandangan ini memperlihatkan bahwa keselamatan ibu lebih
diutamakan daripada janin.
Islam tidak membenarkan menyelematkan janin dengan
mengorbankan si ibu, karena keberadaan ibu lebih diutamakan mengingat dia
merupakan tiang/sendi keluarga dan dia telah mempunyai beberapa hak dan
kewajiban, baik terhadap Tuhan maupun sesama makhluk. Berbeda dengan si janin,
selama dia belum lahir di dunia dalam keadaan hidup, dia tidak/belum mempunyai
kewajiban apapun.[6]
3.
Bagi perempuan muslimah yang mendapatkan cobaan dengan
musibah, seperti pemerkosaan hendaklah dia memelihara janin tersebut. Apabila
janin tersebut lahir, maka janin tersebut adalah anak muslim. Rasulullah SAW
bersabda :
Untuk anak yang tidak ada bapaknya, sesungguhnya
adalah muslim tanpa diragukan lagi. Dalam hal ini bagi masyarakat muslim
seharusnya mengurus pemeliharaannya serta memberinya pendidikan yang baik.
Demikian juga pemerintah harus bertanggungjawab terhadap pemeliharaannya serta
memberinya pendidikan yang baik. Demikian juga pemerintah harus
bertanggungjawab terhadap pemeliharaannya melalui badan sosial tertentu.
. KESIMPULAN
Dari penjelasan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya aborsi adalah perbuatan yang dilarang. Hal ini karena Islam
mengharamkan segala bentuk pengrusakan dan pembunuhan, termasuk pembunuhan pada
janin atau aborsi.
Namun pada kondisi tertentu, ketika kehamilan tersebut
membahayakan ibu, bahkan mengancam nyawanya, maka Islam membolehkan
melakukannya sepanjang atas rekomendasi dari dokter yang benar-benar ahli dan
berkonsultasi dengan ulama dan para cerdik pandai.
Pertimbangan-pertimbangan yang diambil tidak boleh
dipisahkan dari tujuan untuk mewujudkan kemashlahatan terhadap ibunya, karena
ibu merupakan induk dari janin sehingga harus dilindungi dan dipertahankan.
Perlu diingat bahwa pertimbangan yang diambil itu sifatnya relatif dan tidak
bisa digeneralisir, karena kondisi yang dianggap darurat dan mashlahat bagi seorang
belum tentu sama dengan kondisi darurat dan mashlahat bagi orang lain.
Dengan demikian agama tetap menjadi acuan utama dalam
melihat aborsi, tanpa menghilangkan nilai-nilai moral, spiritual dan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Aibak, Kutbudin. 2009. Kajian Fiqh Kontemporer. Yogyakarta : Teras.
Anshor, Maria Ulfah. 2006. Fikih Aborsi. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
RI. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta : Balai
Pustaka.
Subhan, Zaitunah. 2008. Menggagas
Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta
: el Kahfi.
![]() |
[1]
Kutbudin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer,
(Yogyakarta : Teras. 2009), hlm : 83.
[2]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), hlm
: 2.
[3]
Maria Ulfah Anshor, Fiqih Aborsi, (Jakarta : Penerbit Buku
Kompas, 2006), hlm : 34.
[4] Ibid, hlm : 35 – 40.
[5]
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh
Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta
: el Kahfi, 2008), hlm : 176 – 177.
[6]
Katbudin Aibak, Op.Cit., hlm : 90.
0 komentar:
Post a Comment