Sedang ahli waris ialah sekumpulan orang atau seorang atau individu atau
kerabat-kerabat atau keluarga yang ada hubungan keluarga dengan si meninggal
dunia dan berhak mewarisi atau menerima harta peninggalan orang yang ditinggal
mati oleh seseorang ( pewaris ).
Dalam pengertian umum, anak pungut atau anak angkat biasanya
didefinisikan sebagai anak yang dipungut atau diangkat secara resmi oleh orang
lain dan disamakan dengan anak kandungnya sendiri baik dalam hak maupun
kewajiban. Selanjutnya untuk mengetahui berapa bagian waris bagi anak angkat
dan orang tua angkat. Selanjutnya akan dibahas dalam makalah ini.
1.
Pengertian Anak Angkat dan Orang Tua Angkat
Anak angkat disebut juga anak pungut adalah anak
yang dipungut atau diangkat secara resmi oleh orang lain dan disamakan dengan
anak kandungnya sendiri baik dalam hak maupun kewajiban, implikasinya,
pewarisan dan perwalian juga termasuk dalam hubungan pengangkatan itu.[1]
Sedangkan orang tua angkat adalah seseorang (
suami-istri ) yang mengangkat seorang anak secara resmi dan memperlakukan
sebagaimana anaknya sendiri.
Sementara itu, tujuan pemungutan atau pengangkatan
anak bermacam-macam. Bagi pihak yang mengangkat, anak itu dijadikan penerusnya,
jika ia tidak dikaruniai keturunan atau demi menolong sang anak yang
diangkatnya jika sang anak tersebut dalam posisi yang kurang atau tidak
menguntungkan. Kesimpulannya, tujuan pengangkatan anak adalah positif dan tidak
bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Tetapi, permasalahan yang dikandung dalam mekanisme
pemungutan anak, seperti dalam defisini ini, beberapa diantaranya bertentangan
dengan Islam, khususnya yang menyangkut soal nasab, perwalian anak, dan hukum
pewarisan. Karena itu, perlu ada penegasan dan kejelasan khusus tentang hal
ini.
2.
Dasar Hukum
Pengangkatan anak dengan menyamakan status anak
seluruhnya dengan anak kandung dilarang oleh Islam, meskipun tujuan tersebut
amat mulia. Hal seperti itu pernah terjadi dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW,
yakni ketika beliau mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak kandungnya. Allah
menegur Nabi SAW dengan menurunkan ayatnya :[2]
![]() |
![]() |
Artinya :
“Panggillah mereka dengan memakai nama bapak mereka, itu lebih adil
disisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka
panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama”. ( Al-Ahzab : 5 ).[3]
Para fuqoha menjadikan ayat tersebut sebagai dalil
haramnya mengangkat anak dan menganggap dia sebagai anak kandung dalam segala
hal. Tetapi, jika pengangkatan anak itu dipahami sebagai tujuan menolong dan
menyantuni kehidupan sang anak, Islam mempunyai hukum tersendiri tentang itu.
Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) pernah memberikan
keputusannya tentang hukum anak pungut, keputusan yang dikeluarkan pada tahun
1982 itu berbunyi “pemungutan atau pengangkatan anak dengan tujuan
pemeliharaan, pemberian bantuan yang sifatnya untuk kepentingan anak angkat
yang dimaksud adalah boleh”. Disini, tujuan pengangkatan bukan lagi demi
penyamaan status anak, tetapi karena asas tolong-menolong dan hukumnya jatuh
pada hukum tolong-menolong, yaitu boleh atau diharuskan.
Kesimpulannya, pengangkatan anak menurut hukum Islam
boleh ( mubah ) sejauh
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dari sini, soal penggunaan
istilah “anak angkat” boleh-boleh saja selama yang dimaksud dengan istilah itu
tidak mengandung kriteria yang dilarang Islam.[4]
3.
Hak Waris Anak Dan Orang Tua Angkat
Didalam Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) pasal 209
dinyatakan bahwa :
(1)
Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal
176 sampai dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua
angkat yang tidak menerima waisat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3
dari harta wasiat anak angkatnya.
(2)
Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.[5]
Mengenai hak waris anak angkat, Mahkamah Agung daerah
Kobanjahe di Karo-Batak dalam putusan kasasi tanggal 1 Nopember 1961, yang
memberi hak kepada seorang anak perempuan untuk turut mewarisi harta pencaharian
yang ditinggalkan oleh almarhum ayahnya.
Pengadilan Negeri Purworejo dalam putusannya tanggal
25 Agustus 1937, bagian 148 halaman 299 menerapkan bahwa barang pencaharian dan
barang gono-gini jatuh pada janda dan anak angkat, sedang barang asal kembali kepada
saudara-saudara si peninggal warisan, jikalau yang wafat itu tidak mempunyai
anak keturunannya sendiri.
Justru berhubung dengan disamakan atau hampir
disamakan anak angkat dengan anak kandung ini, maka para hakim harus hati-hati
dalam menentukan, apakah betul-betul ada terjadi suatu pengankatan anak atau
hanya pemeliharaan belaka dari seorang anak orang lain.
Pada hakekatnya seorang baru dapat dianggap anak
angkat, apabila orang yang mengangkat itu memandang dalam lahir dan batin anak
itu sebagai anak keturunannya sendiri.
KESIMPULAN
Anak angkat disebut juga
anak pungut adalah anak yang dipungut atau diangkat secara resmi oleh orang
lain dan disamakan dengan anak kandungnya sendiri baik dalam hak maupun
kewajiban. Sedangkan orang tua angkat adalah seseorang ( suami-istri ) yang
mengangkat seorang anak secara resmi dan memperlakukan sebagaimana anaknya
sendiri.
Para fuqoha menjadikan QS. Al-Ahzab : 5 sebagai dalil haramnya mengangkat
anak dan menganggap dia sebagai anak kandung dalam segala hal. Namun menurut
Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) jika
pengangkatan anak tersebut dengan tujuan pemeliharaan, pemberian bantuan
yang sifatnya untuk kepentingan anak angkat yang dimaksud, bukan lagi demi
penyamaan status anak, tetapi karena asas tolong-menolong maka hukumnya boleh,
sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Mengenai hak waris anak dan orang tua angkat diatur
dalam Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) pasal 209.
Demikain makalah dari kami semoga dapat menambah khasanh ilmu pengetahuan
kita. Tak lupa kami mohonkan ma’af jikalau ada kekurangan atau kesalahan dalam
penulisan makalah ini. Kritik dan saran yang konstruktif senantiasa kami terima
demi sempurnanya makalah ini. Wassalam.
DAFTAR PUSTAKA
v
Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH., Hukum
Warisan Di Indonesia, Sumur Bandung, 1991.
v
Luthfi Assyautanie, Politik, HAM dan Isu-Isu
Teknologi Dalam Fiqih Kontemporer, Pustaka Hidayah, Bandung, 1998.
v
Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemah.
v
M. Idris Ramulyo, SH, MH, Perbandingan
Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut KUHP ( BW ),
Sinar Grafika, Bandung, 1998.
v
Depag RI, KHI Di Indonesia, Jakarta,
2000.
MAKALAH HAK WARIS ANAK
DAN ORANG TUA ANGKAT
Disusun
guna memenuhi Tugas :
Dosen Pengampu : Bpk. Faryani fajar

Disusun
Oleh :
Falkhia rahmawati
23206261
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2010
[1]
Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH., Hukum Warisan Di Indonesia,
Sumur Bandung, 1991.
[2] Luthfi
Assyautanie, Politik, HAM dan Isu-Isu Teknologi Dalam Fiqih Kontemporer,
Pustaka Hidayah, Bandung, 1998.
[3] Depag
RI, Al-Qur'an dan Terjemah.
[4] M. Idris
Ramulyo, SH, MH, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan
Kewarisan Menurut KUHP ( BW ), Sinar Grafika, Bandung, 1998.
[5]
Depag RI, KHI Di Indonesia, Jakarta, 2000.
0 komentar:
Post a Comment