Para sarjana Ilmu
Alam mengatakan bahwa segala sesuatu (kebanyakan) terdiri dari dua pasangan.
Misalnya air yang kita minum (terdiri dari oksigen dan hydrogen), listrik (ada
positif dan negatifnya) dan sebagainya.
Manusia adalah makhluk yang lebih diutamakan oleh
Allah dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah telah menetapkan
adanya aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang tidak
boleh dilanggar.
Diantara permasalahan tentang perkawinan yang dari
dulu sampai sekarang harus diperbincangkan adalah perkawinan beda agama atau
lintas agama. Bagaimana sebenarnya syari’at memandangnya??
Makalah ringkas ini akan mencoba menjawabnya.
Nikah adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan
antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak
dan kewajiban antara keduanya.
Dalam pengertian yang luas, pernikahan merupakan suatu
ikatan lahir antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu
rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan
syri’at Islam.[1]
UU No. 1 thun 1974 memberikan pengertian, pernikahan
adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita dalam sebuah rumah tangga
berdasarkan tuntutan agama.
Berkaitan dengan pembahasan dalam makalah ini tentang
pernikahan beda agama, pernikahan orang Islam (pria/wanita) dengan non Islam
(pria/wanita) lazimnya disebut perkawinan beda/antar agama. Pernikahan beda
agama yang dimaksud ini dapat terjadi antara: (1) Calon istri beragama Islam,
dan calon suami tdak beragama Islam,baik dari kalangan ahli kitab maupun
musyrik; (2) Calon suami beragama Islam dan calon istri tidak beragama Islam,
baik dari kalangan ahli kitab maupun umat musyrik.
Adapun hukum perkwinan beda agama ini dapat dirinci
sebagai berikut:
Pertama, apabila pernikahan beda agama terjadi antara
perempuan yang beragama Islam dan laki-laki yag tidak beragama Islam baaik
calon suami termasuk ahli kitab ataupun musyrik maka para ulama sepakat
hukumnya haram dan tidak sah berdasarkan firman Alah dalam Q.S Al Baqarah 221:
“Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran”
Kedua, apabila perkawinan itu terjadi antara laki-laki muslim dengan
perempuan musyrik, para ulama juga sepakat hukumnya haram dan tidak sah
berdasarkan dalil di atas. Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang muslim
laki-laki tidak boleh kawin dengan perempuan musyrik, begitu juga sebaliknya
karena ada perbedaan yang sangat jauh antara kedua kepercayaan tersebut. Disatu
pihak mengajak ke surga sedang pihak lain mengajk ke neraka.
Ketiga, apabila perkawinan terjadi antara laki-laki beragama Islam dan
perempuan yang tergolong ahli kitab, maka oleh Al Qur’an diperbolehkan. Mereka
ini masih dinilai sebagai orang yang beragama samawi sekalipun agama itu sudah
dirubah dan diganti.[2]
Untuk itulah makanannya boleh kita makan dan perempuan-permpuannya boleh
kita nikahi. Seperti Firman Allah Q.S Al Maidah ayat 5:
”Pada
hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat termasuk orang-orang merugi.”
[402] ada yang mengatakan wanita-wanita yang
merdeka.
Diantara hikmah diperbolehkannya perkawinan pria muslim dengan wanita
ahli kitab karena pada mulanya dan hakikatnya agama Kristen dan yahudi ini satu
rumpun dengan agama Islam memperbolehkan seorang laki-laki muslim kawin dengan
wanita kitabiyah dengan tujuan terebarnya agama Islam. Islam menghendaki agar
umatnya menyebarkan agama Islam dikalangan ahli kitab dengan cara yang
bijaksana.[3]
Dakwah kepada ahli kitab disamping dilakukan dengan lisan dapat pula dilakukan
dengan perbuatan, bahkan dakwah dengan perbuatan itu lebih besar pengaruhnya,
lebih mudah dimengerti dari pada dakwah dengan lisan.
Meskipun demikian, patut direnungkan dan ditimbang kembali aspek mudlarat
dan maslahat yang terdapat pada perkawinan beda agama. Karena pada prinsipnya
dalam menentukan hukum syari’at kita harus kembali kepada konsep maqasidusy syari’ah yang menurut
pertimbangan dan prioritas kemaslahatan. Diantara pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, kaidah fiqh saad adz-dzari’ah
yang menekankan sikap antisipasi berdasarkan pengalaman dan analisis psikologis
dan sosiologis untuk mencegah bahaya terjadinya pemurtadan dan hancurnya rumah
tangga akibat konflik ideologis dan akidah akibat perkawinan beda agama.
Kedua, kaidah fiqh dar’ul mafasid
maqaddimun ‘ala jalbil masholih yang mengajarkan skala prioritas dalam
menentukan pilihan hidup, yaitu bahwa mencegah dan menghindari mafsadah
(mudharat) atau risiko yang dalam hal ini dapat berupa kemurtadan dan broken home, harus diutamakan dari pada
harapan mencari manfaat dan kemaslahatan berupa menarik pandangan hidup dan
anak-anak keturunan nantinya serta keluarga besar pasangan hidup yang berbeda
agama untuk masuk Islam.
Ketiga, pada prinsipnya antara lain menghramkan perkawinan antara seorang
beragama Islam dan seorang tidak beragama Islam (Al Baqarah: 221), sedangkan
adanya izin kawin seorang pria muslim dengan wanita dari ahli kitab berdasarkan
surat Al Maidah
ayat 5 hanyalah secara rukhsah, yakni bergantung kualifikasi iman, Islam dan
kepribadian pria muslim tersebut haruslah bagus.[4]
Dengan demikian, alangkah bijaksananya bila kita mengingat pertimbangan
Umar bin Khattab r.a yang meneegaskan agar umat Islam menghargai komunitas
Islamnya dalam memilih pasangan hidup. Bukanlah masih banyak muslim dan
muslimah yang baik-baik yang pantas dinikahi. Dan suatu sikap yang kurang
bijaksana dan tidak adil bila meninggalkan identitas muslimah yang shalihah
untuk dijadikan pendamping hidupnya diluar komunitas umat Islam.
Demikin makalah saya tentang prnikahaan beda agama. Dapat saya simpulkan
bahwa hukum dari pada pernikahan beda agama adalah sebagai berikut:
1. Apabila
pernikahan terjadi antara perempuan yang beragama Islam dengan laki- laki musyrik atau laki-laki muslim dengan
perempuan musyrik, maka hukumnya adalah
haram berdsarkan surah Al Baqarah ayat 221.
2. Apabila
pernikahan terjadi antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab maka
diperbolehkan (Al Maidah: 5), tetapi bagi perempuan haram menikah dengan
laki-laki ahli kitab.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Budi, Utomo Setiawan. 2003. Fiqh Aktual, Jakarta,
Gema Insani Press.
2.
Hamdani, H.S.A. 1980. Risalah Nikah, Pekalongan, Raja Murah.
3.
Qardhawi, Syeh Yusuf. 1980. Halal dan Haram Dalam Islam, PT. Bina Ilmu.
4.
Rifa’i, Muhammad. 1989. Fiqh Untuk Madrasah Aliyah, Semarang,
CV. Wicaksana.
0 komentar:
Post a Comment