Pembicaraan tentang euthanasia
boleh jadi tidak pernah tuntas. selalu saja ada masalah dan pertanyaan, karena
euthanasia menyangkut masalah hidup dan mati. Meskipun demikian, euthanasia
telah banyak dilakukan sejak zaman dahulu kala dan memperoleh dukungan beberapa
tokoh besar dalam sejarah, seperti plato yang mendukung tindakan bunuh diri
untuk mengakhiri penderitaan akibat penyakit yang dialaminya. Di beberapa
negara barat, euthanasia sudah tidak dianggap sebagai suatu pembunuhan lagi.
Bagaimana pandangan Islam
tentang euthanasia? Dalam pertanyaan tersebut akan dijawab dalam makalah ini.
Di sini kami mencoba memaparkan mengenai euthanasia, macam-macam euthanasia,
dan bagaimana euthanasia dalam perspekif Islam.
A. Pengertian Euthanasia
Euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian
seseorang yang sengaja tanpa merasakan sakit, karean kaish sayang dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit.[1]
Dalam kode etik kedoktera Indonesia, kata
euthanasia diperguanakn dalam 3 arti:[2]
1. Berpindah ke alam baka dengan dan aman
tanpa penderitaan dan gaji mereka yang beriman mengucapkan nama Allah.
2. Waktu hidup akan berakhir dengan diringankan
penderitaan si sakit dengan memberikan obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan si sakit dengan
sengaja atas permintaan pasien sendiri atau permintaan keluarga .
Dari beberapa definisi mengenai euthanasia
tersebut, terdapat tiga unsur yang terkandung disana:[3]
1. Bahwa euthanasia tersebut ialah suat
perbuatan yang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang.
2. Bahwa perbuatan tersebut terdorong oleh
keinginan untuk membebaskan orang lain dari suatu penderitaan yang
berlarut-larut.
3. Bahwa perbuatan tersebut dilakukan karena
permintaan yang sangat dari korban
B. Pembagian Euthanasia
Euthanasia dibagi menjadi dua :[4]
1. Euthanasia positif
Ialah tindakan memudahkan kematian si sakit karena
kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Contoh:
Seseorang menderita kangker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga
penderita sering pingsan. dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia.
kemudian yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya. tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus.
2. Euthanasia Negatif
Pada Euthanasia negatif tidak dipergunakan
alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit,
tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.
Contoh:
Penderita kangker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan
koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit
pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan
penyakit paru-paru yang jika tidak diobati akan dapat mematikan penderita.
Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat
kematiannya.
C. Euthanasia dalam Perspektif Islam
Menghilangkan nyawa orang lain, dengan disengaja,
baik dengan motif dibebaskan orang lain dari suatu penderitaan yang
berlarut-larut, ataupun motif-motif yang tidak di benarkan oleh agama, adalah
suatu pembunuhan, yang paling mudah dilakukan oleh seorang dokter, baik dengan
suntikan maupun tablet atau jenis bahan kimia lainya, di indonesia orang yang
menghilangka nyawa orang lain, diancam oleh KUHP pasal 338 dan pasal 34. memang
ada sebagian sarjana yang membolehkan euthanasia yang melihat manusia dari segi
the self righ of self determination menentukan hidupnya sendiri.[5]
Seseorang mempunyai hak untuk hidup. Namun untuk
apa dia hidup? oleh karena itu
kebebasanpun mesti dilindungi undang-undang. Apabila kebebasan,
menetukan hidup umpama telah dibatasi oleh Undang-undang, hal-hal yang berada
diluar undang-undang bukan lagi bernama hak. Allah telah mengatur Undang-undang
bagi manusia. dan Dia-lah yang menjadikan kita hidup dan Dia pulalah yang
menentukan kematian kita. [6]
هُوَ يُحْيِ وَيُمِيْتُ وَاِلَيْهِ
تُرْجَعُوْنَ
Artinya:
“Dialah Allah yang menghidupkan dan mematikan dan
kepada-Nya lah kamu semua akan kembali.”(Qs Yunus: 56)
Didalam
Al-Qur’an surat Al-muluk ayat 2, diingatkan bahwa hidup dan mati adalah
ditangan Tuhan yang ia ciptakan untuk menguji iman, amalan, dan ketaatan
manusia terhadap Tuhan, penciptanya.karena itu, islam sangat memperhatikan
keselamatan hidup dan kehidupan manusia itu, islam menetapkan berbagai norma
hukum perdata dan pidana beserta saksi-saksi hukumanya. baik didunia berupa
hukuman had dan qisas termasuk hukuman mati, diyad (denda), ta’zir ialah
hukuman yang ditetapkan oleh ulil amri atau lembaga peradilan, maupun hukuman
diakhirat berupa siksaan Tuhan di neraka kelak.[7]
Karena hidup dan mati itu itu ada di tangan Tuhan dan
merupakan karunia dan wewenang Tuhan, maka Islam melarang orang melakukan
pembunuhan, baik terhadap orang lain (kecuali dengan alasan yang dibenarkan
oleh agama) mapun terhadap dirinya sendiri (bunuh diri) dengan alasan apapun.[8]
Firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 29-30:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu‘ ÇËÒÈ `tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ $ZRºurô‰ãã $VJù=àßur t$öq|¡sù ÏmŠÎ=óÁçR #Y‘$tR 4 tb%Ÿ2ur šÏ9ºsŒ ’n?tã «!$# #·ŽÅ¡o„ ÇÌÉÈ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa
berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan
memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Memudahkan proses kematian secara aktif (euthanasia posistif) seperti pada
contoh tidak diperkenankan oleh syara’, sebab yang demikian itu berarti dokter
melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat
kematiannya melalui pemberian obat secara over dosis. Maka dalam hal ini,
dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara seperti tersebut dalam
contoh, dengan pemberian racun yang keras, dengan penyengatan listrik, ataupun
dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram
hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.[9]
Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori
pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si dakit dan
untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidak lebih
pengasih dan penyayang dari pada Dzat yang menciptakannya. Karena itu,
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta’ala. Karena Dialah yang memberi
kehidupan kepada manusia dan mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah
ditetapkan-Nya.[10]
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif
(euthanasia negatif) sebagaimana dikemukakan dalam contoh, maka hal itu
berkisar pada “menghentikan pengobatan” atau tidak memberikan pengibatan. Ini
didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada
gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah
(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab akibat.[11]
Mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya
menurut jumhur Fuqoha dan imam-imam madzhab. Bahkan menurut mereka, mengobati
atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya
segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat
imam Syafi’i dan imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu
Taimiyah dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).[12]
Pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib
apabila penderita dapat diharapkan kesembuhanyya. Sedangkan jika sudah tidak
ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang
diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya –yaitu para dokter– maka tidak ada
seorangpun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.[13]
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara
pengobatan –dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan
sebagainya, atau menggunakan alat pernafasan buatan dan lainnya sesuai dengan
penemuan ilmu kedokteran modern– dalam waktu yang cukup lama, tetapi
penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu
tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak
mengobatinya), itulah yang wajib atau mustahab.[14]
Maka memudahkan proses kematian semacam ini tidak
seyogyanya diembel-embeli dengan istilah membunuh karena kasih sayang karena
dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya
meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai
sanksi.[15]
Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaz dan
dibenarkan syara’ –bila keluarga penderita mengizinkannya– dan dokter
diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya. Insya
Allah.[16]
BAB III
KESIMPULAN
Islam menunjukkan
bahwa bunuh diri itu dilarang keras dengan alasan apapun. Misalnya, seseorang
menderita penyakit yang sudah tidak ada harapan sembuh secara medis, Islam
tetap tidak membolehkan si penderita menghabisi nyawanya, baik dengan tangannya
sendiri maupun dengan bantuan orang lain, sekalipun dokter dengan cara memberi
suntikan atau obat yang dapat mempercepat kematiannya (euthanasia positif) atau
dengan cara menghentikan segala pertolongan terhadap si penderita termasuk
pengobatannya (euthanasia negatif), sebab penderita yang menghabisi nyawanya
dengan tangannya sendiri atau dengan bantuan orang lain itu berarti ia
mendahului atau melanggar kehendak dan wewenang Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Qadhawi,
Yusuf dan As’ad Yasin. 1995. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jakarta: Gema
Insani Press
Thaha,
Ahmadie. 1983. Kedokteran dalam Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu
Zuhdi,
Masjfuk. Drs. 1997. Masailul Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam. Jakarta:
PT. Joko Gunung Agung
[1] Yusuf Qardhawi
dan ‘As’ad asin, Fatwa-fatwa Kontemporere, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 749.
[7] Drs. Masifuk Zuhdi, Masailul Fihiyah, Kapita Selekta Hukum
Islam, (Jakarta: PT. Joko
Gunung Agung, 1997), h. 161
0 komentar:
Post a Comment