Dewasa ini, trafficking
merupakan isu yang paling aktual dan fenomenal, bukan sekadar di Indonesia,
melainkan juga di dunia. Trafficking telah dipandang sebagai kejahatan
lintas negara (transnasional) yang terorganisir. Laporan PBB menyebutkan ada 150 juta
perempuan dan anak diperdagangkan setiap tahunnya untuk berbagai keperluan
kejahatan, termasuk prostitusi. Surya Chandra Surapati, Wakil Ketua Komisi VII
DPR RI periode yang lalu, seperti dikutip Majalah Tempo, 10 Juli 2003,
mengemukakan saat ini di Indonesia rata-rata 750 ribu sampai 1 juta perempuan
dan anak diperdagangkan per tahun. Dalam hitungan jumlah, angka ini meningkat
secara cepat dibandingkan dengan jumlah pada tahun 1998. Data pasti tentang trafficking
sesungguhnya sulit diketahui. Namun sangatlah pasti, ini fenomena gunung es.
Sebagai bentuk perdagangan gelap (tersembunyi), data trafficking hanya
terbaca pada kasus-kasus yang dilaporkan saja, sementara realitas sebenarnya
yang sulit diungkap pasti lebih besar dari jumlah yang dilaporkan. Kenyataan
ini tentu saja sangat mencemaskan kehidupan kita dan membahayakan generasi
manusia di masa yang akan datang.
Kasus-kasus
tersebut menggambarkan bahwa babak baru sistem perbudakan mulai terlihat dengan
wajah baru. Hal ini sangat sulit sekali ditanggulangi atau dicegah, karena
jaringannya yang cukup luas dan rapih, meskipun dalam semua ajaran agama,
termasuk Islam dan kesepakatan internasional sistem perbudakan telah
dihapuskan. Oleh karena itu, untuk mengatasinya membutuhkan kerja ekstra dari
berbagai komponen dan lapisan masyarakat.
Definisi Trafficking
Kata “trafficking”
sebenarnya adalah pengindonesiaan dari istilah dalam bahasa Inggris “trafficking
in human” atau “trafficking in person” yang diperpendek menjadi “trafficking”
saja. Secara sederhana, trafficking dipahami sebagai perdagangan
manusia, lebih khusus lagi perdagangan perempuan dan anak, karena perempuan dan
anak dalam kenyataannya adalah kelompok yang paling rentan dari tindak
kejahatan ini. Oleh banyak orang, trafficking disebut sebagai cara
baru sistem perbudakan atau perbudakan moderen.
Definisi di atas
memperlihatkan kepada kita bahwa trafficking merupakan suatu bentuk
kejahatan kemanusiaan yang sangat kompleks dan mengerikan. Trafficking
tidak lagi sekadar praktik perbudakan manusia oleh manusia sebagaimana telah
terjadi pada masa lalu, melainkan prosesnya dilakukan dengan tindakan
kekerasan, penindasan, kekerasan fisik, mental, seksual, sosial, dan ekonomi,
dengan modus yang sangat beragam, mulai dengan cara yang halus seperti bujukan
dan penipuan sampai dengan cara yang kasar seperti paksaan dan perampasan. Trafficking
dengan begitu juga merupakan tindak pelanggaran hak asasi manusia.
Faktor-Faktor Terjadinya Trafficking
Sebagai negara
berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia seharusnya memberikan penghargaan yang
tinggi terhadap hak asasi manusia dan melindungi warganya dari segala tindak trafficking,
karena Islam yang dianut mayoritas penduduknya menjunjung tinggi hak asasi manusia
dan dengan demikian menentang tindak trafficking. Namun, dalam
kenyataannya sangat ironis. Negara Pancasila ini masuk dalam katagori tier
ke-III bersama 18 negara lainnya atau disebut bagian dari negara-negara
terburuk dalam penanganan trafficking.
Ada sejumlah
faktor mengapa trafficking marak terjadi di Indonesia. Faktor
pendorong utama adalah kemiskinan. Diperkirakan 40 dari 210 juta penduduk
Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Kantong-kantong kemiskinan dari 40
juta penduduk Indonesia berada di daerah pedesaan. Faktor penyebab lainnya
adalah tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, khususnya perempuan, usia
perkawinan di bawah umur (<18 akibat="" bertambahnya="" dalam="" dan="" desa="" di="" jumlah="" kekerabatan="" kekerasan="" kemiskinan.="" laki-laki="" lapangan="" longgarnya="" munculnya="" pekerjaan="" penganggur="" perceraian="" polarisasi="" rumah="" sempitnya="" sistem="" span="" tahun="" tangga="" tinggi="" tingkat="" yang="">
Di lain pihak,
globalisasi, perkembangan mode, serta kemajuan teknologi transportasi dan
informasi telah membuat dunia terbuka hampir tanpa batas. Setiap saat manusia
bisa bergerak dalam wilayah edar yang luas dan terbuka. Seorang perempuan lugu,
seperti Lisa Bonet yang lahir tumbuh dan besar nun jauh di pedalaman wilayah
timur Indonesia, ditemukan menjadi korban kekerasan pembantu rumah tangga di
Malaysia. Casingkem, seorang perempuan dari Indramayu, menjadi korban
penculikan di daerah konflik Irak.
Tampaklah,
faktor-faktor di atas telah mendorong dan menggerakkan banyak perempuan,
terutama remaja perempuan yang berharap keluar dari kemiskinannya dan tergoda
dengan moleknya keindahan dunia, menyerah dan tidak berdaya kepada siapa saja
yang "menawarkan jasa" menyelamatkan hidup mereka dengan pekerjaan
dan iming-iming upah yang besar.
Di samping
alasan-alasan di atas, terdapat alasan lain yang mendasar, yakni ketimpangan
relasi laki-laki dan perempuan. Fenomena perdagangan perempuan tak dapat
dipisahkan dari fenomena kekerasan terhadap perempuan yang semakin hari semakin
besar jumlahnya. Kekerasan terjadi pada umumnya ketika relasi sosial dan relasi
kuasa berlangsung timpang akibat kuatnya budaya patriarkhi—menempatkan
perempuan sebagai subordinat dan makhluk kelas dua. Perempuan dalam relasi yang
tidak setara ini dikondisikan menjadi manusia tak berdaya, penuh ketergantungan
kepada laki-laki, dan pada gilirannya “dimanfaatkan”, dieksploitasi, dan
diperdagangkan secara tidak manusiawi.
Pertanyaan
mendasar adalah bagaimanakah penghilangan kemanusiaan kaum perempuan ini bisa
terjadi tanpa henti di hadapan seluruh ajaran agama, tuntunan moral, hukum
perundang-undangan, dan tata kesusilaan yang semuanya mengajarkan dan mengajak
kepada kebaikan, kemuliaan, dan kehidupan yang bermartabat?
Trafficking dalam
Pandangan Islam
Merujuk pada
definisi dan fakta trafficking di atas tampak bahwa dimensi kejahatan trafficking
demikian kompleks, meliputi berbagai bentuk pelanggaran hukum dan kejahatan
kemanusiaan: mulai dari tindakan bujuk rayu, menawarkan iming-iming, janji
palsu, sampai pemaksaan, kekerasan, eksploitasi, penyerangan fisik, psikis, dan
seksual, pengambilan organ tubuh, serta bentuk-bentuk pelanggaran lain yang
sangat merendahkan martabat kemanusiaan. Bisa dikatakan bahwa trafficking
adalah kejahatan yang menghimpun sejumlah pelanggaran kemanusiaan dan moral
yang berlapis-lapis, terpenggal-penggal, tetapi berangkai, berkait kelindan,
dan melibatkan banyak pihak.
Meskipun
beberapa organisasi keagamaan telah mulai mempedulikan situasi ini, tetapi
kejahatan kemanusiaan ini belum dipersoalkan sebagai bahaya yang wajib
diwaspadai oleh semua pihak. Dalam amatan kami, belum seorang pun dari tokoh
agama, organisasi keagamaan, atau departemen agama yang menyerukan keharaman
dan kemungkaran tindak trafficking. Dalam kaitan dengan korban trafficking,
alih-alih mendampingi, memberikan konseling keagamaan yang menentramkan dan
membebaskan korban dari persoalan, atau mengadvokasi korban, malah tokoh-tokoh
agama mengeluarkan fatwa larangan perempuan keluar tanpa mahram dan larangan
perempuan bekerja ke luar negeri, suatu fatwa yang jauh dari konteks dan akar
persoalan.
Patut
diapresiasi, pada Musyawarah Nasional Alim-Ulama organisasi Nahdlatul Ulama di
Surabaya pada 28-31 Juli 2006 telah mengagendakan pembahasan trafficking
sebagai salah satu dari sepuluh agenda utama. Sayangnya, isu trafficking
hanya dibicarakan secara umum dan belum menjadi keputusan resmi Munas-NU
tersebut. Pembahasan dilanjutkan pada Selasa, 15 Agustus 2006, di kantor PBNU
Jalan Kramat Raya Jakarta. Dalam pembahasan lanjutan ini, NU telah melahirkan
fatwa yang sangat tegas terhadap pengharaman segala tindak kejahatan trafficking.
Ada dua isi
fatwa penting yang dikeluarkan NU. Pertama, mengharamkan eksploitasi
selama proses perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang itu, baik yang
dilakukan dalam negara maupun antarnegara. Kedua, mewajibkan semua
pihak, pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat mencegah trafficking
dan melindungi korban. Selain itu, fatwa NU juga
merekomendasikan agar PBNU beserta seluruh badan otonom dan lembaganya dari
pusat hingga daerah untuk melakukan gerakan bersama menolak trafficking.
Mencermati semua
kondisi ini, tetap dipandang perlu adanya wacana keislaman yang dikaitkan
dengan segala upaya untuk meminimalisasikan tindak kejahatan trafficking;
mulai dari pencegahan, perlindungan, dan upaya-upaya advokasi, serta
rehabilitasi korban. Di samping itu, wacana keislaman ini diharapkan bisa
dijadikan sebagai landasan moral-teologis untuk menindak para pelaku dengan
hukum positif yang berlaku. Inilah yang dimaksud dengan fikih anti-trafficking,
yakni sebuah pemahaman keagamaan yang didasarkan pada semangat kemanusiaan yang
ditegaskan ayat-ayat al-Qur'dn dan teks-teks al-Hadits untuk menumbuhkan
kesadaran kolektif tentang bahaya dan keharaman tindak kejahatan trafficking.
Kesadaran
keagamaan dipandang sangat efektif untuk menumbuhkan social warning system di
kalangan masyarakat agar semakin peka dan waspada atas segala bentuk tindakan trafficking.
Karena, tindakan-tindakan yang mengarah pada kejahatan trafficking
seringkali tampak sebagai sesuatu yang legal, bahkan terkesan manusiawi,
meskipun yang terjadi sebaliknya. Keadaan ini tentu saja bisa menyulitkan
banyak pihak. Jelaslah, penanganan trafficking tidak bisa instant dan
pasti membutuhkan banyak elemen, banyak strategi, dan perlu melibatkan banyak
pihak. Fikih Anti-Trafficking sekaligus dimaksudkan untuk menggugah
kesadaran Islami setiap anggota masyarakat Muslim agar terlibat memberikan
kontribusi nyata dalam mengentaskan problem kemanusiaan abad modern ini. Karena
secara prinsip, Islam adalah agama pembebasan manusia dari segala bentuk kezaliman
dan risalah perlindungan agar tidak terjadi dehumanisasi.
Peranan Fikih dalam Mengatasi Trafficking
Fikih sejak awal
dirumuskan, terutama, untuk menjawab tantangan-tantangan sosial yang secara
eksplisit tidak disebutkan dalam teks-teks otoritatif al-Qur`an dan al-Hadits.
Realitas sosial selalu berkembang dan sifatnya lebih kompleks dibanding dengan
realitas sebelumnya. Oleh karena itu, ketika al-Qur`an selesai diturunkan dan
teks-teks Hadits juga selesai diucapkan, lahirlah kebutuhan besar untuk melakukan
pemahaman dan penafsiran teks-teks tersebut atas realitas baru yang lahir
belakangan. Atas dasar inilah, para ulama melakukan ijtihad. Dari iitihad ini,
khazanah fikih sepanjang peradaban Islam dan sampai sekarang terus berkembang.
Kasus-kasus yang
terkait dengan tindak kejahatan trafficking adalah salah satu contoh
dari kompleksnya permasalahan sosial yang memerlukan ketegasan ijtihad baru
yang berpihak pada kelompok rentan trafficking, yakni perempuan dan
anak.
Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa kejahatan trafficking seringkali bermula dari
kasus-kasus yang sederhana, seolah-olah legal, dan terkesan manusiawi.
Misalnya, dengan cara menawarkan orang bekerja, mengajak untuk memperbaiki
nasib, membantu agar dapat mencapai kesempatan kerja meski dengan memalsu
dokumen, menolong menyeberangkan orang ke negara lain demi suatu penghidupan
yang lebih baik, memberikan pinjaman hutang, mempertemukan orang yang perlu
menikah untuk di bawa ke luar negeri, dan Iain-lain. Ini adalah bentuk-bentuk
kejadian yang biasa dijadikan proses awal dari sindikat kejahatan trafficking.
Membaca kenyataan semacam ini, tentu saja ijtihad fikih terkait kasus trafficking
harus menyentuh aras kebijakan birokrasi administratif dan politik, tidak
semata-mata berkutat pada persoalan sosial ekonomi dan budaya.
Dengan
menggunakan sadd adz-dzarâi’ sebagai metode istinbâth al-ahkam,
banyak hal yang harus dipikirkan ulang meski sudah menjadi kebiasaan masyarakat
sehari-hari. Ijtihad
Imam ‘Atho, seorang ulama besar pada masa tabi’in, bisa menjadi contoh. Dia
melarang seorang suami memukul istrinya meski dengan dalih mendidik. Sebagai
pendidikan, cukup diingatkan saja atas kesalahannya, tidak dengan memukulnya.
Ijtihad ini muncul karena banyak orang yang menyalahgunakan wewenang pemukulan
suami atas istri sebagaimana tertulis dalam ayat al-Qur`an Surat al-Nisa` [4]
ayat 34.
Persoalan lain
yang menjadi perhatian Fikih Anti-Trafficking adalah relasi sosial
yang terjadi dan tumbuh di dalam kehidupan masyarakat. Salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya kekerasan, yang bisa diindikasikan sebagai tindak trafficking,
adalah adanya ketimpangan relasi, baik antara buruh dengan majikan, orang tua
dengan anak, suami dengan istri, orang kaya dengan orang miskin, maupun antara
negara dengan rakyat. Fikih Anti-Trafficking membahas isu ini dengan
mendasarkan pada prinsip keadilan dan kesetaraan relasi-kuasa dan relasi
gender, dengan penegasan pemihakan kepada kelompok rentan, yakni perempuan dan
anak.
Sebagai aturan
keagamaan, fikih tentu diarahkan dan ditetapkan untuk merealisasikan
tujuan-tujuan agama. Secara eksplisit, ditemukan sejumlah teks al-Qur`an maupun
hadits Nabi yang mengharuskan manusia untuk berbuat dan menegakkan keadilan.
Beberapa ayat al-Qur`an di antaranya adalah QS. Al-Nisa` (4): 58:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى
أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ
اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia hendaknya menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Dalam ayat lain,
Q.S. al-Nahl (16): 90, Allah Swt berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي
الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang kamu dari berbuat keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Pandangan Ibnu
al-Qayyim ini menunjukkan kepada kita bahwa setiap perumusan dan keputusan
hukum haruslah didasarkan kepada prinsip keadilan, dari mana dan dengan cara
apapun diperoleh, meskipun tidak ditemukan dalam teks-teks keagamaan. Ini
ditetapkan karena “mewujudkan keadilan” adalah tujuan utama hukum Islam.
Jauh sebelumya,
Imam al-Ghazali telah merumuskan tujuan syari'at (maqâshid al-syarî'ah)
dengan lima prinsip perlindungan, yaitu perlindungan terhadap keyakinan agama (hifzh
al-dîn), perlindungan terhadap jiwa (hifzh al-nafs), perlindungan
terhadap akal pikiran (hifzh al-'aql), perlindungan terhadap keturunan
(hifzh al-nasl), dan perlindungan terhadap harta benda {hifzh
al-mâl). Setiap keputusan hukum yang mengandung perlindungan terhadap lima
hal ini adalah kemaslahatan (mashlahah) dan setiap yang mengabaikannya
adalah kerusakan (mafsadah). Menolak kerusakan adalah kemaslahatan.
Dari tujuan
pokok syari’at Islam ini, para ulama fikih kemudian mengembangkannya dalam
bentuk kaedah-kaedah fikih. Beberapa di antaranya adalah al-dharar yuzâl
(semua hal yang merugikan atau menderitakan orang haruslah dihilangkan), al-dharar
la yuzalu bi al-dharar (menghilangkan hal-hal yang menderitakan orang
tidak boleh dilakukan dengan cara menderitakan), al-dharûrah tubîh
al-mahdhûrât (dalam kondisi darurat, hal-hal yang dilarang boleh
dilakukan), dar' al-rnafâdsîd muqaddam 'alâ jalb al-mashâlih
(mencegah kerusakan/bahaya didahulukan daripada mengambil kemaslahatan), al-'âdah
muhâkamah (adat bisa dijadikan dasar hukum), dan Iain-lain. Lebih
dari semuanya, ketentuan-ketentuan fikih harus ditujukan untuk mewujudkan
kerahmatan (kasih sayang) bagi semua makhluk Tuhan di muka bumi. Hal ini karena
agama sejatinya diturunkan Tuhan untuk memberikan rahmat bagi semesta (rahmatan
li al-‘âlamîn).
Ketentuan hukum
yang kita baca dalam buku-buku fikih klasik memperlihatkan adanya pandangan
yang berbeda antara satu ahli fikih dengan ahli fikih yang lain, meskipun
merujuk pada sumber hukum yang sama. Jika diteliti lebih mendalam, akan
ditemukan bahwa perbedaan pandangan di antara mereka lebih disebabkan oleh
konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya mereka yang berbeda. Imam Syafi’i
sendiri dikenal mempunyai dua pandangan yang berbeda, yaitu mazhab atau qawl
qadîm dan qawl jadîd. Qawl qadîm adalah pendapat Imam
Syafi’i ketika berada di Baghdad, sedangkan qawl jadîd adalah
pendapatnya selama hidup di Mesir. Kenyataan ini juga menunjukkan keterikatan
fikih dengan ruang, waktu, dan konteks fikih dibentuk.
Jelaslah, pasal
itu dibuat dalam rangka melindungi kepentingan perempuan. Perubahan ini tentu
saja tidak bisa diartikan menentang ketentuan al-Qur`an maupun Hadits Nabi.
Pasal ini justru menegakkan prinsip dan tujuan agama, yakni kemaslahatan dan
keadilan. Ketentuan “talak harus diucapkan suami di depan sidang pengadilan”
dewasa ini juga diikuti oleh sejumlah negara Islam, antara lain Maroko. Pasal
78 dan 79 Undang-Undang Perkawinan di Maroko yang dikenal dengan al-Mudawwanah
menyebutkan bahwa “Perceraian harus berada dalam pengawasan pengadilan dan
wajib bagi pihak-pihak yang hendak bercerai untuk mendapat izin dari
pengadilan.”
III. Penutup
Trafficking sebagai
suatu kejahatan memang cukup mengkhawatirkan bagi masyarakat kita, khususnya
bagi kaum perempuan dan anak yang dijadikan target. Usaha penanggulangannya
tidak bisa dilakukan setengah-setangah atau secara parsial dan tidak
tersistematis. Islam sebagai agama sudah sejak dini telah mengantisipasi
berbagai kemadharatan dengan berbagai macam prinsip yang tertuang dalam teks
al-Qur’an dan al-Hadits, maupun melalui para mujtahid-mujtahidnya. Hal itu
dapat dijadikan legitimasi bahwa perbuatan apa pun yang dapat membahayakan
sendi-sendi kehidupan manusia harus diharamkan atau dihindari dan bahkan harus
dihilangkan. Beberapa contoh penalaran telah dilakukan oleh para ahli fikih
generasi awal, sebagaimana disebutkan di atas. Oleh karena itu, meskipun
teks-teks sumber fikih sangatlah terbatas, tetapi selalu ada jalan dan cara
untuk menjawab problem sosial dan kemanusiaan yang demikian kompleks, beragam,
dan berkembang sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi. Kerangka pandang
fikih model ini tentu saja seharusnya bisa digunakan untuk menjawab problem trafficking
yang kini menjadi fenomena kemanusiaan krusial dan membutuhkan jawaban dari
fikih.
DAFTAR PUSTAKA
I0M.0IM, Pedoman untuk Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Trafficking
dan Pertindungan terhadap Korban selama Proses Penegakan Hukum, 2005. .
Qadir, Faqihuddin Abdul, dkk, Fiqh
Anti Trafficking, Cirebon, Fahmina Institute, 2006.
Rofiah, Nur "NU Menyikapi "Trafficking", KOMPAS, 4 September
2006.
0 komentar:
Post a Comment